ISSN 2477-1686 

Vol. 10 No. 03  Februari 2024

 

Ulasan Naratif Mengidentifikasi Faktor-Faktor Pelindung Terhadap Adiksi Internet

 

Oleh:

Firman Alamsyah Ario Buntaran & Ahmad Sabir

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Studi ekstensif sebelumnya yang telah dilakukan lebih berfokus pada faktor resiko terkait meningkatnya adiksi internet pada remaja, faktor-faktor yang menjadi penyumbang dan berpengaruh terhadap adiksi internet pada remaja seperti kesepian (Koyuncu et al. 2014; Sarıalioğlu et al. 2022). Internet menjadi hal sehari-hari, kecanduan internet muncul sebagai masalah potensial pada remaja. Dari dampak negatif yang dilaporkan, nampaknya kecanduan internet dapat menimbulkan berbagai akibat merugikan bagi generasi muda yang mungkin memerlukan intervensi profesional (Kuss et al. 2013).

 

Sedikit penelitian yang menyelidiki faktor-faktor dinamis apa yang mungkin dapat melindungi dan menjadi faktor penyangga pada remaja agar terhindar dari adiksi internet  dan apakah faktor-faktor pelindung. Mengingat remaja merupakan golongan usia yang sangat rentan terhadap berbagai gangguan perkembangan. Remaja juga berhadapan dengan faktor risiko  biologis, psikologis, keluarga, komunitas, atau budaya yang terkait dengan hasil negatif yang tidak diinginkan. Namun juga terdapat faktor protektif  yang terkait dengan kemungkinan lebih rendah terjadinya hasil negatif atau yang mengurangi dampak suatu faktor risiko, faktor protektif dapat dilihat sebagai peristiwa perlawanan yang positif.

 

Remaja seringkali dihadapkan pada persoalan keluarga, hubungan teman sebaya, kondisi dan situasi tekanan dalam perang, ekonomi, kerentanan remaja terhadap faktor resiko (Werner 2000). Lebih jauh (Werner 2000) menambahkan bahwa pada dasarnya, peran faktor-faktor pelindung – baik sumber daya internal maupun eksternal – merupakan keberhasilan adaptasi anak-anak atau remaja dari berbagai resiko. Berdasarkan masing-masing kondisi ini, peneliti-peneliti perilaku memusatkan perhatian  pada faktor-faktor dan mekanisme perlindungan yang menyangga atau memperbaiki reaksi anak terhadap situasi stres atau kesulitan kronis sehingga adaptasinya lebih berhasil dibandingkan jika faktor-faktor perlindungan (protective) tidak hadir.

 

Seperti yang dipahami bahwa Faktor protektif didefinisikan sebagai  sebagai variabel yang mencegah atau mengurangi kerentanan berkembangnya perilaku adiksi  (Arthur, et al. 2002). Secara konseptual, faktor protektif juga bisa dipandang sebagai faktor yang berperan  untuk meningkatkan kemungkinan perilaku atau hasil yang diinginkan atau positif dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan, dan juga untuk menahan atau memoderasi pengaruh negatif dari paparan risiko. Istilah faktor pelindung digunakan  sebagai istilah umum untuk moderator risiko dan kesulitan yang meningkatkan kebaikan, yaitu hasil yang sesuai dengan perkembangan. Ketahanan dipahami sebagai produk akhir dari proses penyanggaan yang tidak menghilangkan risiko dan stres namun memungkinkan individu untuk menghadapinya secara efektif (Rutter 1987).

 

Dua kategori penting dalam faktor protektif adalah pertama faktor pelindung khusus dan kedua adalah faktor variabel psikososial. Faktor pelindung khusus kesehatan tersebut mencakup orientasi pribadi dan komitmen terhadap kesehatan (misalnya, nilai terhadap kesehatan dan locus of control kesehatan internal) dan dukungan sosial yang dirasakan untuk terlibat dalam perilaku kesehatan (misalnya, model orang tua dan teman sebaya dalam perilaku peningkatan kesehatan). Kategori kedua dari faktor protektif terdiri dari variabel psikososial (distal), yaitu variabel yang tidak memiliki referensi langsung terhadap kesehatan atau implikasi nyata atau langsung terhadap perilaku peningkatan kesehatan. Namun demikian, variabel psikososial  dapat melakukan fungsi perlindungan. Kategori faktor pelindung distal mencakup variabel kepribadian, lingkungan sosial yang dirasakan, dan perilaku yang mencerminkan orientasi terhadap dan keterlibatan dengan institusi konvensional seperti keluarga, sekolah, dan gereja (misalnya religiusitas, hubungan positif dengan orang dewasa, dan partisipasi dalam kegiatan prososial),kegiatan seperti kegiatan keluarga, klub sekolah, dan kerja sukarela (Jessor et al. 1995). Faktor protektif tidak hanya membantu reaktivitas individu terhadap risiko lingkungan atau biologis pada suatu saat tertentu, namun keberadaan faktor protektif tertentu juga menentukan munculnya mekanisme perlindungan lainnya di kemudian hari (Werner 2000).

 

Rutter (1995) dalam menyampaikan bahasan mengenai pengaruh mekanisme perlindungan (Rutter, 1995). Mekanisme perlindungan  mengacu pada efek katalitik atau katalitik balik yang mana suatu fitur mengubah pengaruh beberapa faktor risiko. Hingga saat ini, fokus utama diskusi mengenai risiko psikososial adalah pada pengurangan dampak buruk. Tentu saja, hal ini merupakan tujuan yang penting, namun juga penting untuk memperhatikan ciri-ciri yang, meskipun tidak secara langsung mendorong hasil yang baik, namun meningkatkan ketahanan (resiliensi) terhadap berbagai jenis kesulitan dan bahaya psikososial.  

 

Mengikuti kerangka psikologi positif dan efek penyangganya pada perilaku bermasalah, ketahanan psikologis mengacu pada sifat pribadi  individu terhadap dampak kesulitan atau peristiwa traumatis. ketahanan psikologis sangat mementingkan kekuatan potensial individu dan faktor lingkungan terkait, yang juga kondusif bagi pengembangan kualitas individu secara keseluruhan. Ketahanan psikologis  berperan penting dalam mencegah munculnya perilaku berlebihan. Hipotesis dari Shen (2020) bahwa ketahanan psikologis sebagai pelindung, ketahanan psikologis ditemukan menyangga hubungan antara faktor-faktor risiko (yaitu, stres belajar, stres yang dirasakan, dan depresi) dan perilaku kecanduan (yaitu, kecanduan internet dan penggunaan SNS yang bermasalah) (Shen 2020).

 

Prevalensi kecanduan internet diberbagai negara menunjukkan peningkatan yang  tinggi. Sejumlah faktor risiko dan perlindungan yang berkontribusi terhadap perkembangan dan pemeliharaan kecanduan internet telah diidentifikasi (Koo & Kwon 2014). Studi ini mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor pelindung (protective factors) terhadap adiksi internet pada remaja. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa adiksi internet membawa dampak yang serius pada fisik dan psikologis remaja. Shi et al. (2017) menyampaikan bahwa kecanduan internet mempunyai banyak dampak negatif bagi remaja, misalnya menyebabkan kesehatan yang lebih buruk, lebih banyak emosi negatif seperti kecemasan, depresi, kesepian, kurang kesejahteraan dan kepuasan hidup, penurunan kemampuan kognitif, lebih banyak kenakalan, dan bahkan munculnya gangguan kejiwaan, dan efek negatif ini lebih menonjol pada remaja yang terpapar pada beberapa faktor predisposisi pribadi dan kontekstual  seperti temperamen, kemampuan pengendalian diri, hubungan keluarga, dan dukungan emosional orang tua.

 

Shek et al. (2023) telah mengidentifikasi faktor seperti kepuasan umum terhadap kehidupan, perkembangan, keyakinan terhadap kesulitan (keyakinan positif), fungsi keluarga yang sehat, kompetensi emosional, dan resiliensi memainkan peran protektif dalam pengembangan adiksi internet. Penelitian saat ini mengidentifikasi dan memilah setidaknya menjadi dua faktor utama, faktor pertama adalah faktor internal yang terdiri dari kesadaran diri, spiritualitas, kecerdasan emosional, locus of control, efikasi diri, dan pengendalian diri sebagai faktor pelindung secara internal. Pada faktor eksternal, terdiri kelekatan orang tua, komunikasi anak dan orang tua, Afiliasi prososial teman sebaya, dukungan sosial, keberfungsian keluarga. Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut merupakan faktor penting bagi remaja untuk terhindar dari adiksi internet. Harapannya dengan mengenali faktor-faktor pelindung, dapat memberikan sumbangan pemikiran dan nantinya menjadi perhatian dalam membuat kebijakan atau intervensi program bantuan dalam meminimalisir tingginya angka adiksi internet dikalangan remaja. Adiksi internet sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan disarankan agar aktivitas bermain game diganti dengan aktivitas fisik, kelas ekstrakurikuler, buku, dan musik, atau aktifitas lainnya sehingga dapat mengalihkan perhatian remaja dari menggunakan internet (Hong et al. 2019). Mempromosikan atribut psikologis positif merupakan strategi yang menjanjikan untuk mengatasi masalah adiksi internet pada kalangan remaja (Shek et al. 2023).

 

Dengan mengenali beberapa faktor penting terkait dengan faktor pelindung terhadap adiksi internet, setidaknya kita mempunyai pengetahuan dan wawasan terkait dengan bagaimana meminimalisir adiksi internet pada remaja. Penting untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal pada faktor pelindung remaja agar terhindar dari adiksi internet. Ulasan ini juga dapat memberikan wawasan bagi semua pihak terutama orang dan sekolah tentang bagaimana dapat memberikan intervensi terbaik apa yang dapat diberikan untuk mencegah remaja dari adiksi internet, setidaknya perlu memahami faktor-faktor penting pelindung remaja dari adiksi internet.

 

Referensi

 

Arthur, M. W., Hawkins, J. D., Pollard, J. A., Catalano, R. F., & Baglioni Jr, A. J. (2002). Measuring risk and protective factors for use, delinquency, and other adolescent problem behaviors: The Communities That Care Youth Survey. Evaluation review26(6), 575-601.

Hong, J. S., Kim, S. M., Jung, J. W., Kim, S. Y., Chung, U. S., & Han, D. H. (2019). A comparison of risk and protective factors for excessive internet game play between Koreans in Korea and immigrant Koreans in the United States. Journal of Korean Medical Science34(23).

Jessor, R., Van Den Bos, J., Vanderryn, J., Costa, F. M., & Turbin, M. S. (1995). Protective factors in adolescent problem behavior: Moderator effects and developmental change. Developmental psychology31(6), 923.

Koo, H. J., & Kwon, J. H. (2014). Risk and protective factors of internet addiction: A meta-analysis of empirical studies in Korea. Yonsei medical journal, 55(6), 1691-1711.

Koyuncu, T., Unsal, A., & Arslantas, D. (2014). Assessment of internet addiction and loneliness in secondary and high school students. JPMA. The Journal of the Pakistan Medical Association64(9), 998-1002.

Rutter, M. (1995). Psychosocial adversity: Risk, resilience & recovery. Southern African Journal for Child & Adolescent Psychiatry & Allied Profession7(2), 75-88.

Sarıalioğlu, A., Atay, T., & Arıkan, D. (2022). Determining the relationship between loneliness and internet addiction among adolescents during the covid-19 pandemic in Turkey. Journal of pediatric nursing63, 117-124.

Shek, D. T., Chai, W., & Zhou, K. (2023). Risk Factors and Protective Factors of Internet Addiction in University Students during the Pandemic: Implications for Prevention and Treatment. International Journal of Environmental Research and Public Health20(11), 5952.

Shek, D. T., Chai, W., & Zhou, K. (2023). Risk Factors and Protective Factors of Internet Addiction in University Students during the Pandemic: Implications for Prevention and Treatment. International Journal of Environmental Research and Public Health20(11), 5952.

Shen, X. (2020). Is psychological resilience a protective factor between motivations and excessive smartphone use?. Journal of Pacific Rim Psychology14, e17.

Shi, X., Wang, J., & Zou, H. (2017). Family functioning and Internet addiction among Chinese adolescents: The mediating roles of self-esteem and loneliness. Computers in Human Behavior76, 201-210.