ISSN 2477-1686 

Vol. 10 No. 02 Januari 2024

 

Hipotesis Linear vs Kurvilinear:

Perspektif Budaya dalam Adaptasi Circumplex Model

 

Oleh:

Amanda Putri

Program Studi Doktor Psikologi, Universitas Katolik Atmajaya

 

The Circumplex Model of Marital and Family Systems

David H. Olson mengembangkan sebuah model dengan tiga dimensi yang telah terbukti sangat relevan dengan berbagai model teori keluarga dan pendekatan-pendekatan terapi keluarga (Olson, 2000). Ketiga dimensi dalam Circumplex Model tersebut adalah family cohesion, family flexibility, dan family communication. Berbeda dengan sebagian besar konsep dalam bidang keluarga yang bersifat linear (artinya semakin tinggi skornya, semakin baik), penemuan dasar dalam konsep teoritis ini adalah cohesion dan flexibility bersifat kurvilinear (apabila skor sangat tinggi dan sangat rendah akan bersifat problematik). Sedangkan dimensi ketiga, communication, dianggap sebagai dimensi linear yang memfasilitasi cohesion dan flexibility dalam keluarga (Olson, Waldvogel & Schlieff, 2019).

 

Family cohesion merupakan ikatan emosional yang ada di antara anggota-anggota keluarga. Terdapat tingkatan dalam cohesion yaitu: disengaged, separated connected dan enmeshed. Terdapat hipotesis bahwa tingkat cohesion yang berada di tengah (disebut sebagai area balanced) dinilai optimal terhadap fungsi keluarga, sedangkan disengaged dan enmeshed dinilai bermasalah bagi hubungan jangka panjang. Family flexibility menggambarkan seberapa banyak perubahan dalam kepemimpinan, hubungan antara peran, serta aturan dalam hubungan. Terdapat tingkatan dalam family flexibility yaitu: rigid, structured, flexible dan chaotic. Hipotesis menyatakan bahwa kategori yang ada pada posisi tengah atau area balanced dinilai lebih kondusif bagi fungsi pasangan dan keluarga, sedangkan kategori yang berada diluar area balanced (rigid dan chaotic) dinilai bermasalah bagi keluarga. Family communication merupakan dimensi dalam Circumplex Model, yang dianggap sebagai facilitating dimension. Penggunaan keterampilan komunikasi yang positif memampukan pasangan dan keluarga untuk mengubah tingkat cohesion dan flexibility sesuai dengan situasinya (Olson, 2000). Hipotesis Circumplex Model diuji menggunakan alat ukur berupa self report yaitu FACES (Family Adaptability & Cohesion Evaluation Scales). Hingga saat ini, terdapat FACES dengan pembaharuan terakhir yaitu FACES IV (Olson, Waldvogel & Schlieff, 2019).

 

Hipotesis Linear vs. Kurvilinear

Banyak penelitian Circumplex Model yang terus menerus dilakukan oleh Olson maupun peneliti lainnya yang mendukung hipotesis pertama (simpulan yang bersifat kurvilinear). Akan tetapi, beberapa peneliti lain membuktikan hipotesis linear terkait cohesion dan flexibility. Penelitian yang dilakukan di Korea dengan menggunakan FACES III, menunjukkan bahwa semakin tinggi flexibility dan cohesion dalam keluarga, hal tersebut akan menurunkan kecenderungan perilaku bermasalah pada remaja (Joh et al., 2013). Kemudian penelitian yang dilakukan di China, menggunakan FACES II, turut membuktikan kebenaran hipotesis linear dibandingkan kurvilinear. Dalam penelitian tersebut, tingginya cohesion (bahkan hingga enmeshed) serta tingginya flexibillity (bahkan chaotic) akan menurunkan risiko munculnya postpartum depressive symptoms (Zhang et al., 2023).

 

Pada tahun 2019, Olson mengevaluasi bahwa alat ukur FACES dari versi pertama hingga ketiga dianggap tidak mencakup tingkat kohesi atau fleksibilitas yang sangat tinggi atau rendah, dan mereka tidak secara efektif menilai kurvilinearitas. Hasil pengembangan FACES IV,  dianggap mampu menilai semua aspek Circumplex Model dengan lebih efektif (Olson, Waldvogel & Schlieff, 2019). Akan tetapi beberapa penelitian yang menggunakan FACES IV pun menunjukkan hasil yang linear.

 

Pada penelitian di Singapura, ditemukan bahwa semakin tingginya family flexibility maka resiliensi pada remaja pun meningkat (Chiu et al., 2019). Penelitian di Turki pun menunjukkan linearitas dimana family cohesion yang tinggi mampu menjadi dimensi yang mendukung fungsionalitas keluarga. Terdapat perkiraan dari peneliti bahwa hasil tersebut memiliki keterkaitan dengan budaya kolektivistik di Turki sehingga pola enmeshed yang dilabeli ‘tidak seimbang’ di budaya Amerika yang individualis, justru mendukung komunikasi dan kepuasan dalam keluarga (Turkdogan et al., 2019).

 

Sebuah penelitian di Portugal menggunakan FACES IV menunjukkan hasil yang menarik. Di satu sisi, pola ekstrim family cohesion dan family flexibility berhubungan secara negatif dengan self-control. Ini mengindikasikan hubungan kurvilinear antara fungsionalitas keluarga dengan self-control. Di sisi lain, baik pola disengaged dan chaotic secara positif berkorelasi dengan kenakalan remaja, sedangkan pola yang rigid dan enmeshed tidak berhubungan dengan perilaku tersebut. Ini membuktikan hubungan linear antara fungsionalitas keluarga dengan kenakalan remaja (Gomes & Gouveia-Pereira, 2020). Portugal memiliki nilai kolektivistik dan terdapat ekspektasi yang cukup besar agar seseorang memiliki loyalitas dan komitmen terhadap keluarganya sendiri, diatas apapun (Scroope, 2018). Menurut Gomes dan Gouveia-Pereira, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kedekatan keluarga dan kepemimpinan otoriter di Portugal sepertinya berfungsi sebagai pelindung terhadap kenakalan remaja dengan membatasi peluang untuk melakukannya.

 

Berdasarkan penelitian di Portugal dan Turki, kita melihat adanya penjelasan yang menarik ketika kita mencoba membuka peluang hipotesis linear kemudian dikaitkan dengan konteks budaya yang mempengaruhinya. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Penelitian di Indonesia pada tahun 2021 menggunakan FACES IV telah dilakukan untuk melihat bagaimana penghayatan remaja perempuan (di Yogyakarta) dengan kecenderungan perilaku bunuh diri terhadap relasi dalam keluarga (Tience et al., 2021). Pada kesimpulannya, peneliti menyorot bahwa dalam kelompok attempt, terdapat skor balanced cohesion yang rendah dan balanced flexibility yang rendah. Akan tetapi, jika diteliti dari hasil deskriptif masing-masing skor, terlihat bahwa masih ada beberapa hasil skor yang dapat ditelaah kembali.

 

Kelompok attempt memiliki rata-rata skor enmeshed yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok no-attempt. Selain itu, kelompok attempt memiliki rata-rata skor rigid yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok no-attempt. Dilihat dari ujung ekstrim lain, kelompok attempt memiliki rata-rata skor disengaged dan chaotic yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok no-attempt. Melihat penelitian tersebut melalui tahap kuantitatif kemudian kualitatif, sangat besar celah yang tersedia bagi peneliti untuk mendalami nilai budaya yang mempengaruhi hasil uji hipotesis Circumplex Model di Indonesia.

 

Dalam budaya masyarakat Asia, termasuk Indonesia, pengendalian yang diterapkan dalam keluarga merupakan manifestasi dari keterlibatan dan kedekatan emosional (Mousavi & Juhari, 2019). Di saat orang Barat memandang kendali sebagai sesuatu yang menyakiti anak, orang Asia justru menghayatinya sebagai bentuk perlindungan dalam keluarga. Dengan kata lain, budaya akan sangat berpengaruh pada fungsionalitas keluarga yang diterapkan, sekaligus pada bagaimana anggota keluarga menghayatinya.

 

Circumplex Model berpotensi memahami fungsionalitas keluarga sebagai sebuah sistem, penghayatan individu terhadap sistem keluarganya, kesejahteraan masing-masing anggota keluarga sebagai dampak dari pola yang berlaku dalam keluarga, hingga bagaimana dampaknya terhadap kecenderungan perilaku individu. Kita perlu dengan sungguh menelaah kembali peran konteks budaya dan nilai-nilai lainnya yang besar kemungkinan mempengaruhi hasil. Poin perenungan: Apakah penelitian berlandaskan pendekatan positivistik (kuantitatif) cukup untuk mengungkap pemaknaan tersebut? Apakah FACES dapat menjadi jawaban untuk mengungkap fungsionalitas keluarga di Indonesia, atau kita perlu menyusun sebuah alat ukur (bahkan mungkin teori) yang lebih sesuai dengan kekhasan budaya lokal?

 

Referensi:

 

Chiu, M. Y., Ghoh, C., Chung, G., & Choi, K. P. (2019). Multistressed families in Singapore: A focus on transnational families. Children and Youth Services Review, 101, 372-382.

Gomes, H. S., & Gouveia-Pereira, M. (2020). Testing the General Theory of Crime with the Circumplex Model: Curvilinear relations between family functioning and self-control. Deviant behavior, 41(6), 779-791.

Joh, J. Y., Kim, S., Park, J. L., & Kim, Y. P. (2013). Relationship between family adaptability, cohesion and adolescent problem behaviors: curvilinearity of circumplex model. Korean Journal of Family Medicine, 34(3), 169.

Mousavi, A., & Juhari, R. (2019). Systematic Review of Parenting Style and Children's Emotional Intelligence: Recent Updates on Western and Non-Western Families. Malaysian Journal of Medicine & Health Sciences, 15.

Olson, D.H. 2000. Circumplex Model of Marital & Family Systems. Journal of Family Therapy 22: 144-167.

Olson, D. H., Waldvogel, L., & Schlieff, M. (2019). Circumplex model of marital and family systems: An update. Journal of Family Theory & Review, 11(2), 199-211.

Scroope, Sarah. (2018). Portuguese Culture Core Concepts. Cultural Atlas. https://culturalatlas.sbs.com.au/portuguese-culture/portuguese-culture-core-concepts

Tience, D. V., Hadjam, N. R., Afiatin, T., & Good, B. J. (2021). Family relations from the perspectives of female youths with suicidal behavior: A qualitative study. Psychological Thought, 14(1), 9.

Zhang, G. R., Li, P. S., & Jia, Y. B. (2023). Relationship between family cohesion/adaptability and postpartum depressive symptoms: A single-center retrospective study. World Journal of Psychiatry, 13(2), 50.