ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 11 Juni 2024
Bullying: Faktor Didikan Orang Tua atau Lingkungan?
Oleh:
Vania Ramona
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Bullying (penindasan) adalah agresi yang dilakukan secara berulang-ulang dan disengaja oleh individu atau kelompok terhadap orang lain dalam situasi di mana terdapat ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku penindas dan korban. Ukuran tubuh, status sosial, atau karakteristik lainnya. Bullying dapat mencakup apa saja, mulai dari pemanggilan nama baik hingga serangan fisik langsung. Dalam hubungan, penindasan dapat melibatkan aktivitas yang dapat terjadi antara teman atau kenalan, seperti menyebarkan rumor atau secara aktif mengabaikan atau mengecualikan orang tertentu (Rettew & Pawlowski, 2021). Bagi sebagian orang, penindasan adalah cara untuk menegaskan kekuasaan mereka. sementara bagi korban bullying membuat mereka merasa lemah. Sebagaimana dikemukakan Coloroso, intimidasi merupakan ancaman pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Saat ini, bullying bukan lagi sebuah konsep yang asing bagi masyarakat Indonesia. Mereka yang melakukan intimidasi sering disebut pengganggu. Pelaku intimidasi tidak mengenal jenis kelamin atau usia. Faktanya, bullying sering terjadi di sekolah dan dilakukan oleh remaja. Penindasan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil penelitian Kljakovic dan Hunt (2016) menunjukkan bahwa masalah tingkah laku, masalah sosial, masalah sekolah dan usia memprediksi perilaku bullying. Dan juga hasil penelitian Sarifudin, Hastut dan Simanjuntak (2020) menunjukkan bahwa ibu yang berwibawa dan permisif menyebabkan gangguan emosi dan perilaku pada anak. Keluarga merupakan salah satu faktor yang menjadikan remaja menjadi pelaku bullying. Misalnya, hubungan buruk seorang anak dengan orang tuanya membuatnya kehilangan perhatian di rumah, sehingga ia mencari perhatian di sekolah, menunjukkan kekuasaannya kepada mereka yang lebih lemah darinya.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dapat menjadi salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku intimidasi. Pelaku bullying melakukan bullying sebagai pelarian dari rumah, yang selalu membuat mereka tertekan dan tidak berdaya. Menurut De Wet (Hannan dan Wahyuningsih, 2022), faktor risiko terjadinya bullying berasal dari orang tua yang tidak mau mendisiplinkan orang tuanya. anak dan keengganan mengikuti aktivitas anak di sekolah, serta buruknya hubungan antara anak dan orang tua. Anak-anak yang melakukan intimidasi biasanya meniru perilaku orang tuanya yang otoriter, bermusuhan, tidak setuju, dan tidak konsisten dalam disiplin (Carter, 2012). Di saat yang sama, pola asuh otoriter juga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan psikologis anak. Anak biasanya belum bisa mengendalikan diri dan emosinya saat berinteraksi dengan orang lain. Bahkan tidak kreatif, percaya diri atau mandiri. Pola asuh seperti ini membuat anak stres, depresi, dan trauma. Dan itulah mengapa pola asuh otoriter seperti ini tidak dianjurkan saat membesarkan anak.Kekerasan berdampak besar terhadap tumbuh kembang anak, baik secara psikis, fisik, dan mental. Jika anak diajar melalui kekerasan, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari mereka juga akan mendidik anaknya melalui kekerasan. Banyak kasus menunjukkan bahwa tidak mungkin meremehkan pentingnya orang tua dalam memberikan teladan, seperti pola pikir dan perilaku yang patut dilihat dan ditiru oleh anak-anaknya (M.Fuad, 2008).
Anggota keluarga juga dapat menjadi faktor pembentuk remaja sebagai seorang penindas. Misalnya hubungan antara anak dan orang tua tidak berjalan baik. Remaja mungkin kurang mendapat perhatian di rumah, sehingga mereka mungkin mencoba mendapatkan perhatian di sekolah dengan menonjolkan kekuasaannya terhadap orang-orang yang dianggap lebih lemah darinya. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak juga bisa menjadi salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku intimidasi. Pelaku intimidasi melakukan penindasan sebagai pelarian dari lingkungan rumah mereka, dimana mereka terus-menerus tertindas dan tidak berdaya. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan terjadinya penindasan adalah Kelompok Bermain Remaja. Faktor ini berkembang dan mengambil alih seiring pertumbuhan seseorang melalui masa pubertas. Jika remaja tidak dibimbing dalam memilih kelompok bermain, maka remaja tersebut akan terjerumus ke dalam kelompok bermain yang dapat menimbulkan perilaku nakal remaja. Remaja merupakan individu yang berada pada tahap perkembangan psikologis ketika mereka perlu benar-benar memahami siapa dirinya. Anggota kelompok bermain remaja yang menyimpang mungkin berusaha memvalidasi keberadaan mereka dengan menindas orang yang mereka anggap lemah untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain karena memiliki keberanian dan kekuatan.
Referensi:
Carroll, A., Houghton, S., Durkin, K., & Hattie, J. A. (2009). Adolescent Reputations and Risk. New York: Springer.
Hanan, & Wahyuningsih, H., (2022). Pola Asuh dan Perundungan: Tiga Level Meta Analisis. Jur. Ilm. Kel. & Kons. Vol. 15 (1).
Nurwanti, E. (2023). Pola Asuh Otoriter Orang Tua terhadap Perkembangan Mental Anak. Gunung Djati Conference Series, Volume 19.
Suteja, J., & Ulum, B. (2019). Dampak Kekerasan Orang Tua terhadap Kondisi Psikologis Anak dalam Keluarga. Equalita, Vol. 1 Issue 2.
Rettew & Pawlowski. (2022). Bullying: an update. Child & Adolescent Psychiatry, University of Vermont Medical Center, USA.
Zakiyah, E., Humaedi, S., & Santoso, M. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Remaja dalam Melamukan Bullying. Jurnal Penelitian & PPM. Vol 4(2).