ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 24 Desember 2023

 

Mengenal Compassion Fatigue: Dampak dari Membantu Orang Lain

 

Oleh:

Wiwit Puspitasari Dewi

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

“Gunakan masker oksigen terlebih dahulu sebelum Anda membantu orang lain”

(Aturan keselamatan di penerbangan)

 

Saya baru menyadari kalimat itu punya makna dan tujuan yang sangat penting bagi keselamatan banyak orang. Saat kita ingin membantu orang lain, maka kita perlu siap membantu dan punya berbagai alternatif cara untuk mengelola diri agar dapat membantu. Hal ini juga perlu diaplikasikan pada kehidupan profesional yang bekerja membantu orang lain (misalnya: dokter, perawat, psikiater, psikolog, konselor, atau pekerja sosial) karena pekerjaan ini membutuhkan kemampuan berempati guna memahami apa yang mereka alami. Disadari atau tidak, para profesional yang merawat pasien atau klien dengan pengalaman traumatis memiliki risiko mengalami kondisi yang dikenal dengan compassion fatigue (Figley, 1995).

 

Definisi Compassion Fatigue dan Gejalanya

Istilah compassion fatigue seringkali digunakan secara bergantian dengan burnout. Walaupun kondisi ini terlihat serupa, namun keduanya berbeda. Compassion fatigue merupakan kelelahan fisik dan emosi yang muncul akibat paparan trauma atau tekanan yang dialami orang lain/klien (Cherry, 2023), bahkan dapat muncul hanya dari paparan klien/pasien tunggal (Figley dalam Almadani et al., 2022). Sedangkan burnout adalah kelelahan fisik, emosional, serta mental yang disebabkan karena tekanan kerja yang panjang (Maslach dalam Almadani et al., 2022).

 

Compassion fatigue membuat orang-orang yang mengalaminya merasa sumber compassion yang digunakan untuk menolong telah terkuras habis, sehingga mereka tidak memiliki sumber daya emosional dan fisik yang biasanya digunakan untuk berempati ke orang lain (Cherry, 2023). Melanjutkan penjelasannya, Cherry mengungkapkan bahwa seseorang dengan compassion fatigue dapat merasakan kelelahan, apatis, khawatir yang berlebihan akan penderitaan orang lain, menyalahkan diri karena tidak dapat memberikan bantuan atau mencegah munculnya trauma, mudah mengalami kemarahan, merasa tidak berdaya, kesulitan makan atau tidur, kehilangan keyakinan diri, hingga juga membuat seseorang menjadi sulit berempati dengan orang yang menderita. Gejala ini tentunya dapat mengganggu kehidupan sehari-hari bagi para profesional yang mengalaminya serta pekerjaan mereka dalam membantu orang lain.

 

Tahapan dalam Proses Terbentuknya Compassion Fatigue

Compassion fatigue terjadi secara bertahap dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Charles Figley, peneliti yang banyak mengeksplorasi compassion fatigue, membuat sebuah model yang menjelaskan berbagai faktor yang menimbulkan kondisi ini. Ia menyebutkan bahwa terdapat empat tahapan utama yang terjadi (Figley, 2002; Cherry, 2023):

 

1.     Empathic Ability

Merupakan kemampuan seseorang untuk dapat berempati dan berespon terhadap penderitaan orang lain. Kemampuan ini merupakan kunci dalam membantu orang lain yang sekaligus membuatnya rentan mengalami dampak dari membantu/merawat orang lain.

 

2.     Empathic Response

Adalah sejauh mana seorang psikoterapis berupaya mengurangi penderitaan orang lain melalui pemahaman empatik. Seorang profesional akan mencoba memproyeksikan perasaan, pemikiran, dan perilakunya sesuai dengan perspektif klien. Di satu sisi hal ini merupakan keuntungan karena terjadi sesi terapeutik yang baik. Namun di sisi lain dapat memunculkan efek pada diri sendiri karena ikut mengalami apa yang dirasakan klien.

 

3.     Residual Compassion Stress

Merupakan residu dari energi emosional akibat respon empatik ke klien dan juga tuntutan akan adanya tindakan yang berkelanjutan untuk mengurangi penderitaan klien. Tekanan ini memberikan dampak ke sistem pertahanan tubuh seseorang dan kualitas hidup secara umum. Kondisi ini dapat berkontribusi memunculkan compassion fatigue sehingga diperlukan beberapa tindakan untuk mengelolanya.

 

4.     Compassion Fatigue

Kondisi yang terjadi saat seorang profesional tidak berhasil untuk mengelola tekanan. Risiko untuk sampai ke tahap ini akan semakin besar jika seorang profesional terpapar akan kondisi trauma yang dialami klien (secondary trauma) dalam jangka waktu yang panjang atau jika mereka kembali mengingat pengalaman traumatis yang terjadi di masa lalu. Seorang profesional juga dapat mengalami perubahan dalam hidup yang tidak diharapkan dan membutuhkan perhatian lebih. Kombinasi semua hal ini dapat membuat seorang profesional lebih mungkin mengalami compassion fatigue.

 

Mengelola Diri sebagai Profesional Kesehatan Mental

Guna mencegah terjadinya compassion fatigue, maka seorang profesional kesehatan fisik dan mental perlu mengelola dirinya agar dapat beraktivitas dengan efektif. Beberapa hal yang dapat dilakukan di antaranya (Figley, 2002; Clay, 2022):

 

1.     Menyadari gejala compassion fatigue yang dialami : Dapat dilakukan dengan melakukan asesmen pribadi dan mengevaluasi apa yang dialami oleh diri.

 

2.     Memiliki rutinitas merawat diri: Beberapa aktivitas yang disarankan di antaranya adalah tidur yang cukup, memiliki nutrisi yang sehat, memiliki aktivitas fisik/olahraga, memiliki kegiatan untuk relaksasi, dan bersosialisasi.

 

3.     Mengevaluasi penilaian diri mengenai self-care: Terdapat pemahaman bahwa self-care merupakan tindakan egois. Akibatnya para profesional cenderung khawatir tentang pekerjaan di waktu libur dan merasa bersalah saat mengambil waktu untuk bersenang-senang. Padahal bermain, menonton film yang lucu, dan berbagai kegiatan menyenangkan lainnya dapat menambah energi yang dibutuhkan untuk membantu klien.

 

4.     Melatih welas asih terhadap diri: Terkadang sebagai seorang profesional, kita sangat fokus membantu dengan sempurna hingga kelelahan. Kita perlu memiliki waktu untuk merefleksikan adanya ketidaknyamanan yang dialami dan menghargai bahwa kita juga manusia yang juga memiliki kekhawatiran. 

 

5.     Memiliki cara coping untuk mengurangi efek traumatis pasca bertemu dengan klien: Seorang profesional perlu mengetahui aktivitas atau tindakan yang efektif bagi dirinya sendiri dalam mengelola reaksi emosional yang muncul.

 

6.     Memperkuat dukungan sosial dan berkomunitas: Walaupun kita merupakan profesional yang membantu klien, namun kita tetap manusia yang membutuhkan bantuan. Perlu untuk meningkatkan sistem dukungan dari segi jumlah dan variasi agar dapat melihat diri secara terpisah dari pekerjaan sebagai seorang profesional. Kita juga dapat memiliki komunitas untuk berbagi masalah yang dialami sebagai profesional.

 

7.     Fokus terhadap kepuasan untuk memberikan bantuan:  Merayakan hal baik dari kegiatan membantu dan melatih kebersyukuran. Cobalah untuk mengingat hal baik yang sudah terjadi atau keberhasilan dalam membantu klien.

 

Referensi:

 

Almadani, A. H., Alenezi, S., Algazlan, M. S., & Alrabiah, E. S. (2022). Compassion Fatigue Among Practicing and Future Psychiatrists: A National Perspective. Cureus, 14(5), e25417. https://doi.org/10.7759/cureus.25417

Cherry, K. (2023, April 16). Compassion fatigue: The toll of caring too much. Verywellmind. https://www.verywellmind.com/compassion-fatigue-the-toll-of-caring-too-much-7377301

Clay, R.A. (2022, July 11). Are you experiencing compassion fatigue? American Psychological Association. https://www.apa.org/topics/covid-19/compassion-fatigue

Figley, C. R. (1995). Compassion fatigue as secondary traumatic stress disorder: An overview. In C. R. Figley (Ed.), Compassion fatigue: Coping with secondary traumatic stress disorder in those who treat the traumatized (pp. 1–20). Brunner/Mazel.

Figley, C. R. (2002). Compassion fatigue: Psychotherapists’ chronic lack of self-care. Psychotherapy in Practice, 58(11), 1433-1441. DOI: 10.1002/jclp.10090