ISSN 2477-1686 

 

Vol. 10 No. 12 Juni 2024

 

Kecemasan Penerbangan: Memahami Psikologi di Balik Rasa Takut Terbang

Oleh:

Intan Surya Chamelia, Hesty Yuliasari

Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Rasa takut terbang, juga dikenal sebagai aviophobia, adalah fenomena psikologis kompleks yang dapat bermanifestasi dalam berbagai cara, mempengaruhi individu pada tingkat yang berbeda (Busscher et al. 2015). Salah satu teori psikologi yang menawarkan wawasan tentang ketakutan ini adalah konsep pengkondisian klasik, yang diusulkan oleh Ivan Pavlov. Menurut pengkondisian klasik, respons rasa takut dapat dipelajari melalui asosiasi antara rangsangan (Harvie et al, 2017). Dalam kasus aviophobia, pengalaman negatif masa lalu atau menyaksikan peristiwa traumatis yang berkaitan dengan terbang dapat menciptakan hubungan yang kuat antara terbang dan ketakutan (Wiederhold & Bouchard, 2014). Misalnya, mengalami turbulensi selama penerbangan atau mendengar tentang kecelakaan pesawat di media dapat memicu respons cemas. Selain itu, individu dapat mengembangkan rasa takut melalui pembelajaran observasional, di mana mereka menyaksikan orang lain menampilkan perilaku takut dalam menanggapi terbang.

Clasical conditioning juga menekankan peran kecemasan antisipatif dalam mempertahankan respons rasa takut. Individu dengan aviophobia mungkin mengalami kecemasan yang meningkat menjelang penerbangan, mengantisipasi potensi ketidaknyamanan atau bahaya yang mereka kaitkan dengan terbang (Clark & Rock, 2016). Kecemasan antisipatif ini dapat lebih memperkuat respons rasa takut, menciptakan siklus perilaku penghindaran dan gairah yang meningkat. Selain itu, sifat terbang yang tidak dapat diprediksi, dengan faktor-faktor seperti kondisi cuaca dan masalah mekanis, dapat berkontribusi pada rasa kurangnya kontrol, memperburuk perasaan takut dan cemas.

Teori psikologi lain yang menjelaskan rasa takut terbang adalah model kognitif-perilaku, yang menekankan peran proses kognitif dalam membentuk respons emosional (Hudlicka, 2017). Menurut model ini, individu dengan aviophobia dapat terlibat dalam distorsi kognitif, seperti bencana atau melebih-lebihkan kemungkinan hasil negatif yang terkait dengan terbang (Fischer et al. 2019). Pikiran yang terdistorsi ini dapat memicu kecemasan dan memperkuat respons rasa takut. Misalnya, seseorang dengan aviophobia dapat membuat skenario potensial, membayangkan pesawat menabrak atau menghadapi turbulensi parah, terlepas dari kelangkaan statistik dari peristiwa tersebut.

Selain itu, model kognitif-perilaku menyoroti pengaruh perilaku keselamatan dan strategi penghindaran dalam mempertahankan rasa takut. Individu dengan aviophobia dapat terlibat dalam perilaku keselamatan, seperti menghindari penerbangan sama sekali atau mengandalkan mekanisme koping seperti obat-obatan atau alkohol untuk mengurangi kecemasan selama penerbangan (Azoum, Clark, & Rock, 2018). Sementara strategi ini dapat memberikan bantuan sementara, mereka pada akhirnya memperkuat keyakinan bahwa terbang secara inheren berbahaya dan tidak terkendali, mengabadikan siklus ketakutan.

Selain clasical conditioning dan model kognitif-perilaku, ketakutan terbang juga dapat dipahami melalui lensa psikologi evolusioner. Dari perspektif evolusi, ketakutan akan ketinggian dan ruang tertutup, yang sering dikaitkan dengan terbang, dapat ditelusuri kembali ke naluri bertahan hidup nenek moyang kita (Kawai, 2019). Gairah yang meningkat sebagai respons terhadap ancaman yang dirasakan, seperti risiko jatuh atau terjebak, berfungsi sebagai mekanisme perlindungan bagi manusia purba. Meskipun terbang dengan pesawat modern secara statistik lebih aman daripada banyak moda transportasi lainnya, respons ketakutan bawaan kita mungkin masih dipicu oleh ketidakbiasaan dan risiko yang dirasakan terkait dengan terbang.

Kesimpulannya, ketakutan terbang adalah fenomena multifaset yang dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis. Clasical conditionig, distorsi kognitif, perilaku keselamatan, dan naluri evolusioner semuanya berperan dalam membentuk respons ketakutan individu terhadap penerbangan. Memahami mekanisme psikologis yang mendasari dapat menginformasikan intervensi yang bertujuan untuk mengurangi aviophobia, seperti terapi pemaparan, restrukturisasi kognitif, dan teknik relaksasi, yang pada akhirnya memungkinkan individu untuk mengatasi rasa takut mereka dan bepergian dengan lebih mudah dan percaya diri.

Referensi:

Azoum, M., Clark, G. I., & Rock, A. J. (2018). The impact of affect labelling on responses to aversive flying-cues. Plos one, 13(4), e0194519. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0194519.

Busscher, B., Spinhoven, P., & de Geus, E. J. (2015). Psychological Distress and Physiological Reactivity During In Vivo Exposure in People With Aviophobia. Psychosomatic Medicine, 77(7), 762-774. doi.org/10.1097/PSY.0000000000000209.

Clark, G. I., & Rock, A. J. (2016). Processes Contributing to the Maintenance of Flying Phobia: A Narrative Review. Frontiers in Psychology, 7, 185792. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00754.

Fischer, C., Heider, J., Schröder, A., & Taylor, J. E. (2019). “Help! I’m Afraid of Driving!” Review of Driving Fear and its Treatment. Cognitive Therapy and Research, 44, 420-444. https://doi.org/10.1007/s10608-019-10054-7.

Harvie, D. S., Moseley, G. L., Hillier, S. L., & Meulders, A. (2017). Classical Conditioning Differences Associated With Chronic Pain: A Systematic Review. The Journal of Pain, 18(8), 889-898. https://doi.org/10.1016/j.jpain.2017.02.430.

Hudlicka, E. (2017). Computational Modeling of Cognition–Emotion Interactions: Theoretical and Practical Relevance for Behavioral Healthcare. In M. Jeon, Emotions and Affect in Human Factors and Human-Computer Interaction (pp. 383-436). Massachusetts: Axademic Press.

Kawai, N. (2019). The Fear of Snakes: Evolutionary and Psychobiological Perspectives on Our Innate Fear (1 ed.). Singapore: Springer Nature.

Wiederhold, B. K., & Bouchard, S. (2014). Fear of Flying (Aviophobia): Efficacy and Methodological Lessons Learned from Outcome Trials. In B. K. Wiederhold, & S. Bouchard, Advances in Virtual Reality and Anxiety Disorders (pp. 65-89). Boston: Springer.