ISSN 2477-1686

 

Vol. 10 No. 06  Maret 2024

 

Menjadi Orang Tua, Berani Malu?

 Oleh:

Jessica Ariela

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

Ilustrasi

Seorang ibu sedang berjalan di bandara bersama dengan anak balitanya, sekitar usia satu tahun, dan ibunya (nenek dari balita tersebut). Tampak kelelahan di wajah mereka. Mendekati sebuah restoran, tiba-tiba anak tersebut menangis dan tantrum, disusul suara teriakan sang ibu yang memarahinya. Sontak banyak orang menoleh dan memperhatikan. Si ibu, sadar diperhatikan orang banyak, justru bertambah keras memarahi si anak. Makin kencang si ibu berteriak, makin kencang pula tangisan anak ini. Saat si anak sudah tenang, si ibu pun meninggalkannya di restoran dengan si nenek, yang lalu menyuapi anak tersebut. Namun, anak ini tidak sengaja menumpahkan makanan di sendok. Nenek ini pun langsung naik pitam dan berteriak pada si anak, yang mana membuat anak tersebut pun menangis lagi dengan kencang. Melihat hal itu, nenek ini makin memarahi anak tersebut dan memukul dengan kencang. Banyak orang langsung menoleh dan memperhatikan, tetapi karena kendala bahasa, mereka pun cenderung diam. Si nenek, sadar diperhatikan, makin marah pada anak ini. Semakin marah si nenek, semakin kencang tangisan anak ini, yang akhirnya membuat nenek ini kesal dan mengguncang-guncang anak ini dan memukulnya. Setelah lelah menangis, tidak lama anak ini tertidur sambil digendong oleh sang nenek.

Pembahasan

Menjadi orang tua bukan hanya memiliki kewajiban untuk menyediakan sandang, pangan, dan papan, tetapi juga untuk memberikan keamanan emosional pada anak, kasih sayang, dan juga disiplin. Hal ini tentu merupakan hal yang pelik dan seringkali membuat orang tua merasa kewalahan. Sebuah studi dari Pew Research Center (2023) mendapati bahwa sebanyak 41% orang tua mengaku mereka merasa kelelahan mengurus anak, dan 29% bahkan merasa stres. Kelelahan dan rasa stres ini khususnya lebih dirasakan oleh para ibu dibandingkan ayah. Kondisi anak yang sedang tantrum ataupun rewel tentu akan membuat stres yang dirasakan orang tua maupun caregiver semakin meningkat, apalagi jika terjadi di tempat umum. Tidak hanya stres karena bingung bagaimana cara menenangkan anak, orang tua makin stres karena menahan malu. Rasa stres dan malu yang dirasakan sebenarnya hal yang wajar, membuktikan bahwa mereka memiliki kesadaran akan norma sosial dan ingin menjaga self-image mereka, yakni gambaran yang mereka miliki tentang diri mereka sendiri. Menurut Carl Rogers (dalam Feist & Feist, 2006), individu memiliki ideal self, yakni apa yang individu harapkan/inginkan berkaitan dengan dirinya. Semakin besar diskrepansi real self (kondisi diri yang real) dan ideal self, maka akan mendatangkan rasa cemas yang semakin besar pula.

Orang tua yang memiliki ideal self sebagai orang tua yang baik, tentu mengharapkan anaknya berperilaku baik, sopan, dan patuh saat di depan umum. Tantrum dan kerewelan anak di depan umum dapat ditafsirkan sebagai suatu realita yang bertentangan dengan ideal self dan menimbulkan rasa cemas pada orang tua. Orang tua yang kurang dapat meregulasi kecemasannya akhirnya akan memarahi anaknya dan berharap anak secara instan berubah berperilaku baik, atau justru akan menuruti kemauan anak tanpa batasan agar anak tidak rewel. Keduanya mencerminkan usaha untuk mereduksi kecemasan dengan usaha mengubah realita di mana anak menjadi well-behaved, demi menjaga ideal self mereka sebagai orang tua yang baik. Usaha menjaga ideal self ini, dengan kata lain, adalah usaha untuk “menyelamatkan wajah” dari rasa malu. Semakin orang tua merasa malu, semakin tinggi juga kecemasan yang dirasakan, dan usaha-usaha “menyelamatkan wajah” ini akan semakin intens dilakukan oleh orang tua. Sayangnya, usaha-usaha ini, tanpa disertai regulasi emosi dan empati, justru akan memperburuk keadaan.

Anak biasanya rewel dan tantrum bukan karena kurang disiplin, tetapi karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi atau ketidaknyamanan yang mereka rasakan. Bagi anak batita dan balita yang belum fasih secara verbal (Papalia & Martorell, 2020), akan berkomunikasi dengan cara tertentu untuk mendapatkan perhatian orang tuanya, seperti menangis atau menjadi lebih rewel. Selain itu, emotional contagion theory (Herrando & Constantinides, 2021) menyatakan bahwa interaksi sosial dapat mendorong individu-individu untuk bereaksi secara sinkron karena dipicu adanya “penularan emosi” antarindividu. Anak dan orang tua juga dapat saling “menularkan” dan memperkuat emosi dalam hubungan timbal balik. Karena itu, tidak heran jika seorang anak yang menangis akan membuat orang tuanya cemas, dan saat orang tua cemas dan tidak mampu meregulasinya, anak akan tambah merasa cemas dan makin menangis. Orang tua yang melihat hal itu lalu memarahi anak, yang justru membuat anak takut dan menangis semakin kencang, dan siklus ini pun berlanjut. Orang tua, sebagai orang dewasa, perlu mampu meregulasi emosi lebih dulu untuk dapat memutus siklus ini. Lantas apa yang dapat dilakukan dalam situasi anak tantrum di depan umum? (a) Orang tua dan caregiver berusaha untuk tetap tenang. Orang tua dapat menarik napas dan sebisa mungkin berusaha untuk tetap tenang dan tidak meninggikan suara. Aturlah napas, perhatikan reaksi tubuh, dan merilekskan tubuh, (b) Orang tua dan caregiver berusaha mengidentifikasi apa yang membuat anak tidak nyaman. Mungkin itu kelelahan fisik, kebosanan, lapar, haus, mengantuk, atau kebutuhan lainnya. Identifikasi dan nyatakan pada anak bahwa Anda memahami kebutuhannya. Seorang anak yang melihat orang tua atau caregiver-nya tetap tenang dan berusaha memahaminya akan turut merasa lebih tenang. Orang tua dan caregiver pertama-tama perlu menyadari kebutuhan dan ketidaknyamanan apa yang dirasakan oleh anak. Jika tidak dapat dipenuhi saat itu juga, setidaknya dapat menawarkan kenyamanan lewat empati (misalnya, “Wah, kamu pasti kelelahan sekali ya…” atau “Mama tahu kamu ngantuk, sudah jam bobo...” Dengan diberikan empati sederhana seperti ini anak biasanya sudah lebih tenang.

Orang tua berani malu. Inilah kunci saat insiden terjadi di tempat umum. Tugas utama orang tua dan caregiver adalah menjaga anak tetap safe. Orang tua dan caregiver perlu menyadari mereka tidak dapat mengontrol apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya maupun pola asuhnya. Namun, mereka dapat mengontrol apa yang dipikirkan dan respon selanjutnya. Saat orang tua dan caregiver terbebani dengan rasa malu dan takut dihakimi orang lain, maka mereka akan semakin cemas, dan membuatnya lebih reaktif. Sebaliknya, tetap tenang, dan usahakan untuk menjaga boundaries yang telah disepakati dengan anak, memastikan anak tetap safe, dan secara confident arahkan anak untuk melakukan hal yang dapat membantu.

Referensi:

Feist, J. & Feist, G. (2006). Theories of personality. Philadelphia, PA: McGraw-Hill.

Herrando, C. & Constantinides, E. (2021). Emotional Contagion: A Brief Overview and Future Directions. Frontiers in Psychology, 12, 712606. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.712606

Minkin, R. & Horowitz, J. M. (2023, January 24). Parenting in America Today. Pew Research Center. Retrieved from https://www.pewresearch.org/social-trends/2023/01/24/parenting-in-america-today/?utm_source=AdaptiveMailer&utm_medium=email&utm_campaign=23-1-24%20GRAL%20Distro%20SDT%20Parenting%20Release&org=982&lvl=100&ite=11063&lea=2293961&ctr=0&par=1&trk=a0D3j000012TyIwEAK

Papalia, D. E. & Martorell, G. (2020). Experience human development, 14th ed. New York: McGraw Hill.