ISSN 2477-1686 

Vol. 10 No. 10 Mei 2024

 

 Happily (N)ever After:

Modalitas Pasangan dalam Melalui 4 Musim Pernikahan dalam Film Queen of Tears

Oleh:

Helsa

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

Belakangan ini penikmat film Korea Selatan sedang dihebohkan dengan film serial Queen of Tears yang ditayangkan di Netflix. Serial ini menceritakan tentang pernikahan pasangan suami istri muda, Baek Hyun-woo dan Hong Hae-in, yang mulai menghadapi tantangan di usia pernikahan yang menginjak 3 tahun. Setiap episodenya dipenuhi oleh berbagai emosi, yang membuat film ini menjadi menarik untuk disimak. Perjalanan dalam relasi dapat diibaratkan ke dalam 4 musim di dunia (Chapman, 2005). Awalnya, pernikahan mereka digambarkan sebagai relasi yang penuh kehangatan dan cinta. Masa-masa awal pernikahan umumnya menjadi masa yang dipenuhi dengan kebahagiaan layaknya musim semi yang indah. Kehidupan pernikahan yang penuh dengan komitmen, rasa cinta, dan rasa keamanan terus berlanjut  di tahun-tahun awal pernikahan, yang dapat dibaratkan sebagai musim panas. Seiring berjalannya waktu, pernikahan mereka mulai memasuki musim gugur. Mereka menghadapi tantangan yang menimbulkan kesedihan, rasa tertolak, hingga perasaan bahwa dirinya tidak dicintai oleh pasangan. Akumulasi berbagai emosi negatif yang dirasakan pada akhirnya membuat pasangan suami istri ini memiliki relasi yang dingin akibat perasaan tersakiti dan tidak dipahami terus menerus. Pada masa inilah pasangan suami istri ini memasuki musim dingin.

Memahami Apa yang Salah dalam Relasi

Film ini membuat penulis berefleksi mengenai hal mendasar dalam pernikahan, yaitu komunikasi, yang sesungguhnya menjadi salah satu kunci penting dalam memupuk pernikahan yang sehat.  Virginia Satir percaya bahwa keluarga yang memiliki kualitas komunikasi yang buruk akan menghasilkan rendahnya self-esteem pada setiap anggota keluarganya (Capuzzi & Stauffer, 2021). Rendahnya self-esteem ini dapat memicu respon maladaptif dari masing-masing anggota keluarga dalam situasi yang menekan, seperti saat terjadi konflik. Respon maladaptif ini termanifestasi dalam gaya berkomunikasi (Capuzzi & Stauffer, 2021; Metcalf, 2024). Gaya berkomunikasi ini merupakan produk dari penghayatan setiap individu akan pengalamannya di dalam keluarga. Satir percaya bahwa setiap individu  bisa memiliki lebih dari satu gaya komunikasi. Keempat gaya komunikasi ini adalah:

  • Placator  Individu dengan gaya komunikasi placator berupaya untuk menyenangkan orang lain demi menyembunyikan kerapuhan dan perasaan rendah dirinya. Individu dengan gaya komunikasi ini akan berusaha keras untuk menghindari penolakan dari orang lain.
  • Blamer: Berbanding terbalik dengan tipe placator, individu dengan gaya komunikasi blamer cenderung menutupi perasaan rendah dirinya dengan mengontrol atau selalu menyalahkan orang lain. Individu dengan gaya komunikasi ini membuat orang lain berada di posisi “lebih rendah” darinya, karena ia ingin dirinya merasa lebih baik atau aman.
  • Super-reasonable: Individu dengan gaya komunikasi ini cenderung menyembunyikan perasaan sebenarnya dengan bersikap sangat rasional ketika menghadapi konflik. Oleh karena itu, ia cenderung kurang dapat menciptakan komunikasi yang jujur dan terbuka dengan orang lain.
  • Irrelevant: Individu dengan gaya komunikasi ini cenderung menganggap tidak ada konflik yang sedang terjadi. Pada dasarnya, individu ini merasa kurang dipedulikan atau dianggap dalam keluarga, sehingga berupaya mengalihkan topik diskusi dalam keluarga.

Ketika individu menggunakan keempat gaya komunikasi di atas, maka pesan yang ingin dikomunikasikan kurang tersampaikan dengan baik, dengan kata lain inkongruen. Oleh sebab itu, memperbaiki gaya komunikasi menjadi lebih kongruen menjadi hal yang penting bagi pemulihan relasi dalam keluarga.

Komunikasi Sehat Demi Relasi yang Sehat

Menurut Satir, belajar menerapkan komunikasi yang kongruen adalah kunci bagi relasi yang sehat. Kongruen dalam hal ini berarti makna atau pesan dari komunikasi disampaikan dengan jelas dan jujur, no more and no less. Komunikasi yang kongruen melibatkan adanya komunikasi yang asertif dan keseimbangan emosi, sehingga meminimalisir adanya ancaman terhadap self-esteem dari pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi (Metcalf, 2024).  Melatih diri untuk lebih kongruen dalam berkomunikasi memang bukanlah hal yang mudah. Namun, bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Tentunya, jika pasangan suami istri sangat sulit untuk melatihnya, maka meminta bantuan profesional dapat menjadi alternatif solusi untuk membantu pasangan berproses menuju pernikahan yang sehat.

Referensi:

Capuzzi, D. & Stauffer, M.D. (Ed.). (2021). Foundations of couples, marriage, and family counseling. John Wiley & Sons, Inc.

Chapman, G. (2005). The 4 seasons of marriage: Secrets to a lasting marriage. Tyndale House Publishers.

Metcalf, L. (Ed.). (2024). Marriage and family therapy: A practice-oriented approach. Springer Publishing Company.