Vol. 9 No. 23 Desember 2023
Pengaburan Tanggung Jawab dalam Pengelolaan Sampah
Oleh:
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi, Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Terbakarnya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah pada banyak kota besar di Indonesia menjadi trend. Mengapa TPA mudah terbakar? Sampah-sampah di TPA pada umumnya bercampur-baur jenisnya, antara organik dan anorganik. Sampah organik (sisa makanan, daun-daun), mudah terurai. Sampah anorganik (kaca, kain, logam, plastik, dan kertas), membutuhkan ratusan tahun untuk bisa terurai. Bahkan styrofoam tidak bisa terurai. Di Indonesia, komposisi sampah di TPA didominasi (50%) oleh sampah organik. Ciri khas sampah organik adalah menghasilkan gas metan yang mudah terbakar. Ketika sampah organik dan anorganik bertumpuk-tumpuk begitu saja, maka gas metan menjadi terperangkap. Ketika cuaca panas, maka gas metan itu terbakar. Terjadilah pencemaran udara. Ketika cuaca tidak panas, sampah organik itu menggeluarkan air lindi yang aromanya sangat busuk. Bila di dekat TPA ada sungai, maka air sungai akan tercemar. Penduduk sekitar TPA terancam kesehatannya.
Peristiwa terbakarnya TPA sampah itu hampir selalu terjadi sepanjang tahun. Pertanyaannya, apakah pihak Pemda tidak menganggarkan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan? Mengapa Pemerintah Indonesia tidak belajar dari Pemerintah Swedia yang mengimpor sampah dari negara tetangga, dan menjadikan sampah itu sebagai sumber listrik? Inovasi dari Swedia itu sudah sangat lama terjadi yakni sekitar tahun 1970-an (Wheeler, 2013). Undang-undang tentang sampah di Indonesia yang selalu menjadi rujukan adalah UU RI No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sungguh sangat jauh jaraknya kepedulian Pemerintah Indonesia dibandingkan dengan Pemerintah Swedia.
Berbeda dengan masyarakat Swedia, masyarakat Indonesia memang tidak mempunyai kebiasaan hidup bersih. Gaya hidup bersih pun harus ‘dipaksakan’ oleh Pemerintah Belanda, karena adanya wabah pes pada era 1920-1940 (Shodiq, 2021). Setelah Indonesia merdeka, kebiasaan hidup bersih itu seolah hilang. Sampah hanya diangkut oleh petugas sampah dan ditumpuk begitu saja di TPA. Baru pada tahun 2004, masyarakat Surabaya belajar mengolah sampah skala rumah tangga pertama kali dari Mr. Takakura dari Jepang (Jumiarni et al., 2020). Pelajarannya sangat mudah dan terkenal dengan nama Pengelolaan Sampah Metode Takakura.
Sudah ada pelajaran praktek tahun 2004 dan Undang-Undang tahun 2008, namun perilaku masyarakat Indonesia tetap tidak bertanggungjawab terhadap sampahnya. Masyarakat merasa tidak perlu ikut bertanggungjawab terhadap pengelolaan sampahnya karena menganggap itu adalah tanggungjawab pemerintah. Hal ini terlihat ketika individu berada di dekat tumpukan sampah yang tidak terurus. Ia mungkin akan berpikir, “Mengapa saya harus ikut bertanggungjawab? Padahal sampah saya porsinya kecil, sedangkan tetangga porsinya besar. Seharusnya dialah yang harus bertanggungjawab, bukan saya”. Terjadilah peristiwa pengaburan tanggung jawab (diffusion of responsibility) dalam hal sampah. Padahal, sesungguhnya, sampah adalah tanggung jawab individu, tidak hanya pemerintah atau masyarakat.
Sulitkah perilaku bertanggungjawab pada sampah sendiri? Sangat sederhana, lakukanlah reduce atau kurangi sampah. Bila berbelanja, bawalah tas sendiri sehingga tidak perlu menggunakan kantung plastik dari penjual. Kalau pun harus memproduksi sampah, maka lakukanlah pemilahan. Pisahkan sampah organik dengan anorganik. Selanjutnya jadilah nasabah bank sampah, untuk menyalurkan sampah anorganik. Lakukanlah reuse, misalnya menggunakan kembali kantung plastik dari toko untuk membungkus barang-barang. Lakukanlah recycle yakni mendaur ulang sampah organik produksi sendiri, menjadi kompos. Membuat kompos sangat mudah, cukup kuburlah sisa makanan di pot tanaman dan diberi tanah. Sebulan kemudian, kompos sudah bisa digunakan. Bila masyarakat bisa berperilaku 3R, maka fungsi TPA hanya untuk sampah residu saja sehingga TPA tidak terbakar lagi.
Referensi:
Jumiarni, D., Putri, R.Z.E. & Anggraini, N. (2020). Penerapan tekonologi kompos Takakura bagi masyarakat Desa Tanjung Terdana Kecamatan Pondok Kubang Bengkulu Tangah sebagai upaya pemberdayaan masyarakat sadar lingkungan. Dharma Raflesia: Jurnal Ilmiah Pengembangan dan Penerapan IPTEKS. 18(1), 63-70.
Shodiq, M.F. (2021). Jogo tonggo efektivitas kearifan lokal: Solusi pandemi Covid-19. SALAM Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. 8(2), 423-440. DOI: 10.15408/sjsbs.v8i2.19412.
Wheeler, K. (2013). The largest environmental movement: Recycling and consumption work in Sweden. Cresi Working Paper. 2, 1-38.