ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 05 Maret 2024
Childfree: Pilihan atau Trauma?
Oleh:
Fadhilla Alfitri
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Childfree merujuk kepada individu yang memilih untuk tidak memiliki anak meskipun mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya dan merupakan hasil dari pergeseran sosial-budaya dalam norma-norma sosial dan nilai-nilai pribadi (Blackstone, 2014). Saat ini di Indonesia keputusan individu untuk childfree masih menuai pro dan kontra. Adapun di Indonesia masih banyak pihak yang kontra dikarenakan dinilai tidak wajar serta bertentangan dengan budaya dari masyarakat Indonesia. Leliana et al. (2023), mengutarakan bahwa adanya pihak yang pro dan kontra selain dikarenakan tidak sesuai dengan budaya yang terdapat di kalangan masyarakat, alasan lainnya adalah pernikahan masih dipandang sebagai jalan untuk menciptakan keturunan. Terdapat pula alasan agama, yang mana menganjurkan untuk memiliki anak. Hal tersebutlah kemudian yang membuat perdebatan terkait childfree tidak kunjung berakhir. Pada individu-individu yang memandang positif childfree dikarenakan adanya pemikiran bahwa setiap orang berhak untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri tanpa adanya tekanan dari lingkungan sekitar. Pada sisi lainnya, yang memandang negatif childfree dikarenakan kurang adanya pemahaman yang dapat diterima atas alasan individu memilih untuk childfree. Fenomena ini kemudian melahirkan pertanyaan tersendiri, apakah keputusan untuk childfree hanya sekedar pilihan pribadi atau adakah faktor lain yang lebih mendalam dan menjadi penyebab individu memilih childfree?
Hoglund dan Hildingsson (2023) berpendapat bahwa keputusan untuk menjalani kehidupan tanpa anak didasarkan pada keinginan untuk bebas dan kemampuan untuk mengatur waktu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang memutuskan untuk childfree juga menghargai ketenangan dan kesenangan hidup sendiri atau hanya dengan pasangan, dan mereka berpikir bahwa ini adalah cara yang lebih mudah untuk hidup. Individu juga dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman. Selain itu, individu akan terlepas dari tanggung jawab moral dan finansial untuk memastikan kesejahteraan anak. Pada sisi lain Bicharova (2015), berpendapat bahwa meskipun keputusan individu untuk childfree atas dasar yang positif, namun masyarakat masih memiliki pandangan yang berbeda. Masih terdapat stereotip dalam kesadaran masyarakat bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak terkait erat dengan trauma psikologis tertentu di masa lalu atau keegoisan. Bukan karena hanya sekedar alasan ingin mempertahankan kebebasan serta kebahagiaan tanpa anak. Pandangan masyarakat yang mengaitkan keputusan untuk childfree dengan trauma ataupun keegoisan ini membuat perempuan yang tidak memiliki anak secara paksa dipandang lebih hangat daripada perempuan yang tidak memiliki anak secara sukarela (Harrington, 2019). Studi-studi terdahulu bahkan cenderung menunjukkan bahwa tidak memiliki anak secara sengaja sebagai bentuk penyimpangan (Blackstone & Stewart, 2016). Pandangan tersebut sampai saat ini masih sulit untuk dihilangkan meskipun penelitian menunjukkan kepuasan pernikahan yang lebih besar pada pasangan yang tidak memiliki anak. Individu yang memutuskan untuk tidak memiliki anak juga jarang mengalami depresi dan memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi secara umum dibandingkan dengan individu yang memiliki anak (Hoglund & Hildingsson, 2023). Adapun banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa childfree tidak selalu terkait dengan trauma masa lalu, namun tidak dapat ditutup kemungkinan bahwa adanya peran trauma dalam pembuatan keputusan tersebut. Hal itu karena terdapat pula orang-orang yang tidak ingin memiliki anak karena pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan (Hoglund & Hildingsson, 2023). Pada akhirnya, hal tersebut yang membuat adanya stereotip negatif pada individu atau pasangan yang memilih childfree. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar maupun salah, namun perlu diketahui pula bahwa tidak semua orang yang memiliki trauma masa lalu memutuskan untuk tidak punya anak dan tidak semua orang yang memiliki masa lalu bagus yang memutuskan untuk mempunyai anak. Pendapat Pelton dan Hertlein (2011) dapat juga mendukung bahwa childfree tidak selalu disebabkan trauma masa lalu, karena pada akhirnya peran kepribadian seseorang yang akan sangat menentukan keputusan memiliki punya anak atau tidak dan bukan masa lalunya.
Referensi:
Bicharova, M. (2015). Russian childfree community: reality and illusions. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 214. 925-932.
Blackstone, A. (2014). Doing family without having kids. Sociology Compass, 8(1). 52–62.
Blackstone, A. & Stewart, M. D. (2016). There‟s more thinking to decide: how the childfree decide not to parent. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, 24(3). 296-303.
Harrington, R. (2019). Childfree by choice. Studies in Gender and Sexuality, 20(1). 22-35.
Hoglund, B., & Hildingsson, I. (2023). Why and when choosing child-free life in Sweden? Reasons, influencing factors and personal and societal factors: Individual interviews during 2020-2021. Sexual & Reproductive Healthcare. https://doi.org/10.1016/j.srhc.2022.100809
Leliana, I., Suryani, I., Haikal, A., & Septian, R. (2023). Respon masyarakat mengenai fenomena "childfree" (Studi kasus influencer gita savitri). Cakrawala-Jurnal Humanioran dan Sosial , 23(1). 36-43. https://doi.org/10.31294/jc.v19i2
Pelton, S. L. & Hertlein, K. M. (2011). A proposed life cycle for voluntary childfree couples. Journal of Feminist Family Therapy, 23(1). 39-53.