ISSN 2477-1686

 

Vol. 10 No. 06  Maret 2024

 

Trauma Pasca-Pilkades di Kabupaten Simalungun

(Pemilihan Kepala Desa) 

Oleh:

Ria Ferawaty Malau

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

Pilkades yang dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2023 diberbagai wilayah di Kabupaten Simalungun meninggalkan banyak masalah yang berdampak terhadap seluruh lini kehidupan di desa tersebut. Hubungan kekeluargaan yang pecah, hubungan persaudaraan yang terputus karena beda pilihan bahkan bukan hanya lingkungan keluarga saja tetap juga berdampak ke dalam setiap organisasi yang ada di desa tersebut. Pihak yang kalah merasa dirugikan, pihak yang menang merasa benar dan akhirnya itu berujung kepada tidak adanya persatuan dan kesatuan seperti yang selama ini sudah terjalin dengan baik. Sebelum pelaksanaan pilkades, dalam sebuah acara suka cita maupun duka cita setiap penduduk desa selalu bergotong royong dan saling bahu membahu dalam menghadapi setiap masalah, tapi pasca-pilkades semua itu berubah dan semua orang merasa menjadi orang benar.

Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu deca yang diartikan sebagai tanah air, kampung halaman, atau tanah kelahiran. Secara geografis, desa atau village yang diartikan sebagai “a groups of houses or shops in a country area, smaller than and town“.  Desa adalah kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil dengan nama berbeda yang dikenal sebagai kampung, Pekon, Tiuh, Dusun, padukuhan dan udik untuk Banten, Jawa Barat, Papua Barat, Papua, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Yogyakarta atau Banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat), Lembang (Toraja), dan juga Lampung di Simalungun dikenal dengan istilah “Nagori/ Huta”. Kepala desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya: Kepala Desa, Peratin, Kakon atau Petinggi, dan sebagainya di Kalimantan Timur, Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, Lampung dan Kuwu di Cirebon, Hukum Tua di Sulawesi Utara di Simalungun Sumatera Utara disebut dengan nama Pangulu.

Desa memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan perkotaan, dimana ciri-ciri desa adalah sebagai berikut: 1. Kehidupan masyarakat desa dianggap sangat dekat dengan alam. Sehingga mata pencaharian penduduknya bergantung bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. 2. Kepadatan penduduk relatif rendah 3. Ciri desa selanjutnya adalah interaksi masyarakat desa lebih intens, saling mengenal dan saling membantu satu dengan yang lain. 4. Masyarakat desa juga memiliki semangat solidaritas yang sangat kuat. Hal ini terjadi karena penduduk desa memiliki tujuan ekonomi, budaya dan kehidupan yang sama. 5. Mobilitas masyarakat desa juga cenderung rendah. Memang, terbatasnya lapangan kerja dan ikatan masyarakat membuat penduduk desa jarang bepergian atau pergi ke tempat yang jauh.

Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Runtuhnya masa Orde Baru dan hadirnya liberalisasi politik membawa perubahan bagi kondisi sosial dan politik mulai dari tingkat lokal. Liberalisasi politik membuka ruang bagi setiap individu untuk turut serta berpartisipasi di panggung politik pemerintahan, baik tingkal local hingga nasional. Hal ini memberikan angin segar bagi kalangan yang selama ini terpinggirkan karena status social (Razak & Harakan, 2017). Pilkades merupakan salah satu kegiatan politik yang menarik bagi masyarakat desa. Pilkades di Indonesia saat ini masih penuh dengan ironisme. Pada masa sekarang posisi sebagai Kepala Desa atau Pangulu menjadi salah satu posisi yang diperebutkan termasuk dengan menghalalkan segala cara supaya bisa menduduki posisi tersebut. Money Politik, kampanye hitam, saling menjelek-jelekkan antara calon yang satu dengan lain dan pasca-Pilkades itu bukan semakin baik tapi justru semakin buruk.

Di dalam penyelenggaraan pesta demokrasi ini terdapat banyak masalah dan persoalan sebagai gejala awal konflik yang diwarnai dengan kericuhan, kekerasan, yang dapat merusak keutuhan dan eksistensi masyarakatnya. Konflik Pilkades secara serentak yang dilakukan di Kabupaten Simalungun juga mengalami permasalahan sengketa Pilkades. Konflik terjadi disebabkan oleh permainan elit daerah, kelompok kepentingan yang menggunakan kekuatan-kekuatan politik sarat kewenangan yang dimiliki untuk memperkuat basis, jaringan di Tingkat desa. Proses pemilihan kepala desa secara serentak di Kabupaten Simalungun telah selesai sejak Maret 2023 lalu. Bahkan kepala desa terpilih sudah dilantik dan sudah menjalankan tugas. Proses demokrasi yang berlangsung di desa itu memiliki hiruk-pikuk dan magnet tersendiri di kalangan masyarakat desa di Simalungun. Pasalnya prosesnya ternyata hingga kini masih meninggakan bara konflik. Banyak persoalan yang tersisa dan sekali-sekali akan meletup menjadi konflik antar masyarakat. Betapa tidak saat ini akibat dari konflik Pilkades itu, bahkan ada warga yang terusir dari rumahnya, kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan hanya karena berbeda pilihan di Pilkades.

Warna-warni konflik ini menjadi bunga rampai pada proses Pilkades di beberapa desa di Kabupaten Simalungun pada Maret 2023. Selain itu, pada beberapa kasus konflik pemilihan kepala desa yaitu (Istifarin, 2016), politik dinasti pada Pilkades, (Suwardi, 2015) tentang politik uang, sedekah politik, (Zerunisa & Winarni, 2017) political marketing Pilkades yang digunakan untuk memenangkan pemilihan kepala desa, pola interaksi kekuasaan yang terjadi tawar menawar jabatan (bargaining) untuk melakukan pertukaran kepentingan. Pilkades serentak 2023 di Kabupaten Simalungun meninggalkan trauma yang mendalam di beberapa desa karena bukan hanya kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan, konflik antar keluarga yang seperti tidak lagi saling mengenal, bahkan ada yang sampai pisah antara suami dan istri. Sehingga beberapa Masyarakat mengatakan “memungkinkah pilkades tidak dilaksanakan sehingga tidak ada banyak persoalan seperti sekarang atau kalua bisa pihak Kabupaten saja yang langsung menunjuk siapa yang menjadi Kepala Desa”. Karena kalau proses pemilihan ini tetap terjadi sesuai dengan periode yang ditetapkan Pemerintah Pusat maka konflik-konflik ini tidak akan pernah berakhir.

Referensi:

Razak, & Harakan, A. (2017). Eksklusivitas Adat Dalam Bingkai Demokrasi Di Indonesia. Jurnal Agregasi

Suwardi. (2015). Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa tahun 2014: Studi Tentang Pemahaman Masyarakat Terhadap Politik Uang di Desa Poreh Kecamatan  Lenteng  Kabupaten  Sumenep. Diss. Uin sunan ampel Surabaya. digibli.uinsby

Istifarin. (2016). Fenomena Politik Kekerasan dalam Pilkadesdi Desa Ketapang Laok Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang Madura. Diss. Uin sunan ampel Surabaya. Diss. Uin Sunan Ampel

Zerunisa, R., & Winarni, F. (2017). Political Marketing Kandidat Dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) (Studi Kasus Desa Getan Kecamatan Gantiwarno Kabupaten Klaten). Jurnal Student https://wonoyoso.kec-kuwarasan.kebumenkab.go.id/index.php/web/artikel/4/740