ISSN 2477-1686 

 

Vol. 10 No. 11 Juni 2024

 

Martyr Complex

Pelayanan, Burnout, dan Clerical Collar Pendeta

 

Oleh:

Puspita Sandra Dewi

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

Kata martir bukanlah hal yang baru dan asing di kalangan pendeta. Menurut kamus Meeriam-Webster, Martir (martyr) adalah seseorang yang mengorbankan sesuatu yang bernilai besar, terutama hidupnya sendiri, demi sebuah prinsip. Martyr complex merupakan pola psikologi yang ditandai dengan pengorbanan diri dan pelayanan kepada orang lain dengan mengorbankan diri sendiri (Bhandari, 2024). Seorang dengan martyr complex akan mengorbarkan kebutuhannya sendiri untuk melayani orang lain (Martin, 2016). Beberapa tanda martyr complex (Bhandari, 2024)

  1. Meremehkan pencapaian. Meremehkan pengorbanan yang telah dilakukan dengan mengatakan hal itu tidak penting, dan semata-mata dilakukan demi perasaan bahagia karena telah berkorban dan bukan karena pujian yang diberikan.
  2. Menjadi pahlawan. Sering berperan sebagai pahlawan dan melakukan semua hal sendiri, menyelesaikan masalah semua orang tanpa mengeluh.
  3. Kurang merawat diri sendiri. Selalu berada dalam situasi yang terus-menerus memberi dan mengabaikan kesehatan diri sendiri.
  4. Mencari kesempatan untuk berkorban. Sering mencari kesempatan untuk melangkah ke dalam bahaya.
  5. Menganut nilai-nilai yang tidak realistis. Sering menilai bahwa tindakannya adalah ekspresi dan bukti dari rasa pedulinya, dan merasa bahwa jika tidak berkorban untuk orang lain artinya dia tidak mengasihi mereka.

Pendeta, atau reverend dalam bahasa Inggris, adalah gelar penghormatan yang digunakan di depan nama pelayan di gereja Kristen. Alam (2004) menjelaskan bahwa profesi adalah suatu kedudukan yang benar-benar dipersiapkan secara sungguh-sungguh melalui pendidikan spesialisasi intelektual. Wirjanto dalam Wajdi dan Lubis (2019), menyebutkan bahwa dalam dunia modern terdapat lima profesi, yaitu, profesi dokter, profesi hukum, profesi pendidikan, profesi akuntan, dan profesi minister (ulama dan kependetaan). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendeta merupakan sebuah profesi yang mendedikasikan hampir seluruh waktunya untuk mendampingi masyarakat khususnya umat gereja. Seorang pendeta memiliki tuntutan dan tanggung jawab dalam melayani umat. Para pendeta diharapkan untuk menjadi administrator, caregivers, pengkhotbah, pengajar, penyembuh, orang kepercayaan, pemimpin lokakarya, layanan ibadah, pendalaman Alkitab, retret gereja, dan banyak hal lainnya (Stewart, 2003), dan pelayanan ini merupakan panggilan "dua puluh empat/tujuh" untuk sebagian besar pendeta (Rowatt, 2001). Capps (1983), mengindentifikasi terdapat tiga peran pendeta di gereja yaitu, konselor moral, koordinator ritus, dan sebagai personal comforter atau seseorang yang membawa kenyamanan bagi setiap warga gereja, dan hidup sesuai kehendak Tuhan (dalam Murtiningsih & Wijayatsih, 2009).

Seorang pendeta sering sekali mengesampingkan kenyamanan diri, mengabaikan kesehatannya, menyembunyikan emosi negatif seperti sedih dan marah, demi mengutamakan pelayanan kepada umat. Hal ini disebut disonansi emosional, ketidakkonsistenan antara emosi yang dirasakan dan emosi yang diproyeksikan. Umumnya terjadi pada pekerja di bidang pelayanan seperti dokter, perawat, layanan konsumen, psikolog, konselor, termasuk pastor dan pendeta (Robbins & Judge, 2013). Keadaan ini dapat menyebabkan burnout pada pendeta (Robbins & Judge, 2013). Burnout adalah suatu bentuk kelelahan fisik, emosi dan mental yang dialami seseorang karena adanya tekanan yang terus-menerus di lingkungan kerja (Wardani & Hapsari, 2022).

Acapkali pelayanan dan burnout dipandang sebagai satu paket pemaknaan terhadap clerical collar (kerah rohaniawan). Clerical collar adalah simbol di mana pendeta mengikat dirinya kepada Tuhan, menghamba secara totalitas meski dalam tekanan. Clerical collar juga berarti bahwa pendeta memberi diri setiap saat untuk tersedia/ada/berkorban bagi semua orang (Mangan & Murray, 1994), dan hal ini dipandang sebagai bentuk pelayanan. Hal inilah yang kemudian disebut dengan Martyr Complex dalam psikologi, yaitu pola psikologi dari diri pendeta yang membuatnya memiliki kecendrungan untuk selalu berkorban dan mengabaikan kenyamanan dirinya.

Maslach (1997) dalam Wardani dan Depati (2022), mengatakan bahwa salah satu dampak burnout adalah mengalami gangguan fisik seperti sulit tidur, mudah sakit, gangguan psikosomatik, dan gangguan psikologis lainnya yang dapat menyebabkan depresi. Hasil penelitian Baruth dkk. (2014) menyebutkan, maka mayoritas pendeta mengalami obesitas, hipertensi, memiliki setidaknya dua kondisi kesehatan kronis, sebagian besar pendeta juga menderita diabetes, radang sendi, dan kolesterol tinggi. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Webb dan Chase (2019), di mana pada Indeks Tekanan Pekerjaan Pendeta mendapat nilai tinggi pada tekanan darah tinggi, diabetes, gangguan stres kronis, depresi, kecemasan, banyak menghabiskan waktu duduk dalam sehari, dan lebih banyak jam kerja dalam seminggu.

Melalui hal ini, para pendeta perlu menyadari bahwa burnout itu nyata dan dapat mengganggu pekerjaan serta kesehatan mental. Para pendeta perlu mengelola stres kerja serta memperhatikan kesehatan holistik diri agar tetap dapat memberikan pelayanan kepada umat tanpa harus mengalami martyr complex.

Referensi:

Alam, T.W. (2004). Memahami Profesi Hukum. Jakarta: Milenia Populer.

Baruth, M., Wilcox, S., & Evans, R. (2014). The health and health behaviors of a sample of African American pastors. Journal of health care for the poor and underserved25(1), 229–241. https://doi.org/10.1353/hpu.2014.0041

Bhandari, S. (2024, Februari 25). What is A Martyr Complex?. WebMD. Diunduh dari https://www.webmd.com/mental-health/what-is-a-martyr-complex

Capps, D. (1983). Life Cycle Theory and Pastoral Care. Philadelphia: Fortress Press.

Mangan, C.M., & Murray, G.E. (1994). Why a Priest Should Wear His Roman Collar. Tradisi Katolik. Diunduh dari https://tradisikatolik.blogspot.com/2011/05/kenapa-imam-perlu-pakai-collar.html

Martin, S. (2016, Oktober 15). The Martyr Complex: How to Stop Feeling Like a Victim and Create Healthy Relationships. PsychCentral. Diunduh dari https://psychcentral.com/blog/imperfect/2016/10/martyr-complex-how-to-stop-feeling-like-a-victim-create-healthy-relationships

Martyr. Meeriam-Webster English Dictionary. Retrieved 08 Maret 2024.

Murtiningsih, E., & Wijayatsih, H. (2009). Peran Pendeta Dalam Penggembalaan Umum Di Jemaat Gki Klasis Yogyakarta. Yogyakarta: Sinta - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).

Reverend. LDoceOnline English Dictionary (definition) (online ed.). Longman. Retrieved 08 Maret 2024.

Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2013). Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Education.

Rowatt, G. W. (2001). Stress and satisfaction in ministry families. Review & Expositor98(4), 523-543.

Stewart III, C. F. (2003). Why do clergy experience burnout. Q Rev DC Nurses Assoc23(1), 78-81.

Wajdi, F., & Lubis, S.K. (2021). Etika Profesi Hukum: Edisi Revisi. Jakarta Timur: Sinar Grafika (Bumi Aksara).

Wardani, L.M.I., & Depati, M.C.R. (2022). Active Coping Style pada Pharmacist di Masa Pandemik Covid-19. Jawa Tengah: Penerbit NEM.

Wardani, L.M.I., & Hapsari, S.A. (2022). Religiosity, Burnout, dan Work-Family Conflict pada Tenaga Kesehatan. Jawa Tengah: Penerbit NEM.

Webb, B.L., & Chase, K. (2019). Occupational distress and health among a sample of christian clergy. Pastoral Psychology, 68, (331–343).  https://doi.org/10.1007/s11089-018-0844-y