Vol. 9 No. 23 Desember 2023
Bekerja dengan Renjana
Oleh:
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Manusia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja. Berdasarkan survey Bureau of Labor Statistics yang diterbitkan oleh USA Today 13 Oktober 2023 lalu, dalam 24 jam, 8.3 jam dilewatkan oleh pegawai laki-laki dan 7.8 jam oleh pegawai perempuan untuk pekerjaan – mulai dari merencanakan pekerjaan, bekerja itu sendiri sampai memikirkan tentang pekerjaan (Mulroy, 2023). Oleh karenanya, memilih pekerjaan yang sesuai dengan renjana atau passion menjadi hal yang tepat. Jika keliru, maka bisa dibayangkan betapa menderitanya hidup manusia menjalani jam demi jam tanpa berkesudahan.
Salah satu tokoh yang mengedepankan pemikiran tersebut adalah Vallerand. Pada tahun 2003 dirinya dan sejumlah rekan mengkonsepsikan renjana kerja (work passion/passion for work), yaitu bekerja tak sekedar untuk mencari nafkah demi melunasi cicilan, tetapi atas kemauan sendiri – lantaran apa yang dikerjakan memang dirasa menyenangkan, menstimulasi pertumbuhan diri serta membawa individu pada sederetan kebaikan. Renjana sendiri didefinisikan sebagai kecenderungan kuat pada individu untuk mengerjakan aktivitas yang menjadi bagian dari jati dirinya, yang ia sukai bahkan cintai, serta berharga bagi mereka sehingga bermakna penting, dan untuk itu mereka bersedia menginvestasikan waktu dan energi yang mereka miliki (a strong inclination toward a self-defining activity that individuals like (or even love), that they value (and thus find imporant), and in which they invest time and energy) (Carbonneau, Vallerand, Fernet & Guay, 2008). Apabila hal ini dapat dicapai oleh individu, maka dapat dibayangkan bahwa minimal sepertiga dari kesehariannya dalam bekerja ia jalani dalam kondisi yang menyenangkan.
Vallerand membangun konsepsi pemikirannya di atas landasan teoretis Ryan dan Deci yaitu determinasi diri (self-determination) (Thorgren, Wincent & Siren, 2013). Ryan dan Deci pada tahun 2000 membangun teori bahwa memiliki kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri, yaitu melalui otonomi (autonomy) yaitu kebutuhan bahwa dirinya punya pilihan atau kemandirian dalam saat melibatkan diri dalam aktivitas tertentu tanpa campur tangan pihak di luar dirinya sendiri, kompetensi (competence) yaitu kebutuhan untuk merasa bahwa dirinya mampu mengatasi tantangan yang ada dalam lingkungannya menggunakan ketrampilan yang ia milikir serta keterhubungan (relatedness) yaitu kebutuhan bahwa dirinya memiliki hubungan yang bermakna dengan orang-orang lain (Thibault-Landry, Egan, Crevier-Braud, Manganelli & Forest, 2018). Lalu jika kita bekerja dengan renjana, apakah otomatis kita akan berbahagia? Hmm, belum tentu. Mengapa? Menurut Lavigne, Forest dan Crevier-Braud (2012), Vallerand mengkonsepsikan renjana kerja dalam dua dimensi yaitu sebagai berikut.
Dimensi pertama adalah dimensi renjana harmonis (harmonious passion). Renjana harmonis adalah ketika individu mengalami pelibatan yang kuat dengan aktivitas yang ia jalani sehingga aktivitas tersebut menjadi bagian dari identitasnya tanpa syarat maupun tanpa pamrih, karena dirinya secara otonom memilih melakukan aktivitas tersebut tanpa adanya tekanan dari siapapun. Individu yang mengalami renjana hamonis adalah mereka yang menempatkan pekerjaan pada posisi yang penting dalam keseluruhan konstelasi konsep dirinya akan tetapi tetap dalam kendali individu tersebut, sehingga pekerjaan tidak berkonflik dengan kehidupan pribadi maupun peran-peran lain yang ia jalani. Sebaliknya, renjana obsesif (obsessive passion) adalah ketika individu mengalami keterlibatan dengan intensitas sedemikian rupa sehingga tak lagi dalam kendali penuh individu tersebut. Aktivitas tersebutlah yang mengendalikan si individu, maka sebagai akibatnya pekerjaan berpotensi berkonflik dengan domain-domain kehidupan lainnya. Hal ini menyebabkan individu tersebut berpotensi untuk hangus terbakar oleh pekerjaan atau mengalami burnout (Lavigne, Forest & Crevier-Braud, 2012). Hal ini yang kemudian dikenal sebagai model dualistik renjana (dualistic model of passion/DMP).
Contohnya seorang dosen yang bekerja dengan renjana harmonis tak merasa tertekan menyiapkan materi ajar, gembira mencurahkan waktu menyusun penelitian maupun mengalokasikan energi melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Mereka mengelola waktu menjalani pekerjaannya seraya memastikan bahwa aktivitas-aktivitas di luar pekerjaan berjalan lancar. Sebaliknya ketika dosen bekerja dengan renjana obsesif, maka apa yang ia kerjakan ia tempatkan dalam posisi sedemikian penting sehingga bahkan berkonflik dengan domain-domain kehidupannya yang lain. Waktu dan energi yang ia curahkan untuk mengajar, diseminasi penelitian dan berkontribusi pada masyarakat lewat pengabdian menjadi aktivitas yang mengendalikan dirinya. Alhasil saat dirinya bercengkerama dalam keluarga, ia terus sibuk membimbing mahasiswa, larut menanggapi diskusi-diskusi panjang seputar payung penelitiannya hingga pagi menjelang bahkan hanyut terlibat dalam dinamika komunitas dalam melaksanakan pengabdiannya.
Contoh-contoh serupa dapat ditemukan tidak hanya pada dosen di universitas, tetapi juga dalam berbagai sektor pekerjaan lain mulai dari staf sampai CEO. Perlu dipahami bahwa renjana kerja berbeda dengan gila kerja (workaholism), karena konsep yang terakhir lebih tepat dipadankan dengan adiksi atau kecanduan, sedangkan renjana kerja masih ditandai adanya kesenangan dalam bekerja. Bercermin pada keseluruhan uraian di atas, maka dapat disimpulkan organisasi idealnya mengidentifikasi individu-individu yang memiliki renjana kerja.
Bercermin pada hal ini, organisasi direkomendasikan untuk memastikan bahwa pegawai-pegawainya bekerja dengan renjana – khususnya dimensi harmonis dan bukan obsesif guna menghindari dampak negatif. Penting untuk mengingat temuan Houlfort, Phillippe, Vallerand dan Menard (2014) yang menemukan bahwa renjana harmonis berdampak positif terkait dengan capaian-capaian positif individu seperti kepuasan kerja yang lebih tinggi dan depresi yang lebih rendah; dan sebaiknyarenjana obsesif justru berkaitan dengan depresi dan intensi untuk mengundurkan diri (turnover intentions).
Referensi
Carbonneau, N.; Vallerand, R.J.; Fernet, C. & Guay, F. (2008). The role of passion for teaching in intrapersonal and interpersonal outcomes. Journal of Educational Psychology, 100(4), 977-987.
Houlfort, N.L., Phillippe, F.J., Vallerand, R. & Menard, J. (2014). On passion and heavy work investment: Personal and organizational outcomes. Journal of Managerial Psychology. 29(1), 25-45.
Lavigne, G.L.; Forest, J. & Crevier-Braud, L. (2012). Passion at work and burnout: A two-study test of the mediating role of flow experience. European Journal of Work and Organizational Psychology, 21(4), 518-546.
Mulroy, C. (2023, 13 Oktober ). How many work hours in a year? We counted the days and crunched the numbers. USA Today. https://www.usatoday.com/story/news/2023/10/13/how-many-working-hours-are-in-a-year/70902897007/
Thibault-Landry, A.; Egan, R.; Crevier-Braud, L., Manganelli, L. & Forest, J. (2018). An empirical investigation of the employee work passion appraisal model using self-determination theory. Advances in Developing Human Resources, 20(2), 148-168.
Thorgren, S.; Wincent, J. & Siren, C. (3). The influence of passion and work-life thoughts on work satisfaction. Human Resource Development Quarterly, 24(4), 469-492.