Vol. 10 No. 04 Februari 2024
Spine & Shine! Kekuatan Penerimaan Diri Perempuan dengan Skoliosis
Oleh:
Juanita Bintang Natalina & Nanda Rossalia
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Diagnosis skoliosis bagi seorang perempuan berarti bahwa mereka akan menghadapi perjalanan kekuatan, ketahanan, dan cinta diri. Dalam kata-kata dan paragraf berikut ini, kita akan menyelami kehidupan para perempuan luar biasa, yang meskipun menghadapi tantangan akibat skoliosis, mereka telah menemukan kekuatan transformatif dari penerimaan diri. Skoliosis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kelengkungan tulang belakang ke samping yang tidak normal. Alih-alih tulang belakang tampak lurus jika dilihat dari depan atau belakang, justru membentuk bentuk "S" atau "C" (Belli, dkk. 2022). Kelengkungan ini dapat terjadi di berbagai bagian tulang belakang dan mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti genetika, kondisi neuromuskular, atau alasan yang tidak diketahui. Skoliosis sering didiagnosis pada masa remaja, namun dapat menyerang orang-orang dari segala usia (Khoiriyah, 2019).
Tantangan Emosional Diagnosa Skoliosis pada Perempuan
Pada umumnya, diagnosa skoliosis akan memberikan tantangan emosional bagi Perempuan dalam bentuk ketidaknyamanan fisik saat menggunakan brace, sehingga memengaruhi konsistensinya dalam mematuhi nasihat medis. Skoliosis, yang ditandai dengan kelengkungan tulang belakang yang tidak normal, tidak hanya berdampak pada kesejahteraan fisik perempuan namun juga berdampak besar pada kondisi emosional dan psikologis individu (Khoiriyah, 2019). Diagnosis ini dapat memicu berbagai emosi, termasuk kecemasan, rasa tidak aman, dan kesadaran diri yang meningkat tentang citra tubuh. Perempuan yang menghadapi skoliosis mungkin berkaitan dengan perasaan tidak mampu dan merasa berbeda dari norma-norma masyarakat. Perbandingan dengan standar penampilan fisik konvensional, ditambah dengan potensi dampak pada postur dan simetri tubuh, dapat menyebabkan pergumulan dengan harga diri. Sifat skoliosis yang terlihat dapat menimbulkan kekhawatiran tentang persepsi masyarakat, sehingga menumbuhkan rasa takut akan penilaian atau stigmatisasi.
Perjalanan emosional menuju penerimaan diri melibatkan pengendalian perasaan kompleks ini. Perempuan yang didiagnosis mengidap skoliosis mungkin mengalami fase penolakan, frustrasi, dan bahkan kesedihan saat mereka menyadari kondisi tersebut. Mengatasi tantangan emosional ini tidak hanya memerlukan adaptasi terhadap aspek fisik skoliosis namun juga menerima penerimaan diri secara holistik (Fitriyani, dkk. 2016). Pada akhirnya, perjalanan untuk menerima kondisi fisik unik seseorang melibatkan penanaman pola pikir positif, mengakui kekuatan batin, dan menghargai keindahan keberagaman dalam wujud manusia.
Perjalanan Penerimaan Diri
Penerimaan diri seringkali hanya dapat dicapai melalui perjalanan psikologis dalam diri seorang individual. Dalam menuju status penerimaan diri, khususnya dalam menghadapi diagnosis skoliosis bagi seorang perempuan, dibutuhkan ketahanan mental yang diperlukan untuk menumbuhkan rasa berpuas diri dan bahagia meskipun dalam keadaan yang penuh tantangan. Hal ini penting mengingat bahwa aspek kunci dari perjalanan penerimaan diri adalah kesadaran dan penerimaan atas ketidaksempurnaan fisiknya (Kurnia & Lestari, 2020). Terlepas dari norma-norma masyarakat dan standar kecantikan, tujuan dari penerimaan diri itu sendiri adalah untuk dapat belajar dan membiasakan menghargai keunikan diri sendiri serta mengakui bahwa nilainya melebihi penampilan luar. Daripada menyerah pada kesedihan atau keraguan diri, penerimaan diri bagi perempuan dengan skoliosis berfokus kemapanan emosional mencari peluang untuk tumbuh dan berkembang.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa penerimaan diri merupakan proses transformatif yang seringkali mengarah pada kematangan dan pemberdayaan psikologis (Thompson, 2008). Hal ini mewakili pengakuan mendalam dan penerimaan diri sejati seseorang, dengan segala kekuatan dan ketidaksempurnaannya. Ketika individu memulai perjalanan penerimaan diri, beberapa manfaat psikologis muncul, berkontribusi terhadap peningkatan kedewasaan dan rasa pemberdayaan pribadi (Wang, dkk. 2021). Dengan merangkul diri-sejati seseorang, individu memupuk ketahanan emosional, meningkatkan harga diri, dan menavigasi kompleksitas kehidupan dengan keaslian dan integritas. Perjalanan menuju penerimaan diri ini berkontribusi pada pengambilan keputusan yang berdaya, hubungan yang positif, dan pola pikir pembelajaran dan pertumbuhan seumur hidup (Afiana, dkk. 2016).
Kekuatan Psikologis dalam Penerimaan Diri
Banyak perempuan yang didiagnosis mengidap skoliosis mengungkapkan perjalanan penerimaan diri mereka yang beragam (Thawafa, 2020). Seorang perempuan berusia 21 tahun yang tinggal bersama ayah dan adiknya, menjalani kehidupan aktif sebagai mahasiswa. Diketahui bahwa perjalanannya dengan skoliosis dimulai pada usia 11-12 tahun, ditemukan secara kebetulan oleh neneknya saat berkunjung. Dari diagnosisnya, ia mengalami skoliosis tipe ‘S’ dengan derajat kemiringan kurang lebih 30 derajat. Ia menjalani perawatan fisik dan menerima dukungan emosional dari keluarga dan tim medis, dan berkomitmen untuk memakai brace selama minimal 22 jam/hari. Kasus ini memberikan gambaran umum bahwa bagi perempuan dengan skoliosis, terjadi adaptasi psikologis dan emosional yang penting. Dukungan keluarga, baik materi maupun sosial, memainkan peran penting, menyoroti pentingnya intervensi holistik dalam mengatasi aspek emosional dari skoliosis. Hal ini menyoroti pentingnya pemahaman komprehensif dan sistem dukungan untuk memberdayakan perempuan yang mengalami skoliosis, menumbuhkan citra diri yang positif dan ketahanan dalam menghadapi tantangan fisik.
Teori Jersild (1978) mengungkapkan aspek-aspek kunci dari perjalanan menuju penerimaan diri itu sendiri. Pertama, perasaan rendah diri bermanifestasi sebagai penolakan diri, didorong oleh perbandingan terus-menerus dengan orang lain dan perasaan tidak memenuhi standar masyarakat atau gambaran tubuh ideal. Kedua, perempuan penderita skoliosis akan berusaha menjaga keseimbangan antara diri mereka yang sebenarnya dan ideal, mengembangkan pertumbuhan pribadi dan meningkatkan citra diri mereka sambil menerima diri mereka yang sebenarnya. Ketiga, cerminan penerimaan diri dan penerimaan terhadap orang lain terlihat dari sikap peserta yang menerima keunikan dan menghargai keberagaman, menunjukkan ketahanan dalam menghadapi tantangan fisik. Terakhir, pentingnya aspek moral dalam penerimaan diri ditonjolkan melalui nilai-nilai moral pribadi mereka, yang menjadi landasan integritas dan kebaikan moral dalam kehidupan mereka. Upaya positif mereka untuk mengatasi tantangan fisik, mencari pertumbuhan, dan menghadapi keadaan tanpa rasa malu berkontribusi pada pemahaman yang berbeda tentang penerimaan diri di tengah beragam kondisi fisik.
Referensi:
Afiana, N. E., Wulan, R. R. & Malau, R. M. U. (2016). Konsep diri remaja penyandang skoliosis (Studi fenomenologi masyarakat skoliosis Indonesia di kota Bandung). E-proceeding of Management, 3(2), 2505- 2511. ISSN: 2355-9357.
Belli, G., Toselli, S., Latessa, P. M., & Mauro, M. (2022). Evaluation of self-perceived body image in adolescents with mild idiopathic scoliosis. European Journal of Investigation in Health, Psychology and Education, 12(3), 319-333.
Fitriyani, A., Hartati, H., Handoyo, H. (2016). Perubahan kualitas hidup dan kenyamann sehari-hari dengan swissball exercise pada skoliosis sedang. Junal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 12(2), 63-73.
Jersild, A. T. (1978). The psychology of adolescent. New York: The Mcmillan.
Khoiriyah, A., L. (2019). Hubungan ketidakpuasan tubuh dengan penerimaan diri pada perempuan usia emerging adulthood (18 - 25 tahun) di kota malang. Skripsi. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Kurnia, Y. C., & Lestari, S. (2020). Body dissatisfaction dan keterkaitannya dengan subjective well-being pada perempuan masa emerging adulthood. Mediapsi, 6(2), 86-93. https://mediapsi.ub.ac.id/index.php/mediapsi/article/view/200.
Thawafa, M. (2020) Hubungan antara body image dengan penerimaan diri pada mahasiswi fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Skripsi. http://etheses.uin-malang.ac.id/28129/7/15410114.pdf
Thompson, L. (2008). Mindfulness, Self-Esteem, And Unconditional SelfAcceptance. Journal of Rational-Emotive & Cognitive-Behavior Therapy. Vol. 26, No. 2.
Wang, H., Tetteroo, D., Arts, J. C., Markopoulos, P., & Ito, K. (2021). Quality of life of adolescent idiopathic scoliosis patients under brace treatment: a brief communication of literature review. Quality of Life Research, 30, 703-711.