ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 11 Juni 2024
Kegotong-royongan sebagai Modal Eliminasi TB di Indonesia
Oleh:
Adhityawarman Menaldi, Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Bangsa Indonesia seringkali disebut sebagai bangsa yang senang gotong-royong. Catatan gotong-royong ini setidaknya diketahui sejak masa Hindu khususnya di Jawa pada kisaran abad 8 M (Suwondo, 1982 dalam Simarmata, Yuniarti, Riyono, & Patria, 2020). Hal yang tidak mengherankan jika gotong-royong ini mengakar dalam banyak aspek kebudayaan (Simarmata, Yuniarti, Riyono, & Patria, 2020) dan menjadi modal sosial Indonesia (Meinarno, 2020). Gotong-royong terbentuk dari kata gotong yang artinya kerja, dan royong yang artinya bersama (Pranowo, 2010 dalam Simarmata, Yuniarti, Riyono, & Patria, 2020). Secara khusus, wujud gotong-royong dapat kita lihat pada kerja dari sistem pertanian di Jawa dengan saluran irigasinya. Dalam konteks psikologi, gotong-royong adalah hubungan timbal-balik yang mendorong individu untuk saling menolong untuk menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan orang lain pada satu waktu, baik untuk tujuan perorangan atau kelompok (Meinarno & Fairuziana, 2019 dalam Meinarno, Putri, dan Fairuziana).
Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) telah lama ada di Indonesia. Bahkan temuan sejarah menyebutkan bahwa penyakit ini pun sudah tergambarkan pada salah satu area relief di Candi Borobudur (tahun 778 M), menggambarkan sudah lamanya penyakit ini bercokol di nusantara (www.tbindonesia.org). Berbagai penanganan TB telah dilakukan di Indonesia, semua lapisan diikutsertakan dalam program eliminasi TB yang dicanangkan tercapai di tahun 2030. Namun data berkata lain, hingga 2022, tingkat kepatuhan pasien TB masih belum mencapai 100% sebagaimana yang dituliskan dalam Laporan Program Penanggulangan Tuberkulosis 2022 (2023). Bahkan menurut laporan Global Tuberculosis oleh WHO tahun 2023, Indonesia berada di peringkat kedua angka aktif tuberkulosis seluruh dunia. Pertanyaannya, dinamika apa yang terjadi sehingga perbaikan angka TB tidak kunjung terjadi?
Pengobatan TB bukan masalah obat-obatan, karena obat TB sudah lama ada bahkan hingga kini masih terus disempurnakan (Tobin dan Tristram, 2024). Namun pengobatan TB mempunyai mekanisme yang unik. Obat harus dikonsumsi selama satu periode tertentu, seperti enam bulan tanpa putus, bergantung pada tipe obat dan sensitifitas pasien terhadap obat (Bloom dkk., 2017). Proses ini harus ketat dilakukan dengan kepatuhan yang tinggi. Hal yang sering terjadi adalah, penyakit tidak tersembuhkan karena gagal patuh. Kepatuhan pasien sendiri perlu dibangun pada diri, dengan penguatan melalui dukungan orang sekitarnya atau pendamping minum obat. Artinya, pengobatan bukan semata pasien saja yang terlibat, di dalamnya terdapat tenaga kesehatan dan pendamping atau dalam psikologi disebut sebagai agen dukungan sosial (Gebreweld dkk, 2018).
Orang dengan TB Butuh Bantuan
Dukungan sosial hanya dapat terjadi ketika pasien yang membutuhkan pengobatan didukung oleh orang di sekitarnya. Orang (atau orang-orang) ini mengingatkan, membuat jadwal minum obat, dan mungkin sampai menegur jika pasien tidak minum obat. Pasien bekerja untuk kesembuhan dirinya, agen dukungan sosial bersama pasien bertekad untuk sembuh, dan agen perubahan ingin agar penyakit ini tidak menular ke banyak orang. Inilah bentuk kerja sama. Pasien TB memerlukan dukungan yang penuh secara psikologis untuk dapat bertahan menjalankan pengobatan tuberkulosis yang tidak ringan dan juga tidak sebentar. Beberapa temuan mengemukakan bahwa kekeluargaan yang ada, justru pada banyak kasus malah membuat kepatuhan pasien tuberkulosis menjadi terhenti (Adane dkk, 2013; Daksa dan Kebede, 2016; Tola dkk., 2017). Temuan lain malah kebalikannya, jejaring pertemanan dan hubungan keluarga yang baik meningkatkan kepatuhan pengobatan (Istiawan, 2005; Stroebe, 2011). Beratnya efek samping obat tuberkulosis serta durasi pengobatan yang panjang, justru pada banyak kasus membuat keluarga menyarankan pasien untuk menghentikan pengobatan. Hal lain yang patut diperhatikan, obat tuberkulosis menargetkan bakteri, yang artinya regimen pengobatan perlu dituntaskan. Dampak terberat dari terhentinya pengobatan adalah munculnya bakteri yang menjadi resisten terhadap obat. Artinya, kita akan menghadapi serangan bakteri tuberkulosis yang harus dimusnahkan dengan derajat pengobatan yang lebih tinggi, lengkap dengan segala konsekuensinya (Sazali dkk, 2022).
TB dalam Perspektif Gotong-royong
Apabila kita mau mengutilisasi nilai ke-Indonesiaan dengan baik, sebetulnya tantangan penanganan tuberkulosis di Indonesia bisa direduksi cukup banyak. Dari sudut kebijakan kesehatan pemerintah, semua obat sudah bersifat gratis bila pengobatan dilakukan di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) di bawah komando pemerintah. Bekerja bersama inilah yang kita sebut sebagai gotong-royong. Keluarga hanya perlu menguatkan pasien di rumah dengan pendekatan yang baik. Tetangga juga bisa ikut serta dalam berkontribusi, yang dengan demikian semangat kegotongroyongan bekerja dengan nyata. Penderita TB tidak dikucilkan, sebaliknya komunitas justru bisa lebih memberikan dampak positif terhadap pasien. Memberikan bantuan baik fisik maupun dukungan psikologis, serta hal-hal penunjang logistik lainnya. Jika yang menderita TB usia anak, maka bantuan bisa datang dari teman-teman sekolahnya. Di sisi lain, komunitas di sekitar keluarga bisa membantu memenuhi kebutuhan bahan pokok (jika amat genting), dan hal-hal lain yang dibutuhkan. Indonesia semestinya mampu mengalahkan endemik tuberkulosis dengan baik karena semangat kekeluargaan yang cukup tinggi. Paduan kerja sama pasien (yang sakit dan ingin sembuh), agen dukungan sosial, dan orang lain di sekitarnya (pihak-pihak lain dari diri pasien) untuk mencapai kesembuhan pasien dan keselamatan masyarakat (tujuan diri atau kelompok) dalam kurun waktu tertentu (pada satu waktu) itu adalah proses yang telah dijabarkan di atas yakni gotong-royong.
Penutup
Tulisan ini membicarakan gotong-royong tidak dalam konteks politik, ekonomi atau kemasyarakatan secara umum. Justru tulisan ini hendak memperlihatkan fungsi gotong-royong dalam masalah kesehatan juga dapat dibangun dan dibentuk. Ini hanyalah contoh kecil mengenai bagaimana bentuk gotong-royong yang dapat diterapkan. Artinya, gerakan untuk menata gotong-royong yang lebih tepat sesuai setting, sangat diperlukan sebagai salah satu upaya memberantas penyakit kuno ini. Diharapkan, kesadaran akan gotong-royong yang tepat bisa menuntaskan salah satu problem di negara tercinta ini.
Referensi:
Adane, A. A., Alene, K. A., Koye, D. N., & Zeleke, B. M. (2013). Non-adherence to anti-tuberculosis treatment and determinant factors among patients with tuberculosis in northwest Ethiopia. PloS one, 8(11), e78791. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0078791
Bloom, B. R., Atun, R., Cohen, T., Dye, C., Fraser, H., Gomez, G. B., Knight, G., Murray, M., Nardell, E., Rubin, E., Salomon, J., Vassall, A., Volchenkov, G., White, R., Wilson, D., & Yadav, P. (2017). Tuberculosis. In K. K. Holmes (Eds.) et. al., Major Infectious Diseases. (3rd ed.). The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank.
Daksa, M. D., & Kebede, T. M. (2016). Patients’ adherence to anti-tuberculosis medicines and associated factors for non-adherence at a tertiary teaching hospital, South West Ethiopia. European Journal of Therapeutics, 22(2), 55-62.
Gebreweld, F. H., Kifle, M. M., Gebremicheal, F. E., Simel, L. L., Gezae, M. M., Ghebreyesus, S. S., Mengsteab, Y. T., & Wahd, N. G. (2018). Factors influencing adherence to tuberculosis treatment in Asmara, Eritrea: a qualitative study. Journal of health, population, and nutrition, 37(1), 1. https://doi.org/10.1186/s41043-017-0132-y
Istiawan, R. (2005). Hubungan peran pengawas minum obat oleh keluarga dan petugas kesehatan terhadap pengetahuan, perilaku pencegahan dan kepatuhan klien TBC dalam konteks keperawatan komunitas di Kabupaten Wonosobo. Tesis Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2023). Laporan program penanggulangan tuberkulosis 2022.
Meinarno, EA. (2020). Kontribusi Diriku dalam Kelompokku: Kontribusiku untuk Bangsaku. Buletin KPIN. Vol.6 No. 07 April 2020. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/586-kontribusi-diriku-dalam-kelompokku-kontribusiku-untuk-bangsaku
Meinarno, EA., Putri, MA., Fairuziana. (2019). Isu-isu kebangsaan dalam ranah psikologi Indonesia. Dalam Psikologi Indonesia. Penyunting Subhan El Hafiz dan Eko A Meinarno. Rajawali Pers. Depok.
Sazali, M. F., Rahim, S. S. S. A., Mohammad, A. H., Kadir, F., Payus, A. O., Avoi, R., Jeffree, M. S., Omar, A., Ibrahim, M. Y., Atil, A., Tuah, N. M., Dapari, R., Lansing, M. G., Rahim, A. A. A., & Azhar, Z. I. (2023). Improving Tuberculosis Medication Adherence: The Potential of Integrating Digital Technology and Health Belief Model. Tuberculosis and respiratory diseases, 86(2), 82–93. https://doi.org/10.4046/trd.2022.0148
Simarmata, N., Yuniarti, K. W., Riyono, B., & Patria, B. (2020). Gotong royong in Indonesian history. Digital Press Social Sciences and Humanities, 5, 00006.
Stroebe, W. (2011). Social psychology and health. McGraw-Hill Education (UK).
Tobin, E. H., & Tristram, D. (2024). Tuberculosis. In StatPearls. StatPearls Publishing.World Health Organization. (2023). Global tuberculosis report.
Tola, H. H., Garmaroudi, G., Shojaeizadeh, D., Tol, A., Yekaninejad, M. S., Ejeta, L. T., Kebede, A., & Kassa, D. (2017). The Effect of Psychosocial Factors and Patients' Perception of Tuberculosis Treatment Non-Adherence in Addis Ababa, Ethiopia. Ethiopian journal of health sciences, 27(5), 447–458. https://doi.org/10.4314/ejhs.v27i5.2
Sumber Internet
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020, Agustus). Sejarah TBC di Indonesia. www.tbindonesia.org/