Vol. 10 No. 02 Januari 2024
Kesehatan dan Keselamatan Kerja: Kebutuhan atau Kemewahan?
Oleh:
Nicholas Simarmata1 & Dian Jayantari Putri K. Hedo2
1Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
2Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Sejak dulu hingga kini isu kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan hal yang penting untuk dikaji dan diperhatikan lebih lanjut. Kondisi kerja yang aman merupakan elemen penting untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kinerja. Perlindungan pekerja dari bahaya telah menjadi inti dari mandat International Labor Organization (ILO) sejak didirikan pada tahun 1919. Fokus pada standar yang bertujuan untuk melindungi pekerja dari risiko dan pekerja yang berada dalam situasi berisiko tinggi merupakan hal yang diperlukan dan terbukti menjadi titik awal sukses bagi organisasi.
Organisasi yang berhasil dalam penerapan K3 adalah organisasi yang menempatkan manusia sebagai pusatnya. Kesuksesan penerapan K3 perlu melibatkan tidak hanya dari pihak pekerja, namun juga dari pihak pemimpin. Dengan kata lain, pemimpin organisasi juga mempunyai tanggung jawab yang penting untuk menunjukkan kepemimpinan di bidang K3 dengan menjadikannya sebagai bagian terpadu dari pekerjaan yang aman sampai dengan di masa depan nanti. Maka kepemimpinan yang otentik, suportif, memiliki rasa hormat, dan mengedepankan kepercayaan merupakan faktor pendorong untuk mencapai hasil tersebut.
Tidak ketinggalan pula, titik awal untuk menciptakan organisasi dimana pekerja mampu dan mau melakukan pekerjaan terbaiknya adalah dengan terus mencari keseimbangan antara pekerja dengan kapasitas, keterampilan, kepribadian, nilai-nilai dan aspirasi, serta situasi kerjanya. Hal ini bermuara pada situasi kerja yang aman dimana unsur-unsurnya yaitu isi pekerjaan, kondisi kerja, lingkungan kerja, dan hubungan kerja (Meester, 2019).
Namun sayangnya K3 sebagai suatu disiplin ilmu masih dianggap sebagai tambahan, bukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan usaha suatu organisasi. K3 masih dianggap sebagai suatu “kemewahan” atau hal tersier, bahkan bukan sekunder. K3 dianggap sebagai slogan, semboyan, “tempelan”, dan pelengkap pada roda dan operasionalisasi organisasi. Hal ini bisa jadi melibatkan pihak pekerja, pengusaha, atau keduanya secara organisasional.
Masalah K3 masih kerap terjadi di dunia kerja pada masa kini. Misalnya saja pada Senin (4/12/2023), Suri Tani Pemuka (STP) mengakui satu pekerja tewas akibat kecelakaan kerja setelah mengalami koma dengan perawatan medis selama lima hari di rumah sakit (RS). Korban mengalami kecelakaan kerja tanpa dilihat oleh para saksi yang merupakan pekerja-pekerja di perusahaan tersebut. Korban bekerja di bagian operator penghalusan untuk perawatan saat terjadi kebocoran. “Kecelakaan kerjanya itu di waktu pergantian shift, sekitar jam 16.00 WIB,” kata kepala Human Resources Department (HRD) PT STP Lampung, Francky RM pada Rabu (13/12/2023). Korban berinisial HE diketahui jatuh dari lantai tiga ke lantai dua di area Dryer CPM PT STP berjarak empat meter setelah dia selesai bekerja dan berkumpul dengan rekan-rekan kerjanya. Dia naik ke lantai tiga sambil membawa alat-alat seperti kunci. Pekerja lain yang akan menggantikan tugas HE mendengar suara keras di area tempat kejadian (TKP) yang menemukan dia pingsan. Kemudian, korban dilarikan ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) untuk mendapatkan perawatan medis yang dilanjutkan ke rumah sakit (RS). Kepolisian telah memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) yang diketahui dari rekaman CCTV. Dia jatuh terbentur besi dengan fisik tidak luka, tapi luka diduga terdapat di bagian dalam kepala. “Dari Puskesmas, dia langsung dirujuk ke Rumah Sakit Imanuel dan hasil rontgen, ada pendarahan di kepala,” ucap Francky RM (Maulidin, 2023).
Menaruh perhatian terhadap K3 pada suatu organisasi membutuhkan sikap yang mengandung komitmen dan konsisten, baik dari sisi pengusaha maupun dari sisi pekerja. Asfahl (Asfahl, 1995) menyatakan bahwa sikap adalah determinan yang paling penting dalam K3. Bentuk-bentuk sikap yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja yaitu kesembronoan, tidak bertanggung jawab, atau keengganan untuk kerja sama. Sikap semacam ini merupakan gejala dari sesuatu yang lebih mendasar yaitu ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri terhadap sistem dan situasi yang sedang dihadapi. Pekerja yang mempunyai kematangan dan mampu menyesuaikan diri akan mampu untuk mengamati usaha keselamatan dan menghindari risiko kecelakaan kerja (Siegel, 1962). Mengingat pentingnya faktor sikap dalam sistem keselamatan kerja maka dikatakan bahwa upaya untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja perlu diarahkan pada perubahan sikap terhadap kesehatan dan termasuk perilaku yang aman (Handley, 1977). Organisasi juga perlu memperbesar K3 dengan cara mendorong pengusaha dan pekerja untuk meningkatkan persepsi mereka terhadap risiko dalam berbagai situasi dan mengurangi toleransi terhadap risiko secara keseluruhan (Geller, 2001).
Jika organisasi mampu mengatasi masalah K3 maka hal ini akan memberikan peluang untuk meningkatkan efisiensi bisnis serta melindungi pekerja dalam organisasi tersebut. Dalam hal ini, cara terbaik adalah dengan melakukan pencegahan atau upaya preventif. Pencegahan adalah cara yang paling rasional untuk melindungi pekerja terhadap risiko. Jadi organisasi perlu menerapkan pendekatan sistem terhadap K3 berdasarkan penilaian risiko dan prinsip-prinsip pencegahan.
Tantangan yang juga tidak kalah sulit adalah mengarusutamakan K3 di semua segmen kegiatan organisasi mulai dari konsep, perencanaan, hingga pelaksanaan dan penyediaan barang dan jasa. Organisasi perlu menempatkan manusia dan pekerjaan mereka sebagai inti dari kebijakan K3. Pekerjaan yang layak yaitu yang mencakup bekerja dengan cara yang aman dan tidak membahayakan kesehatan. K3 perlu diupayakan agar tidak menjadi suatu tindakan, pelayanan, atau disiplin yang terpisah. K3 adalah elemen dari dunia kerja secara menyeluruh. Organisasi juga perlu menyusun dan menerapkan program dan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan manfaat dari terciptanya tempat kerja yang layak. Maka dari itu organisasi perlu mendorong agar pengusaha dan pekerja mampu dan bersedia mengutamakan kesehatan dan keselamatan serta berfokus pada semua aspek pekerjaan, sekarang dan di masa depan. Intinya, pengusaha dan pekerja secara organisasional perlu mengambil sikap dan tindakan nyata bahwa K3 merupakan kebutuhan atau hal primer bagi organisasi. Sebab dengan penerapan K3 yang semestinya maka akan dapat menjamin pekerja untuk bekerja dengan aman sehingga visi dan misi organisasi lebih mungkin untuk dicapai dan diwujudkan.
Referensi:
Asfahl, C.R. (1995) Industrial Safety and Health Management. New Jersey: Prentice Hall.
Geller, E.S. (2001) The Psychology Of Safety Handbook. Washington, D.C.: Lewis Publishers.
Handley, W. (1977) Industrial Safety Handbook. London: McGraw-Hill Company.
Maulidin, M.. (2023) ‘Pekerja Tewas Akibat Jatuh dari Lantai Tiga Usai Selesai Bekerja’, Magazine Isafety.
Meester, K.D. (2019) Mainstreaming OSH: Putting People And Their Work At The Centre To Ensure Healthy And Safe Workplaces For The Future. International Labour Organization.
Siegel, L. (1962) Industrial Psychology. Illinois: Richard D. Irwin, Inc.