ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 10 Mei 2024
Belajar Perkembangan Anak dari Film Nanny McPhee
Oleh:
Luh Surini Yulia Savitri, Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Di sebuah rumah, pengasuh umumnya hanya menjalankan tugas saja, yakni mengasuh anak. Namun Nanny McPhee (selanjutnya terkait kebudayaan, akan ditulis Ibu McPhee) bukan pengasuh biasa. Pengasuh imajiner ini adalah tokoh dari sebuah film Ibu McPhee (2005). Secara singkat, Ibu McPhee datang secara tiba-tiba kepada keluarga Brown. Kondisi keluarga ini adalah seorang ayah yang kewalahan mengurus tujuh anaknya. Setelah kematian istrinya, ayah sudah mempekerjakan 17 pengasuh dan berakhir dengan berhentinya pengasuh-pengasuh dalam waktu singkat karena perilaku anak-anaknya yang dianggap sangat nakal. Pada film ini, Ibu McPhee digambarkan mampu mengubah perilaku anak-anak tersebut menjadi lebih sopan dan mengikuti aturan, mengambil keputusan yang tepat, serta mengubah perilaku ayahnya juga. Apa yang dilakukan Ibu McPhee sehingga anak-anak yang dianggap nakal, tidak berbudaya itu menjadi anak yang memiliki potensi baik? Apakah yang dilakukan Ibu McPhee dapat kita terapkan sebagai orangtua kepada anak kita di rumah
Kondisi Anak-anak
Sebelum menelaah tentang apa yang dilakukan Ibu McPhee, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi dengan anak-anak ini sebelum Ibu McPhee datang. Seperti yang diceritakan di awal film, ibu mereka sakit setelah kelahiran anak yang terakhir dan akhirnya meninggal. Dari ketujuh anak tersebut, enam anak (dan satu bayi) sudah memahami bahwa kematian ibu membuat semuanya berubah. Rumah menjadi tidak ada yang mengurus, ayah semakin tenggelam dengan pekerjaannya karena duka yang mendalam sehingga waktu yang dihabiskan dengan anak-anak menjadi sangat minim. Dengan tidak adanya figur otoritas, membuat anak-anak ini tumbuh tanpa aturan sehingga mereka berpikir bisa melakukan apa saja yang menyenangkan. Rasa duka yang mendalam juga ada pada diri mereka namun mereka tidak paham bagaimana mengekspresikannya, sehingga merekapun menjadi agresif kepada orang lain. Dilihat dari usianya, perkiraan usia anak pertama hingga ketiga (Simon, Tora, Eric) adalah usia antara 7-11 tahun. Dalam pengkategorian Jean Piaget, mereka berada pada tahap perkembangan kognitif operasional konkrit (Concrete Operational) (Miller, 2016). Pada periode ini anak mampu untuk berpikir logis, menimbang alternatif dari suatu pilihan keputusan (Papalia & Martorell, 2024). Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa ketiga anak ini (terutama Simon) yang lebih memutuskan apa yang harus dilakukan untuk kondisi tertentu. Adik-adiknya (Lily, Sebastian, Crissie) yang diperkirakan berusia 4-6 tahun berada pada perkembangan kognitif praoperasional. Pada tahapan itu, mereka masih belum logis dalam berpikir, memahami hanya satu aspek saja, tanpa mempertimbangkan aspek lain (centration), dan berpikir saat ini dan di sini (here and now) (Miller, 2016; Papalia & Martorell, 2024). Keterbatasan kognitif mereka, membuatnya membutuhkan kakak-kakaknya untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Anak terakhir (Agatha, perkiraan usia 6-8 bulan), masih pada tahap Sensori Motor (Miller, 2016). Ia terlihat terlentang saja di tempat ia diletakkan dan belum mampu untuk merangkak.
Fondasi Tingkah Laku Anak dalam Keluarga: Sudut Pandang Ibu McPhee
Dalam film, ide dasar Ibu McPhee adalah kondisi rumah yang kacau harus ditata dan dikelola dengan baik. Hal pertama yang dilakukan oleh Ibu McPhee adalah membuat anak-anak paham bahwa ada aturan yang harus dijalani. Ibu McPhee mulai mengajarkan anak-anak untuk berkata sopan seperti mengatakan “tolong”. Walau di awal mereka (terutama Simon) menolak untuk melakukannya karena merasa tidak mau diperintah oleh orang dewasa manapun (termasuk ayahnya), akhirnya mereka bersedia (dengan magic yang dilakukan Ibu McPhee). Kemudian dengan cara yang unik dari Ibu McPhee, ia dapat membuat anak-anak bersedia untuk tidur dan berpakaian saat diminta.
Disiplin pada anak merupakan hal yang penting. Disiplin diartikan sebagai metode untuk membentuk karakter dan mengajarkan kontrol diri serta perilaku yang diharapkan lingkungan (Papalia & Martorell, 2024). Dengan mengetahui tuntutan yang diberikan kepadanya, anak menjadi lebih tenang karena paham apa yang diharapkan darinya. Periode kritis anak untuk belajar tentang tuntutan dan nilai yang diharapkan adalah sejak usia prasekolah (usia 3-6 tahun) (Brooks, 2012). Merujuk periode kritis ini, tampaknya Lily, Sebastian, dan Crissie lah yang menjadi fokus perhatian Ibu McPhee.
Ibu McPhee juga mendengarkan apa yang diutarakan oleh anak-anak. Ayah cenderung tidak mendengarkan isi pikiran dan isi hati dari anak-anaknya sehingga komunikasi tidak berjalan baik antara ayah dan anak. Bahkan saat Simon berusaha menjadi juru bicara bagi adik-adiknya yang resah karena berpikir ayahnya akan menikah lagi, Simon justru dibentak oleh ayah. Hal tersebut membuat Simon frustrasi dan pergi ke Ibu McPhee untuk mendapatkan nasihat. Orangtua yang tidak menyediakan dirinya untuk mendengarkan apa yang diutarakan anak, membuat anak merasa tidak dipahami. Dan hal tersebut membuat konflik antara orangtua dan anak menjadi semakin besar. Komunikasi dan hubungan merekapun menjadi buruk (Duncan dkk, 2009). Saat anak sudah masuk pada usia sekolah (7-11 tahun), peran orangtua justru besar untuk membuka komunikasi dengan anaknya karena anak sudah mampu untuk lebih memahami secara kognitif akan masalah-masalah hidup yang ada (Brooks, 2012). Akan tetapi karena belum mampu berpikir abstrak, mereka menjadi lebih cemas akan hal-hal yang akan terjadi.
Ibu McPhee dipersepsikan selalu mau mendengar, sehingga Simon meminta pendapat darinya dan mendapatkan ketenangan darinya. Pada akhirnya, ayahpun akhirnya belajar untuk mendengarkan apa yang dikhawatirkan anak-anaknya. Ayah juga memberikan alasan mengapa ia harus menikah di bulan itu sehingga anak-anak menjadi paham apa yang terjadi. Ayah juga dapat menenangkan Sebastian dengan mengatakan bahwa mendiang ibunya selalu ada untuk mereka. Dengan saling mendengarkan membuat mereka saling memahami, komunikasi dan hubungan menjadi baik. Perkembangan sosial (hubungan dengan saudara, ayah dan orang lain) dan perkembangan emosi (meregulasi rasa duka) anak menjadi lebih baik. Hal ini berdampak pada ayah berjanji akan selalu memberitahukan hal-hal yang berdampak pada kehidupan mereka sebagai satu keluarga.
Kombinasi Kematangan Diri dan Tuntutan Sosial: Konsekuensi Tindakan
Pada perkembangan kognitif, Simon yang paling tergambar perkembangannya. Ia mampu mengkoordinir adik-adiknya untuk bersengkongkol membuat pengasuh-pengasuh terdahulu tidak tahan dan tidak mau bekerja di rumah itu. Saat Ibu McPhee ada di rumah itu, ada hal baru yang diajarkan yakni pengambilan keputusan. Simon harus mengambil keputusan, bahkan untuk tingkat anak-anak keputusan yang diambil cukup rumit yakni mengambil keputusan yang merusak demi kebaikan yang lebih banyak.
Pada masa middle childhood (usia 7-11 tahun) anak sudah mampu untuk melihat banyak aspek dari suatu kejadian (decentration) (Papalia & Martorell, 2024). Mereka sudah dapat mempertimbangkan keputusan mana yang lebih tepat dari keputusan yang lainnya. Akan tetapi kemampuan ini harus dilatih (diberikan kesempatan dan stimulasi) agar anak belajar untuk mengambil keputusan. Tidak semua keputusan yang dianggap baik itu tepat. Ibu McPhee memberikan kesempatan kepada Simon untuk mengetahui konsekuensi dari keputusan yang kurang tepat. Dengan mengetahui adanya konsekuesi, anak jadi belajar untuk mempertimbangkan apa yang menjadi keputusannya.
Kesempatan yang diberikan oleh Ibu McPhee kepada Simon sesuai dengan usianya. Pada masa usia sekolah, orang tua harus belajar menerima keputusan-keputusan yang dipilih anak, namun tetap dilakukan pengawasan (monitoring) secara tidak langsung (Brooks, 2012). Hal ini juga disebut sebagai koregulasi (coregulation), yang mana orangtua memberikan kesempatan kepada anak untuk meregulasi dirinya dengan bantuan orang tua (Papalia & Martorell, 2024).
Penutup
Film Nanny McPhee memberi pemahaman bahwa anak tidak tumbuh dan berkembang begitu saja. Pihak luar diri anak berperan, dari orang tua sampai pengasuh. Pertumbuhan fisik tidak melulu dibarengi perkembangan psikologis. Dibutuhkan proses yang pematangan dari dalam diri dan latihan menampilkannya dalam bentuk tingkah laku. Hal ini mengingatkan kita pada potongan syair dari lagu kebangsaan kita, “bangunlah jiwanya bangunlah badannya…”. Sejalan dengan syair itu, urusan anak tidak sekedar pertumbuhan badan, jiwa anak (kognitif, afeksi, dan psikomotor) harus dikelola, dan Ibu McPhee memperlihatkannya.
Referensi:
Brooks, J.B. (2012). The Process of Parenting. New York: McGraw-Hill Education.
Duncan LG, Coatsworth JD, Greenberg MT. A model of mindful parenting: implications for parent-child relationships and prevention research. Clin Child Fam Psychol Rev. 2009 Sep;12(3):255-70. doi: 10.1007/s10567-009-0046-3.
Papalia, D.E. & Martorell, G. (2024). Human Development, 15th edition. New York: McGraw-Hill Education
Martin, C. A., & Colbert, K. K. (1997). Parenting: A life span perspective. Mcgraw-Hill Book Company.
Miller, P.H. (2016). Thories of Developmental Psychology. 6th edition. New York: Worth Publishers