ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 21 November 2023

 

Peran Vital Keluarga dalam Mencegah Bullying

 

Oleh:

Helsa

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Fakta bullying di Indonesia

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menemukan 23 kasus bullying (perundungan) di institusi pendidikan sejak bulan Januari hingga September 2023 (Kompas, 2023). Secara lebih spesifik, 50% terjadi di jenjang SMP, 23% di jenjang SD, 13,5% di jenjang SMA, dan 13,5% di jenjang SMK. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kasus bullying mengalami peningkatan di tahun 2022, di mana hanya terdapat 53 kasus pada tahun 2021 namun meningkat menjadi 266 kasus di tahun 2022. Hal ini tentu memprihatinkan, mengingat peristiwa bullying akan memiliki dampak negatif bagi pelaku maupun korbannya.

 

Apa itu bullying?

Menurut Olweus (1993), bullying atau perundungan merupakan perilaku agresif berulang yang dilakukan secara sadar dan sengaja, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis, oleh individu atau kelompok yang lebih kuat kepada individu atau kelompok yang lebih lemah. Melalui definisi ini, maka ada 3 kriteria yang perlu dipenuhi untuk sebuah perilaku dikategorikan sebagai bullying, yaitu (1) perilaku agresif yang dilakukan secara sadar dan sengaja, (2) adanya ketidakseimbangan power antara pelaku dan korban, dan (3) dilakukan secara berulang kali, sehingga berdampak negatif pada korban.

 

Vanderbilt dan Augustyn (2010) menyebutkan bahwa bullying berdampak negatif, baik kepada pelaku maupun korban. Keterlibatan individu dalam peristiwa bullying bisa berdampak pada penyesuaian psikososial dan masalah kesehatan yang lebih buruk. Peristiwa bullying yang dialami korban tentu memberikan dampak negatif. Korban bullying ditemukan lebih berpeluang mengalami depresi, keluhan psikosomatis, dan kecenderungan bunuh diri. Mereka juga mungkin akan kehilangan kepercayaan diri dan self-esteem terutama dalam aspek sosialnya. Oleh karena itu, pergi ke sekolah merupakan sebuah tantangan besar bagi para korban, sehingga tidak sedikit yang akhirnya menolak atau menghindari ke sekolah dan lebih memilih untuk mengisolasi diri dari relasi sosial (Bowers et al., 1992).  Dari sisi pelaku, pelaku yang akhirnya sadar akan perilakunya cenderung memiliki tingkat depresi dan tekanan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menyangkal perilakunya.  Mereka juga cenderung mengalami permasalahan sosial, terlibat dalam perilaku beresiko tinggi seperti penggunaan obat-obatan dan konsumsi alkohol (Vanderbilt dan Augustyn, 2010).

 

Peran Keluarga dalam Kasus Bullying

Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan institusi utama yang bertanggung jawab pada perkembangan seorang individu. Keluarga merupakan institusi utama tempat seorang anak bersosialisasi. Keluarga juga merupakan wadah utama dalam membentuk perilaku dan kepribadian setiap anggotanya. Literatur menunjukkan bahwa keluarga memiliki peran penting dalam kecenderungan seorang anak menjadi pelaku maupun korban bullying. Sikap orang tua, relasi di dalam keluarga, penggunaan kekerasan dalam keluarga, juga kontrol perilaku ditemukan berhubungan dengan perilaku bullying. Beberapa temuan menunjukkan bahwa keluarga dari anak yang berperan sebagai bully cenderung merupakan keluarga yang memiliki relasi kurang baik, penerapan disiplin yang kurang konsisten, kelekatan (attachment) orang tua dan anak yang tidak aman, kurangnya aktivitas bersama di dalam keluarga, dan supervisi orang tua yang kurang.

 

Dalam penelitian Eşkisu (2014), ditemukan bahwa disfungsi keluarga berkaitan dengan kecenderungan anak menjadi pelaku dan korban bullying. Artinya, semakin besar ketidakmampuan keluarga dalam menjalankan fungsinya, seperti pemecahan masalah dan komunikasi, maka semakin besar peluang seorang anak menjadi pelaku maupun korban bullying. Anak yang belajar bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk berkomunikasi dan menyelesaikan masalah ditemukan lebih berpeluang menjadi pelaku bullying di kemudian hari. Sebaliknya, anak yang belajar bahwa satu-satunya cara berkomunikasi dan menyelesaikan masalah adalah dengan "being bullied", ditemukan lebih berpeluang menjadi korban bullying di kemudian hari.

 

Sejalan dengan temuan Eşkisu (2014), Ahmed dan Braithwaite (2004) menemukan bahwa pelaku bullying cenderung memiliki orang tua dengan pola pengasuhan otoriter yang melibatkan hukuman dan kekerasan. Selain itu, Papanikolaou et al. (2011) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa faktor signifikan yang mendorong seorang anak terlibat dalam bullying adalah cara orang tua menangani perilaku anak. Dalam hal ini, anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan penggunaan hukuman, kekejaman, maupun kekerasan, akan berpeluang lebih besar menjadi korban bullying. Lebih lanjut, anak akan berpeluang lebih besar menjadi korban bullying ditemukan memiliki ayah yang kurang terlibat aktif dalam pengasuhan. Dalam keluarga, figur ayah cenderung memberikan contoh bagaimana anak laki-laki berinteraksi dengan teman-temannya dan bagaimana dapat menghindari diri menjadi korban bullying.

 

Di sisi lain, korban bullying ditemukan cenderung memiliki keluarga yang kurang harmonis (Ahmed & Braithwaite, 2004). Pengalaman kekerasan yang dialami anak dalam keluarga dan kurangnya keterlibatan orang tua dalam pengasuhan juga berasosiasi dengan kecenderungan anak menjadi korban bullying (Bowes et al., 2009). Keberhargaan diri anak yang rendah karena pengalaman negatifnya dengan keluarga membuatnya lebih sulit untuk mempertahankan diri saat ada pihak lain yang menekannya. Dari pengalamannya, anak juga cenderung belajar bahwa "mengalah" dan diam adalah satu-satunya jalan menyelesaikan masalah.

 

Pentingnya Mengembangkan Keberfungsian Keluarga

Melalui kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberfungsian keluarga menjadi faktor penting bagi seorang anak berpeluang menjadi pelaku maupun korban bullying. Keluarga sebagai sebuah sistem perlu menjalankan fungsinya dengan optimal, dengan melibatkan setiap anggotanya. Baik ayah maupun ibu perlu memahami perannya masing-masing, sehingga juga dapat mengajarkan anak untuk menjalankan perannya dengan tepat dalam keluarga. Cara berkomunikasi yang baik dan asertif, mengasuh anak, dan bagaimana menerapkan aturan yang berlaku di dalam keluarga, juga penting untuk dikembangkan dalam keluarga. Adanya kohesivitas keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya kehangatan dan rendahnya tingkat kekerasan dalam keluarga cenderung menurunkan peluang anak menjadi pelaku maupun korban bullying. Anak dapat mengembangkan perasaan aman dan percaya diri, sehingga dapat menghadapi hambatan dalam lingkungan dengan baik. Anak juga belajar bagaimana menjalin relasi dan menyelesaikan konflik dengan cara yang tepat, serta juga belajar saling menghargai.

 

Referensi:

 

Ahmed, E. & Braithwaite. (2004). Bullying and victimization: Cause for concern for both families and schools. Social Psychology of Education, 7(1), 35-54. DOI:10.1023/B:SPOE.0000010668.43236.60

Bowers, L., Smith, P.K., & Binney, V. (1992). Cohesion and power in the families of children involved in bully/victim problems at school. Journal of Family Therapy, 14(4), 371-387. DOI:10.1046/j..1992.00467.x 

Bowers, L., Arseneault, L., Maughan, B., Taylor, A., Caspi, A., & Moffitt, T.E. (2009). School, neighborhood, and family factors are associated with children's bullying involvement: A nationally representative longitudinal study. Journal of The American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 48(5), 545-553. DOI: 10.1097/CHI.0b013e31819cb017

Eşkisu, M. (2014). The relationship between bullying, family functions and perceived social support among high school students. Social and Behavioral Sciences, 159, 492-296. DOI: 10.1016/j.sbspro.2014.12.412

Ihsan, D. (2013, Oktober 13). Selama Januari-September 2023, 23 siswa alami bullying dan 2 meninggal. KOMPAS. https://www.kompas.com/edu/read/2023/10/03/105633671/selama-januari-september-2023-23-siswa-alami-bullying-dan-2-meninggal

Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Malden: Blackwell Publishing.

Restu. (2023, Oktober 1). Data KPAI kasus bullying makin meningkat 226 di 2022, korban terbanyak siswa SD. Berita Satu. https://www.beritasatu.com/network/wartabanjar/28775/data-kpai-kasus-bullying-makin-meningkat-226-di-2022-korban-terbanyak-siswa-sd

Vanderbilt, D. & Augustyn, M. (2010). The effect of bullying. Paediatrics and Child Health, 20(7), 315-320. DOI: 10.1016/j.paed.2010.03.008