ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 12 Juni 2024
Anoreksia Nervosa: Bertubuh Kurus demi Bahagia
Oleh:
Naurah Afifah Khairunnisa
Program Studi Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia
Anoreksia nervosa merupakan salah satu gangguan makan serius yang lebih sering ditemukan pada perempuan. Diperkirakan lebih dari 1% wanita berusia 15-30 tahun menderita anoreksia nervosa (Nasution, et al., 2017). Menurut British Medical Association (dalam Nasution, et al., 2017), citra wanita kurus yang digambarkan oleh media massa mendorong para remaja wanita menjalani pola makan yang tidak benar dan berbahaya, seperti mengurangi asupan makanan secara ekstrem. Di balik penampilan luar yang bertubuh kurus atau tampaknya "tak bahagia", terdapat pemahaman yang lebih dalam, yaitu keinginan untuk mengendalikan tubuh dan berusaha mencapai kebahagiaan melalui citra tubuh yang ideal. Meskipun prevalensinya cukup tinggi, gangguan ini masih jarang dibahas secara terperinci dalam masyarakat kita. Banyak yang tidak menyadari kompleksitas dan seriusnya anoreksia nervosa, serta dampak yang dapat ditimbulkannya pada kesehatan fisik dan mental individu yang terkena dampaknya. Padahal, pemahaman yang lebih dalam tentang gangguan ini dapat membantu mengurangi stigma dan memberikan dukungan yang lebih baik kepada individu yang terkena dampaknya
Di Indonesia sendiri, penelitian tentang anoreksia nervosa masih terbilang langka. Minimnya penelitian ini menandakan pentingnya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai gangguan makan ini dalam konteks lokal. Dengan demikian, artikel ini akan menjelaskan lebih dalam tentang anoreksia nervosa. Anoreksia nervosa yaitu sebuah gangguan makan yang ditandai dengan penolakan untuk mempertahankan berat badan yang sehat dan rasa takut yang berlebihan terhadap peningkatan berat badan akibat pencitraan diri yang menyimpang sehingga berisiko kematian yang substansial (Mitchell & Peterson, 2020). Pencitraan diri pada penderita anoreksia nervosa dipengaruhi oleh bias kognitif (pola penyimpangan dalam menilai suatu situasi) yang memengaruhi cara seseorang dalam berpikir serta mengevaluasi tubuh dan makanannya (Krisnani, et al., 2017).
Penyebab utama terjadinya anoreksia nervosa belum bisa diketahui. Namun, anoreksia nervosa dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti gangguan sistem saraf di otak, genetik, lingkungan, ataupun keluarga. Gangguan makan ini dapat mempengaruhi setiap individu tanpa memandang usia, jenis kelamin, orientasi seksual, ras, dan etnis. Adapun beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan penyakit anoreksia nervosa, yaitu gangguan psikologis (tidak self-love), adanya trauma, komunikasi yang tidak harmonis dalam keluarga, terlahir prematur, beranggapan bahwa tubuh langsing adalah tubuh yang sempurna, dan diet berlebihan.
Pada individu dengan kelainan anoreksia nervosa, terdapat gejala fisik dan psikologis yang dapat diamati. Tanda fisik tersebut, antara lain terdapat penurunan berat badan, gangguan menstruasi pada perempuan atau penurunan libido pada pria, merasa dingin di sebagian besar waktu, sering merasa kembung, sembelit, berkembangnya intoleransi makanan, mudah merasa lelah, tidak dapat tidur nyenyak, perubahan wajah, dan tumbuhnya rambut halus di sekitar tubuh. Selain itu terdapat tanda-tanda psikologis, seperti memiliki persepsi yang negatif terhadap tubuhnya, hanya berpikir tentang bentuk tubuh dan berat badan, mudah tersinggung terhadap komentar yang berkaitan dengan bentuk tubuh dan berat badan, ketakutan yang berlebih dalam hal kenaikan berat badan, mengalami depresi dan kecemasan pada saat makan, dan sulit berkonsentrasi (Honestdocs, 2019).
Kriteria diagnostik untuk anoreksia nervosa menurut DSM-V, di antaranya pembatasan asupan energi yang menyebabkan berat badan kurang dari berat normal minimal, ketakutan yang intens untuk menambah berat badan atau menjadi gemuk, perilaku terus-menerus yang mengganggu kenaikan berat badan, dan kurangnya pengakuan diri terhadap keseriusan berat badan rendah yang dialaminya (American Psychiatric Association, 2013). Tingkat keparahan berat badan anorektik dapat dilihat dari body mass index atau BMI, yaitu BMI ≥ 17 menunjukkan berat badan rendah agak parah, BMI 16-16,99 menunjukkan berat badan rendah cukup parah, BMI 15-15,99 menunjukkan berat badan rendah parah, dan BMI < 15 menunjukkan berat badan rendah sangat parah (Gibson, et al., 2019).
Anoreksia nervosa memiliki tingkat kematian tertinggi di antara semua penyakit kejiwaan karena dapat menyebabkan psikopatologi yang signifikan bersama dengan komplikasi medis yang mengancam jiwa (Moskowitz & Weiselberg, 2017). Pasien dengan anoreksia nervosa telah meningkatkan tingkat bunuh diri dan menyumbang 25% kematian yang terkait dengan gangguan tersebut (Ziser, et al., 2018). Gangguan ini tidak dapat dicegah sehingga pendidikan pasien dan keluarga adalah kunci untuk mencegah morbiditas tinggi pada anorektik. Ahli gizi harus mendidik keluarga tentang pentingnya nutrisi dan membatasi olahraga. Perawat kesehatan mental harus mendidik pasien tentang perubahan perilaku, mengurangi stres, dan mengatasi masalah emosional. Apoteker harus mendidik pasien dan keluarga tentang penggunaan obat-obatan seperti obat pencahar dan pil penurun berat badan (Vasquez, et al., 2017). Dalam menangani gangguan ini, pekerja sosial harus memahami kondisi klien, seperti keadaan biologis, hubungan antara lingkungan keluarga, maupun lingkungan sosialnya (Hale & Logomarsino, 2019). Pengobatan untuk anoreksia nervosa berpusat pada rehabilitasi nutrisi dan psikoterapi berbasis keluarga untuk mengeksplorasi dinamika yang mendasari dan merestrukturisasi lingkungan rumah (Lock, 2018). Selain itu, terdapat peran farmakoterapi untuk pasien sakit akut dan pasien dengan kondisi kejiwaan komorbid (Grenon, et al., 2019).
Pemahaman yang lebih mendalam tentang anoreksia nervosa telah membuka kesadaran akan kompleksitas dan keseriusan, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih kurang memperhatikan gangguan ini. Dari citra luar yang tampaknya "bertubuh kurus" hingga perjuangan dalam mencapai kebahagiaan melalui kendali terhadap tubuh, setiap individu yang terkena dampak anoreksia nervosa memiliki cerita yang perlu didengar dan dipahami. Dengan menyoroti kebutuhan akan penelitian lebih lanjut, kita dapat memperkuat panggilan kepada masyarakat untuk tindakan yang lebih berfokus pada pencegahan, diagnosis, dan pengobatan yang holistik terhadap gangguan makan ini di Indonesia. Semoga pemahaman yang lebih mendalam ini membantu kita untuk membuka mata, memperkuat dukungan, dan mengubah paradigma sehingga individu yang terkena dampak anoreksia nervosa dapat menemukan jalan menuju kesembuhan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.
Referensi :
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington: American Psychiatric Publishing.
Gibson, D., Workman, C., & Mehler, P. S. (2019). Medical Complications of Anorexia Nervosa and Bulimia Nervosa. Psychiatr Clin North Am, 42(2), 263–274.
Grenon, R., Carlucci, S., Brugnera, A., Schwartze, D., Hammond, N., Ivanova, I., Mcquaid, N., Proulx, G., & Tasca, G. A. (2019). Psychotherapy for eating disorders: A meta-analysis of direct comparisons. Psychother Res, 29(7), 833-845.
Hale, M. D., & Logomarsino, J. V. (2019). The use of enteral nutrition in the treatment of eating disorders: a systematic review. Eat Weight Disord, 24(2), 179-198.
Honestdocs. (2019, 10 Februari). Anorexia - Tanda, Penyebab, Gejala, Cara Mengobati. Diakses pada 8 April 2024 dari https://www.honestdocs.id/anorexia#:~:text=Kriteria%20diagnostic%20anorexia%20nervosa%20menurut%20DSM-5%20adalah%20sebagai,usia%2C%20jenis%20kelamin%2C%20lintasan%20perkembangan%2C%20dan%20kesehatan%20fisik.
Krisnani, H., Santoso, M. B., & Putri, D. (2017). Gangguan Makan Anorexia Nervosa dan Bulimia Nervosa Pada Remaja. Proceedings of Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat (pp. 390-447). Journal Unpad.
Lock, J. (2018). Family therapy for eating disorders in youth: current confusions, advances, and new directions. Curr Opin Psychiatry, 31(6), 431-435.
Mitchell, J. E., & Peterson, C. B. (2020). Anorexia Nervosa. N Engl J Med, 382(14), 1343–1351.
Moskowitz, L. & Weiselberg, E. (2017). Anorexia Nervosa/Atypical Anorexia Nervosa. Elsevier, 47(4), 70-84. https://doi.org/10.1016/j.cppeds.2017.02.003
Nasution, S. W., Hasibuan, N. A., & Ramadhani, P. (2017). Sistem Pakar Diagnosa Anoreksia Nervosa Menerapkan Metode Case Based Reasoning. KOMIK: Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer), 1(1), 52-56.https://www.ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik/article/view/472/413
Vasquez, N., Urrejola, P., & Vogel, M. (2017). An update on inpatient treatment of anorexia nervosa: practical recommendations. Rev Med Chil, 145(5), 650-656.
Ziser, K., Molbert, S. C., Stuber, F., Giel, K. E., Zipfel, S., & Junne, F. (2018). Effectiveness of body image directed interventions in patients with anorexia nervosa: A systematic review. Int J Eat Disord, 51(10), 1121-1127.