ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 09 Mei 2024
Astaga! Apa yang Sedang Terjadi??*
Oleh:
Sri Fatmawati Mashoedi, Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Akhir tahun 2022, muncul berita mengejutkan berupa penemuan meninggalnya satu keluarga di Kalideres yang terdiri dari seorang ayah, ibu, anak, dan adik dari sang ayah. Bermula dari terciumnya aroma tidak sedap dari rumah, para tetangga di sekitar pun mengecek lokasi dan mendapati telah adanya empat mayat di dalamnya. Setiap mayat—yang semuanya dalam kondisi telah lama meninggal—diduga meninggal akibat penyakit.
Namun, hal yang lebih mengejutkan adalah, keempat mayat tersebut tidak meninggal dalam waktu yang bersamaan. Hal ini menjadi fenomena yang menyayat hati, sebab berarti, terdapat masa ketika anggota keluarga yang masih hidup tinggal bersamaan dengan yang telah tiada. Lalu, selama berbulan-bulan, tidak ada tangan orang lain yang membantu dalam kondisi tersebut. Hal ini sekilas mirip dengan kejadian kematian Kitti Genovese. Ia tewas akibat penganiayaan fisik oleh penyerang yang ternyata dilihat dan didengar oleh 38 tetangganya. Para tetangga itu sama sekali tidak ada yang menelepon pihak berwenang. Kejadian itu yang selanjutnya dijadikan bahan kajian oleh Bibb Latane dan John Darley (1969, dalam Mashoedi, 2009). Kedua kejadian terpisah ini memunculkan pertanyaan, bagi kita, ke manakah orang-orang di sekitarnya?
Tingkah Laku Prososial: Empati dan Kepedulian
Fenomena seperti yang terjadi pada berita tersebut seakan menyadarkan kita kembali mengenai pentingnya pengalaman perilaku prososial di kehidupan sehari-hari. Perilaku prososial adalah perilaku yang ketika dilakukan dapat memberi manfaat kepada orang lain (Mashoedi, 2009; Kassin et al., 2017). Empati, atau memahami sudut pandang dan perasaan orang lain (Kassin et al., 2017; Suharso, & Meinarno, 2022) tidak dapat dipisahkan dari perilaku prososial. Sebab, perasaan empati dapat menjadi dasar timbulnya bentuk kepedulian, atau bentuk “aksi” dari apa yang bisa kita lakukan dalam membantu orang lain setelah kita memahami apa yang sedang orang lain rasakan (Weiner & Auster, 2007).
Perlu ditekankan bahwa empati bukan berarti menilai, mengevaluasi, atau ikut merasakan emosi yang sama. Sebagai sosok yang berempati terhadap orang lain, kita memahami apa yang dirasakan orang lain, dan kita adalah sosok yang terpisah dari emosi itu. Empati membuat orang lain menjadi dapat membiarkan dirinya memahami emosi tanpa penilaian yang tidak perlu (Feist et al., 2018). Bukankah melegakan apabila perasaan kita dapat dipahami oleh diri sendiri dan juga orang lain seutuhnya?
Ketika kita telah berempati, kita dapat memilih untuk melakukan suatu tindakan yang benar-benar membantu dalam bentuk kepedulian. Walaupun niat kita adalah yang membantu dan bukan terbantu, nyatanya, membantu orang lain juga “membantu” diri kita sendiri. Perasaan senang dan berdaya yang timbul ketika bisa membantu orang lain, atau pengalaman bahwa membantu orang membuat kita dapat terbantu atau terbalas budinya di kemudian hari, menjadi perasaan dan pemikiran yang sadar tidak sadar membantu kita ketika memutuskan melakukan kegiatan prososial. Namun, tidak menutup kemungkinan juga membantu orang lain dapat “membantu” diri keluar dari tekanan sosial, terlebih di budaya kolektivis (Kassin et al., 2017).
Membangun Kepekaan
Sekarang, mari kita renungkan bentuk prososial di sekitar kita. Mungkin telah terdapat beberapa nilai yang bergeser dan menjadikan menjamurnya tingkah laku acuh dalam dunia yang dinamis ini. Terlebih lagi, teknologi berkembang pesat, dan sejak pandemi, kehidupan digital yang semakin canggih menjadi pola hidup yang sudah sangat melekat. Pepatah “mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” seakan makin terasa sekarang ini.
Namun, bukan berarti kita menyalahkan adanya perkembangan digital. Justru, bangunlah perilaku prososial secara adaptif dengan memanfaatkan media teknologi yang sebenarnya bertujuan untuk memudahkan interaksi. Apabila ditelaah, teknologi seperti media sosial memudahkan kita untuk saling terhubung dengan cepat, bukan? Bahkan, jika penggunaan internet atau media sosial tepat guna alias untuk saling membantu dan menjaga interaksi, hal ini berdampak positif dalam kehidupan sosial (Nalle et al., 2023; Saud et al., 2020). Akan tetapi, kuncinya memang satu: seimbangkan juga dengan kepekaan dalam lingkup sekitar kita.
Lewat teknologi, kita bisa manfaatkan untuk melakukan kegiatan prososial yang bisa kita lakukan. Empati dengan apa yang orang bagikan, meniadakan penilaian dan berusaha memahami, lalu disusul dengan aksi kepedulian yang bisa dilakukan media sosial menjadi hal yang bagus untuk dilakukan. Namun kembali lagi, hidup kita ada di dunia nyata dan bukan sepenuhnya di dunia maya. Ketika kita berada di dunia nyata, manfaatkanlah untuk tetap terhubung dan berperilaku prososial semampu yang kita bisa khususnya ke orang-orang sekitar kita. Ingat kembali rasa senang yang kita dapat apabila kita dapat saling berbalas senyum, saling membantu, saling mengecek, dan saling menjaga dengan tetangga dan komunitas masyarakat. Ingat kembali bahwa kita hidup sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial yang saling membantu. Ingat kembali bahwa peran manusia bisa berganti, selain menjadi yang membantu, suatu saat kita bisa menjadi pihak yang terbantu.
Mulailah untuk peka terhadap lingkungan sosial di sekitar kita. Kepekaan sosial adalah ketika individu dapat melakukan tindakan yang cepat dan tepat serta memahami apa yang terjadi di sekitarnya (Lidiawati, 2022; Pitoewas et al., 2020). Oleh karena itu, empati dan kepedulian yang terasah membantu dalam mewujudkan kepekaan sosial yang baik. Tidak ada salahnya kita saling mengecek keadaan dan menawarkan bantuan apabila tampak diperlukan. Libatkan diri dalam kegiatan sosial bersama orang lain juga dapat menjadi ajang berlatih memahami sudut pandang orang lain sekaligus melakukan bentuk kepedulian dan prososial di dalam masyarakat.
Dan, Tidak Ada yang Salah dalam Meminta Empati dan Kepedulian Orang Lain
Apabila kita kembali kepada berita mengenai keluarga di Kalideres, mungkin terdapat pertanyaan, apakah mereka juga tidak memberi tahu siapapun?
Apapun itu, mari kita sepakati bahwa selain perlu meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial di sekitar kita, kita juga perlu memahami bahwa tidak ada yang salah juga dalam menjadi posisi yang terbantu. Hidup ini penuh dinamika yang menjadikan tiap orang dapat berganti “peran”, sehingga meminta bantuan ketika perlu bukan suatu hal yang buruk.
Jadi, jangan sungkan dan percayalah bahwa bantuan akan ada. Apabila masih tetap penuh keraguan, ingat kembali ketika Anda sedang dapat membantu orang lain, perasaan senang yang timbul itulah yang akan dirasakan oleh orang yang membantu Anda. Anda terbantu, dan Anda telah membantunya kembali untuk merasa berdaya dan bahagia. Terdengar bagus, bukan?
Penutup
Empati dan kepedulian menjadi hal yang saling tidak terpisahkan dan menjadi bagian dari perilaku prososial. Perilaku prososial inilah yang perlu terus kita tingkatkan dengan mematangkan kepekaan sosial di sekitar. Teknologi yang hadir cukup untuk menjadi opsi tepat guna untuk mendekatkan yang jauh, tetapi mari kita wujudkan tanpa menjauhkan yang dekat. Ingat selalu untuk seimbangkan bagaimana interaksi dan aksi prososial kita baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Mari ambil pelajaran dari berita kasus keluarga Kalideres dan tidak memberi ruang kepada kasus-kasus serupa lainnya ke depannya.
*judul ini menggunakan sepenggal syair lagu yang dinyanyikan oleh Ruth Sahanaya yang berjudul ”Astaga”.
Referensi
BBC News Indonesia. (2022). Penyebab kematian satu keluarga di Kalideres terungkap: 'Masalah finansial, perilaku mengasingkan diri, sungkan minta pertolongan'. Retrieved November 21, 2023, from https://www.bbc.com/indonesia/articles/cjlr02nr857o
Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T. (2018). Theories of Personality (9th Ed.). New York: McGraw-Hill.
Kassin, S., Fein, S. & Markus, H. R. (2017). Social Psychology (10th ed). International Edition. Wadsworth, Cengage Learning.
Hapsari, M. A. & Carina, J. (2022). Kronologi lengkap tewasnya satu keluarga di Kalideres, Dian terpuruk dan meninggal terakhir. Kompas.com. Retrieved November 21, 2023, from https://megapolitan.kompas.com/read/2022/12/10/09560861/kronologi-lengkap-tewasnya-satu-keluarga-di-kalideres-dian-terpuruk-dan?page=all
Lidiawati, KR. (2022). Empati Sebagai Pintu Membangun Relasi. Buletin KPIN. Vol. 8 No. 16 Agustus 2022. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1101-empati-sebagai-pintu-membangun-relasi
Mashoedi, S. F. (2009). Tingkah laku menolong. Dalam Psikologi sosial. Penyunting Sarlito W Sarwono dan Eko A Meinarno. Salemba Humanika. Jakarta.
Nalle, A. P., Saba, K. R., & Seko, I. (2023). Intensitas penggunaan aplikasi Facebook dan kepekaan sosial remaja. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 5(1), 963–969. DOI: https://doi.org/10.31004/jpdk.v5i1.11076
Pitoewas, B., Nurhayati, N., Putri, D. S., & Yanzi, H. (2020). Analisis kepekaan sosial Generasi (Z) di era digital dalam menyikapi masalah sosial. Jurnal Bhineka Tunggal Ika: Kajian Teori dan Praktik PKn, 7(1), 17–23.
Saud, M., Mashud, M., & Ida, R. (2020). Usage of social media during the pandemic: Seeking support and awareness about COVID-19 through social media platforms. Journal of Public Affairs, 20(4), 1–9. DOI: https://doi.org/10.1002/pa.2417
Suharso, PL., Meinarno, EA. Gotong-royong sebagai Wujud dari Empati. Buletin KPIN. Vol. 8 No. 22 November 2022. https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1166-gotong-royong-sebagai-wujud-dari-empati
Weiner, S. J., & Auster, S. (2007). From empathy to caring: defining the ideal approach to a healing relationship. The Yale journal of biology and medicine, 80(3), 123–130.