ISSN 2477-1686 

Vol. 10 No. 02 Januari 2024

 

Menaiki Kereta yang Sama

 

Oleh:

Vella Fitrisia Agustina

Fakultas Psikologi, Universitas Tama Jagakarsa

 

Goodstats mengeluarkan data yang menyatakan bahwa pada tahun 2021 Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penggemar K-pop terbanyak bahkan mengalahkan Negara asalnya Korea Selatan dengan demografi usia antara 20-49 tahun (Nabila, 2022). Kejadian unik yang terjadi sehubungan dengan politik di Indonesia dan penggemar budaya pop Korea atau disebut dengan Kpopers adalah ketika warganet di media sosial X ramai menggunakan  istilah-istilah K-pop untuk membicarakan mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia tahun 2024, seperti yang terlihat pada gambar 1.

 

Gambar 1.

Penggunaan Istilah Kpop di Media Sosial X

 

Perilaku tersebut menarik untuk di amati, karena dalam konteks politik psikologi penggunaan media sosial mampu meningkatkan partisipasi publik dalam berpolitik, seperti pada gambar 2. Kondisi ini terjadi karena infomasi mengenai politik di media sosial didapatkan dengan dua cara yaitu, intentional exposure, dimana individu aktif mencari berita mengenai politik dan mengunjungi profil partai atau kandidat, dan incidental exposure, dimana individu mendapatkan informasi mengenai kondisi politik dan kandidat tanpa sengaja karena mendapatkan petunjuk di media sosial atau melihat mutual friends membagikannya (Knoll et al., 2020).

 

Gambar 2

Respon Warganet Mengenai Penggunaan Istilah K-pop Dalam Politik


 

 

Saat perhatian warganet masih tertuju kepada pembicaraan mengenai kondisi politik Indonesia dengan menggunakan terminologi K-pop, muncul akun yang mendukung salah satu calon presiden (capres)  menangkap momentum tersebut dengan mengedepankan profil kandidat yang diusung. Keinginan untuk menarik suara Kpopers sampai pada taraf adanya kohesivitas, dimana derajat ketertarikan untuk menjadi bagian dan dapat diterima pada kelompok tertentu. Akun X tersebut membuat user name  dengan template yang biasa digunakan sebuah fanbase idol untuk menarik perhatian, foto profil menggunakan simbol hewan, dimana simbol biasa digunakan idol untuk menggambarkan dirinya, dan twit yang disebarkan juga menggunakan huruf Hangul dan berbahasa Korea. Tidak sia-sia dalam waktu 24 jam sejak akun tersebut di buat langsung mendapatkan puluhan ribu follower dan komen positif, kohesivitas memainkan peran penting dalam konformitas.

 

Konformitas erat kaitannya dengan bandwagon effect yaitu, suatu manifestasi pengaruh impersonal yang berasal dari kesan yang didapatkan dari sikap, kepercayaan, atau perilaku sekelompok orang yang tidak dikenal yang mempengaruhi  sikap, kepercayaan, atau perilaku individu (SchmittBeck, 2015). Definisi lain menyebutkan bahwa bandwagon effect adalah saat individu termotivasi untuk melakukan perubahan dalam memberikan pilihan atau suara karena popularitas atau dapat juga karena meningkatnya popularitas suatu kandidat atau partai. Terdapat dua tipologi bandwagon effect yaitu statis dan dinamis, statis adalah beralih memilih kandidat atau partai yang relatif popular dibanding yang lain pada waktu tertentu, sedang dinamis adalah  beralih memilih kandidat atau partai yang popularitasnya berkembang dari waktu ke waktu (Barnfield, 2020).

 

Bandwagon effect sendiri dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan situasi, namun paling sering di kaitkan dengan pemilihan, dimana pemilih tertarik pada partai atau kandidat tertentu karena merasa mendapat dukungan luas dari para pemilih dan oleh karena itu mereka mengharapkannya menang (SchmittBeck, 2015). Jika akun pendukung capres tersebut semakin besar dan semakin menarik perhatian Kpopers bukan tidak mungkin akan terjadi perubahan pilihan dalam diri individu, merasa familiar dengan cara menyampaikan konten yang menduplikasi bagaimana cara idol dan fans berkomunikasi akhirnya membawa individu untuk menetapkan pilihannya ke capres tersebut. Hal tersebut dapat diterangkan karena bandwagon effect terjadi sebagai proses berpikir individu yang kurang pengalaman mengenai politik sehingga mengambil keputusan secara heuristik dengan mengikuti mayoritas (Lammers et al., 2022).

 

Perubahan gaya berkampanye dengan konten-konten yang lebih populer dan menyasar secara spesifik target pemilih tertentu ditenggarai mampu menaikan perhatian warganet terhadap capres tersebut, hal ini terlihat dengan pembicaraan di media sosial X  mengenai capres tersebut sehingga menjadi trending. Suara Kpopers memang cukup potensial untuk diperebutkan karena jumlahnya yang cukup banyak dan keriuhan yang bisa ditimbulkan oleh Kpopers di media sosial menarik untuk strategi kampanye.

 

Referensi:

 

Barnfield, M. (2020). Think Twice before Jumping on the Bandwagon: Clarifying Concepts in Research on the Bandwagon Effect. Political Studies Review, 18(4), 553–574. https://doi.org/10.1177/1478929919870691

Knoll, J., Matthes, J., & Heiss, R. (2020). The social media political participation model: A goal systems theory perspective. Convergence, 26(1), 135–156. https://doi.org/10.1177/1354856517750366

Lammers, J., Bukowski, M., Potoczek, A., Fleischmann, A., & Hofmann, W. (2022). Disentangling the factors behind shifting voting intentions: The bandwagon effect reflects heuristic processing, while the underdog effect reflects fairness concerns. Journal of Social and Political Psychology, 10(2), 676–692. https://doi.org/10.5964/jspp.9241

Nabilah, N.A., (2022, September 17). Indonesia Jadi Negara dengan Fans K-Pop Terbanyak di Dunia. Goodstats. https://goodstats.id/article/indonesia-masuk-peringkat-pertama-dengan-fans-k-pop-terbanyak-di-dunia-6w71d

Schmitt-Beck, R. (2015). Bandwagon Effect. The International Encyclopedia of Political Communication, 1–5. https://doi.org/10.1002/9781118541555.wbiepc015