ISSN 2477-1686 

Vol. 10 No. 03  Februari 2024

 

Practice Makes Perfect: “Lagu Lama” yang Masih “Merdu”

 

Oleh:

Nicholas Simarmata1 & Dian Jayantari Putri K. Hedo2

 1Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

2Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

 

Operasi penyelamatan 367 penumpang dan 12 awak kabin Japan Airlines JAL-516 beberapa hari lalu membuat decak kagum berbagai kalangan. Dengan tenang dan tegas, awak kabin dapat mengajak penumpang untuk mengikuti prosedur keselamatan. Dalam waktu singkat, mereka sukses meninggalkan pesawat yang kemudian luluh lantak. Kejadian ini dapat menjadi pelajaran di dalam dunia bisnis saat mengalami krisis. Respon terhadap krisis dapat dilakukan tanpa keributan yang tidak perlu. Dunia bisnis tentu kerap mengalami krisis, baik krisis karena mengalami bencana, serangan fisik, serangan di dunia maya, krisis manajemen, maupun krisis komunikasi. Krisis karena serangan fisik ada yang telah diketahui sejak lama, tetapi ada yang diketahui secara tiba-tiba. Reaksi pertama saat menangani krisis menentukan kesuksesan penanganan krisis. Berbagai krisis dapat ditangani dengan baik ketika mereka yang terlibat telah memperoleh pelatihan yang memadai (Maryoto, 2024).

 

Pelatihan merupakan interaksi antara ahli dalam suatu bidang dengan pembelajar (Thiagarajan, 2000). Tujuan dari pelatihan adalah untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dengan mengubah perilaku (Kirkpatrick, 2000). Tujuan pelatihan adalah untuk membekali pekerja dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan mereka (Main, 2000). Pelatihan berperan dalam mempersiapkan awak kabin yang memenuhi syarat untuk menghadapi keadaan darurat dalam penerbangan (Xu et al., 2023). Awak kabin dilatih untuk mematuhi peraturan, layanan pelanggan, dan protokol darurat di seluruh maskapai penerbangan (Bjørnstad, 2020; Ryu et al., 2021). Awak kabin perlu dilatih sampai pada tingkat kemahiran tertentu. Awak kabin diwajibkan untuk menyelesaikan pelatihan rutin tahunan sebelum mereka ditugaskan sebagai anggota awak kabin. Isi dari pelatihan bagi awak kabin yaitu fisiologi penerbangan, perawatan darurat dalam penerbangan, penerapan resusitasi jantung paru, pelatihan dasar pertolongan pertama untuk bertahan hidup, kesehatan perjalanan dan penggunaan peralatan pesawat (Yang, 2018). Pengaruh pertolongan pertama dianggap sebagai tujuan pelatihan yang penting (Yu & Liang, 2021). Sebagai petugas pertolongan pertama di pesawat, awak kabin bertanggung jawab untuk memastikan keselamatan penumpang. Mereka dilatih untuk memberikan pertolongan pertama kepada penumpang yang membutuhkan (Bjørnstad, 2020; Yu & Liang, 2021). Awak kabin perlu dilatih terkait pertolongan pertama untuk memastikan bahwa penumpang menerima penanganan yang cepat dan akurat. Setiap awak kabin yang bertugas harus melalui pelatihan yang ekstensif untuk menjadi petugas pertolongan pertama yang bersertifikat. Awak kabin harus menerima pelatihan berulang pertolongan pertama setiap tahun. Pertolongan pertama merupakan konten wajib yang ada di dalam pelatihan bagi awak kabin (Dowdall, 2013).

 

 

Dalam kasus JAL-516, diketahui bahwa awak kabin Japan Airlines JAL-516 mampu menampilkan respon yang tenang tetapi juga tegas sehingga para penumpang pesawat tersebut dapat merasa aman, dan pada saat yang sama mereka dapat mengikuti prosedur keselamatan yang ada. Salah satu analis di CNN menyebutkan bahwa mereka dipastikan mendapat pendidikan yang baik tentang prosedur keselamatan. Pelatihan dilakukan karena mereka telah mengalami berbagai kejadian berkait dengan keselamatan. Hasil pendidikan dan pelatihan pada mereka menjadi kunci maskapai dalam membuat reaksi pertama saat terjadi krisis. Pendidikan soal prosedur keselamatan membuat orang menjadi rasional dan bereaksi tenang saat menghadapi bahaya. Respon mereka merupakan hasil pelatihan dan pengalaman yang memadai, bukan muncul begitu saja. Latihan yang berulang tidak lagi menyebabkan mereka berpikir tentang masalah yang bakal dihadapi, tetapi kesadaran akan reaksi yang perlu dilakukan. Mereka tidak lagi menanyakan soal prosedur, tetapi melakukan tindakan ketika bahaya itu muncul (Maryoto, 2024).

 

Chief Scientific Officer di American Psychology Association AS Russell Shilling yang menghabiskan 22 tahun sebagai psikolog eksperimental di militer mengatakan bahwa sebagian besar pelatihan yang dia lakukan ditujukan agar awak pesawat mampu bereaksi dengan tenang dan rasional ketika menghadapi bahaya. Reaksi tersebut dapat muncul karena adanya latihan (Maryoto, 2024). Jadi dengan berkaca pada berbagai kasus yang terkait dengan keselamatan, maka dalam konteks maskapai penerbangan, perlu lebih meletakkan fokus pada keselamatan dengan mengadakan kursus pelatihan penerbangan tahunan secara rutin (Duan & Zhu, 2020). Maskapai penerbangan juga perlu menyediakan pelatihan perlindungan keselamatan serta fasilitasi peralatan pelindung yang memadai bagi awak kabin untuk meningkatkan keselamatan kerja (Fang et al., 2022).

 

Referensi:

 

Bjørnstad, M. (2020). Responding to in-flight infections-A cross-sectional study on Norwegian cabin crew members’ preparedness level in responding to suspected infectious disease among airplane passengers.

Dowdall, N. (2013). Is there a doctor on the aircraft? Top 10 in-flight medical emergencies. British Medical Journal, 321(7272), 1336–1337.

Duan, L., & Zhu, G. (2020). Psychological interventions for people affected by the COVID-19 epidemic. Lancet Psychiatry, 7, 300–302.

Fang, C.-Y., Hu, C.-J., & Hu, Y.-J. (2022). Factors Related to COVID-19-Preventive Behaviors among Flight Attendants. International Journal of Environment Research and Public Health, 19, 1–9.

Kirkpatrick, D. L. (2000). Evaluating Training Programs: The Four Levels. McGraw-Hill Professional.

Main, R. E. (2000). Leveraging Technology for Human Performance Improvement. In G. M. Piskurich, P. Beckschi, & B. Hall (Eds.), The ASTD Handbook of Training Design and Delivery: A Comprehensive Guide to Creating and Delivering Training Programs, Instructor-led, Computer-based, or Self-directed. McGraw-Hill Professional.

Maryoto, A. (2024, January 9). Reaksi Pertama yang Menentukan: Inovasi Bisnis. KOMPAS, 9.

Ryu, J., Kim, J., & Choi-Kwon, S. (2021). Infection prevention performance among in-flight cabin crew in South Korea. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(12), 6468.

Thiagarajan, S. (2000). Rapid Instructional Development. In G. M. Piskurich, P. Beckschi, & B. Hall (Eds.), The ASTD Handbook of Training Design and Delivery: A Comprehensive Guide to Creating and Delivering Training Programs, Instructor-led, Computer-based, or Self-directed. McGraw-Hill Professional.

Xu, W., Nasri, N. M., Jamaludin, K. A., & Jin, K. (2023). Cabin crew aero medicine and first aid training in China. Cogent Education, 10, 1–15.

Yang, J. (2018). China’s first in-flight first aid guide released.

Yu, Y. C., & Liang, J. C. (2021). Relationships among affect, hardiness and self-efficacy in first aid provision by airline cabin crew. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(4), 2108.