Vol. 9 No. 22 November 2023
Meruntuhkan Stereotip: Mengatasi Rasa Minder Pria Ketika Pasangan Wanitanya Meraih Sukses Karir Lebih Tinggi
Oleh:
Rafi Wildzan Hakim & Devie Yundianto
Prodi Psikologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Dalam berumah tangga, setiap pasangan memiliki kewajiban masing-masing, salah satunya adalah dalam mencari nafkah. Pada kebanyakan keluarga, yang berperan dalam mencari nafkah adalah suami. Namun di era ini tidak sedikit istri yang ikut bekerja dengan banyak faktor, diantaranya adalah kebutuhan keluarga. Pada dasarnya, pasangan suami istri yang keduanya bekerja itu lumrah terjadi. Namun untuk norma masyarakat di Indonesia, laki-laki sebagai kepala keluarga mempunyai tanggung jawab lebih dalam mencari nafkah untuk keluarga. Pertanyaan yang saat ini berada dalam peran gender adalah bagaimana bila laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki karir pekerjaan (finansial, jabatan, jenis pekerjaan) yang dianggap lebih rendah dari istrinya apakah memiliki dampak menurunkan harga diri seorang suami (Botea et al., 2021; Bianchi, 2011; McGowan et al., 2012; Sakai & Fauzia, 2016).
Stereotip pada gender menganggap bahwa laki-laki biasanya diasosiasikan dengan kekuatan, kompetensi, dan kecerdasan. Oleh karena itu kesuksesan pasangan (wanita) diartikan sebagai kegagalan diri dan tidak sesuai dengan stereotip yang dapat berdampak negatif pada harga diri (Ratliff & Oishi, 2013). Dalam hal mengurus rumah tangga laki-laki merasa gengsi apabila ia ditugaskan atau dilibatkan dalam hal hal-hal kegiatan rumah tangga. Menurut Armansyah & Taufik (2018) masih terdapat sebagian laki-laki yang merasa jika kewajiban mengurus rumah tangga itu hanya dibebankan kepada istri serta apabila dikerjakan oleh suami, maka hal tersebut berlawanan dengan norma yang ada di masyarakat. Tidak hanya itu, laki-laki juga tidak ingin apabila posisi perempuan lebih tinggi darinya, baik dalam segi pekerjaan maupun pada segi penghasilan. Hal ini dapat dibuktikan dari masih adanya sebagian laki-laki yang merasa minder serta kurang percaya diri apabila pasangan mereka lebih tinggi pekerjaan dan pendapatannya daripada mereka (Botea et al., 2021).
Wanita karir identik dengan sikap mandiri karena mereka memiliki penghasilan sendiri, apalagi dengan memiliki penghasilan dan karir yang tinggi. Hal ini cukup menjadi dilema bagi laki-laki, karena yang ditakutkan oleh sebagian laki-laki ketika memiliki pasangan wanita yang berada di atasnya adalah ketika pasangan wanitanya lebih dominan dibanding laki-laki yang berposisi sebagai kepala keluarga. Selain itu juga laki-laki takut akan direndahkan oleh pasangan wanitanya sewaktu-waktu. Menurut penelitian oleh (Ratliff & Oishi, 2013), laki-laki merasa dirinya gagal dan menurun harga dirinya apabila pasangan mereka lebih tinggi karirnya ketimbang mereka. Laki-laki secara tidak sadar menganggap bahwa dirinya buruk ketika melihat bahwa pasangannya mempunyai karir yang lebih tinggi dibanding mereka yang masih tak kunjung berkembang karirnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki secara otomatis mengartikan kesuksesan pasangan sebagai kegagalan bagi mereka.
Pendapatan istri yang lebih besar dari suami,dapat menimbulkan kemungkinan permasalahan dalam kehidupan berumah tangga apabila tidak disikapi dengan bijak oleh kedua belah pihak. Bukan cuma di Indonesia yang dianggap mempunyai pola paternalistik dan tradisional dalam pengelolaan keluarga. Bahkan di negara-negara maju serta modern, yang dianggap pola pikirnya sudah lebih maju dan terbuka, perbedaan pendapatan suami-istri masih dapat memunculkan persoalan dan konflik (Farmawati, 2020). Meskipun mereka telah menerima konsekuensi atas kondisi ketimpangan penghasilannyaya dengan suami, tetapi mereka juga tidak jarang terpengaruh oleh tanggapan lingkungan sekitar yang mengakibatkan dirinya merasa tidak nyaman dan mempertanyakan kondisi yang dihadapi sebagai istri yang memilliki suami dengan penghasilan yang lebih rendah. Kondisi dan tanggapan teman-teman di lingkungan pekerjaan dan keluarga dinilai berpotensi memunculkan konflik batin maupun bibit konflik yang dapat mengganggu keharmonisan hidup berkeluarga (Utami, 2016). Hal ini dapat diperparah apabila pasangan suami istri tersebut tinggal dan menetap dengan menumpang di rumah orang tua sang istri.
Adapun bentuk dukungan yang diberikan istri maupun suami yang mengalami konflik akibat penghasilan istri yang lebih tinggi menurut (Farmawati, 2020), yaitu: Pertama, Dukungan Emosional; berupa perhatian, kasih sayang dan empati. Dukungan emosional adalah fungsi afektif keluarga yang berupa fungsi internal keluarga dalam memenuhi kebutuhan psikososial dengan saling peduli, cinta kasih, kehangatan, saling mendukung dan menghargai antar anggota keluarga, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Baik istri maupun suami dalam subjek penelitian ini, keduanya menerapkan dukungan emosional dalam penyelesaian konflik keluarga. Kedua, Dukungan Informasi; Dukungan informasi merupakan suatu dukungan atau bantuan yang diberikan oleh keluarga dalam bentuk memberikan saran atau masukan, nasehat atau arahan dan memberikan informasi-informasi penting yang sangat dibutuhkan. Aspek-aspek dalam dukungan meliputi nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Baik istri maupun suami dalam subjek penelitian ini, keduanya saling terbuka dan memberikan dukungan informasi dalam penyelesaian konflik keluarga. Ketiga, Dukungan Instrumental; Dukungan instrumental keluarga merupakan dukungan atau bantuan penuh dari keluarga dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, dana, maupun meluangkan waktu untuk membantu atau melayani dan mendengarkan mereka dalam menyampaikan perasaannya. Serta dukungan instrumental dari keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit dan merawatnya. Keempat, Dukungan Penghargaan; Dukungan keluarga berperan dalam meningkatkan perasaan sejahtera, karena keluarga harus dapat membimbing dan menengahi pemecahan masalah apabila terjadi konflik. Orang yang tinggal dalam lingkungan yang supportif kondisinya jauh lebih baik daripada mereka yang tidak memilikinya. Setiap orang harus selalu menjaga komunikasi dan hubungan yang baik antar pasangan, menghargai setiap usaha masing-masing demi keutuhan keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dapat membantu keluarga dalam mengatasi masalah.
Kesimpulannya adalah penting untuk diingat bahwa perasaan minder atau inferioritas ini adalah perasaan yang lumrah dan dapat dialami oleh siapa pun dalam hubungan, tidak hanya laki-laki. Pasangan perlu berdiskusi tentang perasaan minder yang dimiliki. Saran yang dapat dilakukan apabila pasangan memiliki perasaan minder adalah dengan melakukan terapi atau konseling pernikahan yang dapat membantu mengatasi inferioritas dan memperkuat hubungan pernikahan. Mengatasi masalah dan menemukan solusi bersama adalah kunci untuk memperkuat hubungan. Mendukung satu sama lain dalam pencapaian karier masing-masing, terlepas dari perbedaan dalam kesuksesan karier, adalah bagian penting dari hubungan yang sehat.
Referensi:
Armansyah, & Taufik, M. (2018). Representasi Perempuan Pekerja Migran menurut Laki-laki di Kota Palembang. Populasi, 26(1), 26–38.
Bianchi, S. M. (2011). Family Change and Time Allocation in American Families. The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, 638(1), 21–44. https://doi.org/10.1177/0002716211413731
Botea, I., Donald, A., & Rouanet, L. (2021). In it to win it? Self-esteem and income-earning among couples. Journal of Economic Behavior & Organization, 187, 488–506. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2021.04.017
Farmawati, C. (2020). Resolusi Konflik Keluarga Pada Istri Yang Memiliki Penghasilan Lebih Tinggi Dari Suami. Motiva Jurnal Psikologi, 3(2), 66. https://doi.org/10.31293/mv.v3i2.5012
McGowan, P., Redeker, C. L., Cooper, S. Y., & Greenan, K. (2012). Female entrepreneurship and the management of business and domestic roles: Motivations, expectations and realities. Entrepreneurship & Regional Development, 24(1–2), 53–72. https://doi.org/10.1080/08985626.2012.637351
Ratliff, K. A., & Oishi, S. (2013). Gender differences in implicit self-esteem following a romantic partner’s success or failure. Journal of Personality and Social Psychology, 105(4), 688–702. https://doi.org/10.1037/a0033769
Sakai, M., & Fauzia, A. (2016). Performing Muslim Womanhood: Muslim Business Women Moderating Islamic Practices in Contemporary Indonesia. Islam and Christian–Muslim Relations, 27(3), 229–249. https://doi.org/10.1080/09596410.2015.1114243
Utami, N. (2016). Pengalaman Komunikasi Keluarga Istri Yang Berpendapatan Lebih Besar Dari Suami. Jurnal Kajian Komunikasi, 4(1).