ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 09 Mei 2024
Upaya Praktis dalam Melatih Empati pada Generasi Muda Indonesia
Oleh:
Wiwit Puspitasari Dewi
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Tanggapan terhadap artikel Sri Fatmawati Mashoedi dan Eko A Meinarno
Artikel ini menyampaikan penjelasan yang komprehensif mengenai perilaku prososial di dalam kehidupan sehari-hari, secara spesifik mengenai empati dan kepedulian. Mashoedi dan Meinarno (2024) mengawalinya dengan memaparkan sebuah kejadian yang dapat memantik pelajaran akan dampak yang dapat terjadi saat kita kurang peka dengan lingkungan, yaitu meninggalnya satu keluarga di Kalideres yang kondisinya baru diketahui setelah berbulan-bulan. Empati sendiri merupakan konsep yang kompleks. Istilah ini disebutkan oleh Edward Ttichener, seorang psikolog dari Inggris, pada tahun 1909 untuk menerjemahkan istilah bahasa Jerman yaitu Einfuhlung yang berarti “feeling into” atau “in feeling) (Numanee et al., 2020).
Salah satu aspek kunci dari empati adalah pengambilan perspektif yang dipahami sebagai kemampuan dalam mengenali sudut pandang orang lain (Healey & Grossman, 2018). Dari berbagai penelitian, empati sendiri dibagi menjadi dua aspek utama, yaitu empati kognitif dan empati afektif (Healey & Grossman, 2018; Clarke, 2023). Empati kognitif merupakan kemampuan untuk mengetahui atau memahami perasaan dan pikiran orang lain. Sedangkan empati afektif merupakan kemampuan untuk mengalami emosi yang dirasakan oleh orang lain, atau dikenal sebagai pengadopsian emosi. Walaupun dapat mengalami emosi, seseorang yang berempati memahami bahwa kita adalah sosok yang terpisah dari emosi tersebut (Mashoedi dan Meinarno, 2024).
Empati dan Dunia Digital
Dunia digital merupakan bagian dari kehidupan yang tidak dapat terpisahkan dari generasi muda. Apalagi sejak pandemi, sepertinya perkembangan dunia digital mampu memberikan dampak pada berkurangnya kepekaan kita terhadap lingkungan sosial. Mossner dan Walter (2024) menjelaskan mengenai tiga kondisi yang perlu untuk dipenuhi jika kita ingin memiliki pemahaman empatik mengenai orang lain dan bagaimana hal tersebut dapat terhambat dengan adanya perkembangan dunia digital.
Affective repertoire: Daftar situasi emosional yang kita alami dan membuat kita lebih memahami sebuah situasi di dunia nyata. Hal ini sulit didapatkan di dunia digital karena kurangnya kedalaman maupun keberagaman yang ada di sana. Ditambah lagi dunia digital dapat melemahkan aktivasi akan sebuah emosi. Akibatnya pengalaman emosional yang dialami oleh orang lain yang dibagikan di dunia digital dapat mengurangi pengalaman emosi kita.
Perceptual input: Merupakan input verbal maupun nonverbal yang dapat diterima dan dipersepsi oleh kita. Dunia digital dapat membatasi jumlah input dengan mengurangi hal yang dapat diobservasi, membuat input menjadi kurang kaya, dan mengurangi terjadinya umpan balik segera sehingga mengambat klarifikasi akan sesuatu.
Background knowledge: Merupakan latar belakang mengenai pihak lain yang dapat menambah informasi mengenai mereka. Namun hal ini dapat menjadi berkurang dengan adanya anonimitas di dunia digital.
Walaupun penjelasan di atas memaparkan hambatan yang dapat terjadi dalam pengembangan empati karena dunia digital, Mashoedi dan Meinarno (2024) menyampaikan bahwa kita tetap dapat memanfaatkan teknologi untuk melakukan kegiatan prososial. Sebagai contoh kita dapat melakukan aksi kemanusiaan dengan memanfaatkan media sosial. Namun kita tetap perlu memanfaatkan kesempatan untuk tetap terhubung dan berperilaku prososial di dunia nyata.
Melatih Empati pada Generasi Muda
Terdapat berbagai kegiatan yang dapat dilakukan untuk melatih empati dan salah satunya dapat dilakukan dengan melatih pemahaman akan lain. Kegiatan yang akan disampaikan di sini bertujuan agar peserta mampu menganalisa gagasan yang dimiliki terhadap pihak lain serta mengarahkan mereka untuk berespon secara empatik terhadap pihak tersebut. Untuk memulai kegiatan ini, kita dapat mempertunjukkan gambar dari pihak yang akan dipahami, informasi yang cukup detil mengenai latar belakang mereka, serta video yang secara umum dapat menggambarkan kehidupan mereka secara berurutan. Penggunaan video ini terinspirasi dari hasil review literatur yang menunjukkan potensi penggunaan Virtual Reality (VR) dalam intervensi pengembangan empati (Trevena et al., 2024).
Setelah mereka mendapatkan informasi yang lengkap mengenai pihak tersebut, kita dapat melakukan refleksi mengenai pihak tersebut. Sebelum melakukan refleksi, beberapa pengingat dapat diberikan kepada peserta, yaitu:
Kegiatan ini bukan tentang diri sendiri, namun tentang orang yang akan diperhatikan;
Marilah menggunakan imajinasi kita saat berusaha memahami orang tersebut;
Tetap fokus dan singkirkan distraksi yang dapat mengganggu;
Tetaplah memiliki sikap ingin tahu kepada orang tersebut.
Pertanyaan refleksi yang digunakan merupakan hasil adaptasi dari The Empathy Map Canvas yang digunakan sebagai kerangka latihan. The Empathy Map Canvas berisikan tujuh pertanyaan utama yang disertai dengan beberapa pertanyaan lanjutan sebagai alternatif pertanyaan utama (Gambar 1). Kita juga dapat menambahkan tiga pertanyaan tambahan untuk semakin memahami bagaimana peserta akan berespon terhadap pihak lain (Pertanyaan 9 - 11).
Beberapa pertanyaan refleksi yang dilakukan adalah:
Siapa orang yang akan kita pahami ini?
Apa yang mereka perlu lakukan?
Apa yang mereka lihat?
Apa yang mereka katakan?
Apa yang mereka lakukan?
Apa yang mereka dengarkan?
Apa rasa sakit (ketakutan kesulitan, kecemasan) yang mereka miliki?
Apa kebutuhan, keinginan, mimpi yang mereka punya?
Bagaimana kita biasanya berperilaku terhadap orang tersebut?
Bagaimana jika kita diperlakukan seperti itu (jawaban nomor 9)
Bagaimana kita sebaiknya berperilaku terhadap orang tersebut?
Gambar 1. The Empathy Map Canvas (dalam Gray, 2017)
Penutup
Generasi muda tumbuh dan berkembang di tengah dunia digital. Hal ini membuat mereka memiliki kepedulian terhadap hal tertentu yang mungkin saja berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka juga dapat belajar mengenai empati dengan cara yang berbeda. Namun kita tetap dapat membantu mereka untuk mengembangkan empati dengan mengikutsertakan dunia digital dalam proses pembelajarannya.
Referensi:
Clarke, J. (2023, 1 Maret). Cognitive empathy vs emotional empathy. Verwellmind. https://www.verywellmind.com/cognitive-and-emotional-empathy-4582389#citation-5
Gray, D. (2017, 16 Juli). Updated empathy map canvas. Medium. https://medium.com/@davegray/updated-empathy-map-canvas-46df22df3c8a
Mashoedi, S.M., & Meinarno, E.A. (2024, April). Astaga! Apa yang sedang terjadi.
Mossner, C., & Walter, S. (2024). Shaping social media minds: Scaffolding empathy in digitally mediated interactions?. Topoi. https://doi.org/10.1007/s11245-024-10034-x
Numanee, I.Z. , Zafar, N, Karim., A, & Ismail, S.A.M.M. (2020). Developing empathy among first-year university undergraduates through English language course: A phenomenological study. Heliyon 6(6). https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e04021
Trevena, L., Paay, J. & McDonald, R. (2024). VR interventions aimed to induce empathy: a scoping review. Virtual Reality 28, 80. https://doi.org/10.1007/s10055-024-00946-9.