ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 22 November 2023

 

Menemukan Diri dalam Perbedaan:

Perjalanan dalam Menerima Keanekaragaman

Budaya, Etnis, dan Seksualitas

 

Oleh:

Amanda Putri

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Keanekaragaman dalam Teori Perkembangan dan Pengasuhan

Pengembangan ilmu psikologi perkembangan maupun pengasuhan di seluruh dunia, berasal dari hasil penelitian di Amerika dan Eropa. Teori-teori tersebut telah banyak mendukung orang tua dalam praktik pengasuhan anak hingga remaja. Akan tetapi pada pelaksanaannya, meskipun orang tua telah menguasai teori pola asuh, perlu disadari ada aspek lain yang turut berperan mengarahkan gaya pengasuhan di tiap keluarga.

 

Setiap orang tua merupakan manusia yang berbudaya, mereka menerima nilai dan ajaran khas yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi turun temurun, pemahaman peran gender, penentuan prioritas dalam hidup, serta berbagai ajaran lainnya sangat bervariasi antar budaya. Perbedaan tersebut telah berperan terhadap keanekaragaman gaya pengasuhan di tiap keluarga. Sebagai makhluk berbudaya, ada upaya untuk melestarikan warisan yang telah diajarkan dari generasi ke generasi. Keanekaragaman budaya, terkadang dihayati sebagai tantangan bagi keluarga – terdapat dilema antara melestarikan warisan budaya dengan mengajarkan sikap toleransi.

 

Meskipun ada beberapa teori yang telah berupaya membahas bagaimana keterkaitan antara lingkungan sosial dengan pengasuhan dan perkembangan anak, akan tetapi belum ada yang memberi penjelasan mendalam tentang bagaimana mengembangkan kesadaran kepada anak akan keanekaragaman budaya, etnis dan seksualitas, serta cara menyikapinya dengan tepat. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, terlihat ada upaya untuk mengintegrasikan berbagai nilai budaya, tradisi, dan konteks lokal dalam memahami perkembangan dan pengasuhan anak.

 

Etnoparenting didefinisikan sebagai konsep dan praktik dalam pengasuhan anak-anak berdasarkan budaya lokal, tradisi, nilai-nilai, filosofi, dan kebiasaan di daerah asli pribumi dan/ atau berdasarkan etnis tertentu. Model Etnoparenting Indonesia mengandung empat elemen utama yaitu Ketuhanan, jati diri manusia, kepedulian terhadap alam dan lingkungan, serta sikap gotong royong dan keterlibatan masyarakat dalam pengasuhan anak (Rachmawati, 2020). Dalam model etnoparenting, sudah mulai terlihat upaya untuk membantu anak tumbuh dengan kesadaran dan toleransi pada keanekaragaman budaya. Akan tetapi, masih diperlukan penjelasan lebih rinci terkait tahap-tahap implementasi bagaimana pengasuh dapat menumbuhkan sikap sopan santun pada anak hingga remaja, dalam menghadapi keanekaragaman budaya dan etnis.

 

Upaya ilmuwan psikologi maupun pendidikan dalam mengembangkan pendekatan tentang perkembangan dan pengasuhan yang diwarnai kesadaran pada keanekaragaman berbasis seksualitas belum begitu terlihat. Keanekaragaman seksualitas di Indonesia masih menjadi topik yang kontroversial dan menimbulkan perdebatan di masyarakat. Orientasi seksual selain heteroseksual masih dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang melakukan resistensi terhadap keragaman orientasi seksual, seperti homoseksual, biseksual dan transgender (Andina, 2019). Bagaimana masyarakat Indonesia masih menganggap seksualitas sebagai topik tabu dan tidak boleh dibicarakan secara terbuka menjadi bukti minimnya upaya kita untuk menimbulkan kesadaran akan isu-isu seksualitas, baik pencegahan dari kekerasan seksual, termasuk juga keanekaragaman seksualitas.

 

Herek dan Franklin (1999) mengungkap apa saja landasan timbulnya motivasi perilaku kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum LGBT. Beberapa diantaranya adalah karena pelaku kekerasan (biasanya remaja atau pemuda) merasa bisa membentuk identitas kelompoknya secara lebih positif (merasa tangguh dan maskulin) dengan melakukan penyerangan terhadap kaum LGBT. Selain itu pelaku kekerasan memiliki kebutuhan untuk membenahi bagian dari dalam dirinya sendiri yang ‘tidak dapat diterima’ (misalnya ada perasaan homoerotis atau kecenderungan feminim). Upaya anak muda untuk memiliki keajegan terhadap identitas pribadi dan kelompoknya merupakan bukti bahwa mereka memerlukan bekal sejak dini yang seharusnya menjadi tanggung jawab agen pengasuh dan pendidik.

 

Keberanian Bertanya – Perjalanan  Menemukan Diri

Pada dasarnya setiap orang tua ingin melindungi anak-anaknya, akan tetapi ada unsur rasa takut yang mengikuti proses melindungi tersebut. Ketakutan akan keanekaragaman bisa menjadi suatu ajaran yang secara sadar maupun tidak sadar diwariskan. Kita perlu berhati-hati agar upaya melindungi anak tidak berujung pada membatasi eksplorasi mereka (dimana eksplorasi merupakan kebutuhan dasar setiap anak).

 

Pada suatu kesempatan psikoedukasi pada salah satu kecamatan di pulau Jawa, seorang remaja berkata, “Bu, kapan ya ada seminar yang diberikan kepada orang tua kami, supaya mereka tidak menolak kalau kami mau bertanya banyak hal yang selama ini mereka anggap tidak pantas atau tabu?”. Pertanyaan remaja ini menggambarkan adanya kebutuhan anak-anak pada sosok pengasuh dan pendidik yang tenang, terbuka, dan berwawasan dalam menerima berbagai pertanyaan serta menjawabnya dengan bijaksana. Orang dewasa yang menghindari pertanyaan-pertanyaan ‘tabu’ atau sensitif, akan menjadi sosok model/ teladan bagi anak dan remaja tentang bagaimana menyikapi segala sesuatu yang tidak dibahas secara terbuka – yakni cemas dan waspada karena hal tersebut dianggap asing dan ‘berbahaya’ dan dapat mengancam diri individu.

 

Ketika kesadaran keberagaman menjadi hal prioritas dalam perkembangan dan pengasuhan anak, maka orang dewasa yang berperan sebagai pengasuh dan pendidik akan lebih terbuka dalam membahas keberagaman tersebut – termasuk sikap terhadap keberagaman ini. Pengasuh dan pendidik dapat menyambut pertanyaan-pertanyaan anak dan remaja terkait beragam isu perbedaan budaya, etnis dan seksualitas. Bahkan sebagai orang dewasa mampu membuka dialog terlebih dahulu dengan anak untuk membahas isu-isu keberagaman dan bagaimana cara menyikapinya secara santun. Orang dewasa sebagai pengasuh perlu memberi teladan bahwa kacamata yang kita gunakan adalah dengan memandang bahwa keberagaman sebagai bentuk kekayaan, bukan sesuatu yang menakutkan, tabu, apalagi mengancam. Indahnya sikap toleransi namun tetap dapat menemukan diri sendiri adalah suatu bentuk keterampilan sosial dan emosi yang sepatutnya menjadi hak pencapaian dalam proses perkembangan anak dan remaja. Menunjukkan sikap superior lalu mengabaikan bahkan melanggar HAM orang lain yang ‘berbeda’ dengan diri, hanya bentuk upaya penemuan diri sendiri yang semu (palsu). Sebaliknya, bagaimana ia nantinya akan tetap ajeg dan nyaman dengan dirinya sendiri, sembari tenang dan santun dalam menghadapi keberagaman yang ada di sekitarnya, merupakan bekal yang berharga demi harmonisasi generasi masa depan.

 

Referensi:

 

Andina, E. (2019). Faktor psikososial dalam interaksi masyarakat dengan gerakan LGBT di Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah Sosial, 7(2), 173-185.

Herek G.M. & Franklin K. (1999). Homosexuals, Violence toward. Encyclopedia of Violence, Peace, and Conflict, 1, 139.

 

Rachmawati, Y. (2020). Pengembangan Model Etnoparenting Indonesia pada Pengasuhan Anak. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 1150-1162.