ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 20 Oktober 2023

 

Kekuatan Dalam Keragaman: Membentuk Identitas Anak-Anak Melalui Pengasuhan Toleransi

 

Oleh:

Lucy Lidiawati Santioso

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya

 

Dalam era modern, kecerdasan intelektual dan karakter yang baik penting bagi manusia. Keluarga, khususnya orang tua, memegang peran utama dalam membentuk kepribadian anak. Namun, kontrol yang berlebihan dari orang tua dapat merugikan perkembangan anak. Konsep kontrol dalam pengasuhan dapat dipahami sebagai dorongan untuk keterlibatan positif atau sebagai pembatasan otonomi anak. Kontrol yang terlalu ketat dapat berdampak negatif, tetapi bimbingan orang tua tetap dibutuhkan. Globalisasi memperkenalkan anak-anak pada berbagai budaya dan nilai, yang kadang mengaburkan pemahaman mereka tentang konsekuensi tindakan. Hal ini bisa mendorong mereka mencari kemandirian dengan cara yang bertentangan dengan keinginan orang tua, termasuk perilaku berisiko.

 

Pembentukan identitas

Dalam era teknologi dan perubahan yang pesat, orang tua menghadapi tantangan besar dalam mendidik anak-anak. Perbedaan generasi, gaya hidup modern, dan kurangnya pengalaman bisa menjadi hambatan. Pendidikan anak-anak sangat penting untuk kesejahteraan mereka dan pembentukan karakter yang positif (Fitri et al., 2015). Orang tua memiliki peran kunci dalam membentuk perilaku dan dinamika keluarga (Hurlock, 1993). Penting bagi orang tua untuk memahami anak-anak, mendukung perkembangan bakat mereka, dan memberi mereka rasa kompetensi dalam pilihan mereka (Deci, 1975; Danner dan Lonky, 1981). Konsep determinasi diri menjelaskan betapa pentingnya anak merasa bebas dalam pilihan mereka. Teori Skinner (1969) dan Bandura (1977) menekankan peran lingkungan dan keyakinan diri dalam motivasi manusia, namun teori mereka mengabaikan adanya faktor lain yang juga ikut berperan seperti faktor-faktor biologis dalam motivasi manusia.

 

Toleransi, jika dibandingkan dengan diskriminasi, dapat berdampak psikologis yang signifikan, tergantung pada pemenuhan kebutuhan identitas sosial (Greenaway, Cruwys, Haslam, & Jetten, 2016). Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini bisa menyebabkan konflik identitas dan masalah kesejahteraan psikologis. Dalam teori Erikson, remaja menghadapi konflik identitas versus peran sosial yang berpengaruh besar pada perkembangan mereka. cenderung menggeneralisasi tentang konflik identitas pada tingkat tertentu. Teori ini terlalu generalisasi, tanpa melihat bahwa setiap individu adalah unik, dan pengalaman konflik identitas dapat sangat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya, tidak mempertimbangkan adanya keragaman individu karena masih ada faktor lainnya seperti faktor kognisi, budaya atau faktor dari individu itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh James Marcia bahwa individu berhak menentukan nilai-nilai dan tujuan yang sesuai dengan diri mereka dan merasa yakin dengan identitas mereka.

 

Kekuatan dalam Keragaman: Trend Stigmatisasi pada perkembangan anak

Teori pembelajaran sosial Bandura menekankan peran penting orang tua dalam membentuk perkembangan anak-anak (Bandura, 1977). Anak-anak cenderung menginternalisasi nilai dan keyakinan yang mereka pelajari dari orang tua, termasuk prasangka dan toleransi. Ini dipengaruhi oleh teori Attachment yang menekankan bahwa hubungan yang kuat antara anak dan orang tua memengaruhi perilaku anak (Bowlby, 1951; Bretherton, Golby, & Cho, 1997; Stayton, Hogan, & Ainsworth, 1971). Meskipun faktor-faktor lain, seperti genetik dan lingkungan sosial, memengaruhi perkembangan perilaku, pengaruh orang tua tetap signifikan. Dalam teori psikoanalisis, stigmatisasi dilihat sebagai hasil konflik kepribadian yang berasal dari pengalaman masa kanak-kanak, terutama interaksi dengan orang tua dan hukuman (Cheppy, 1958: 53; Wilder, dikutip dalam Cheppy, 1958). Stigmatisasi umumnya lebih berkaitan dengan aspek sosial dan budaya ketimbang dengan konflik internal dalam diri individu yang berasal dari pengalaman masa kanak-kanak. Stigmatisasi dapat muncul karena ketidaksetaraan sosial, stereotip, prasangka, diskriminasi, dan norma sosial yang tidak memadai, bukan hanya sebatas aspek-aspek konflik dalam pikiran individu tersebut.

 

Pengasuhan bertoleransi

Stigma pada anak-anak, seringkali muncul karena kurangnya pemahaman tentang toleransi terhadap perbedaan. Orang dewasa, termasuk orang tua dan pendidik, memiliki peran sentral dalam membentuk pandangan anak-anak terhadap keragaman (Muslich, 2013). Orang yang toleran adalah orang yang menghargai, berpikiran terbuka, dan bersahabat dengan semua jenis orang (Allport, 1954, h. 425). Berbeda dengan pemahaman klasik, ketidaksukaan atau ketidaksetujuan terhadap keyakinan dan praktik yang berbeda tidak dianggap sebagai bagian dari toleransi, melainkan sebaliknya Anak-anak memahami isu-isu moral melalui serangkaian proses yang berkembang seiring interaksi mereka dengan fenomena sosial dan lingkungan sekitar mereka dan internalisasi, dengan peran utama orang tua dalam mengajarkan nilainilai ini (Kohlberg, 1984; Piaget, 1932/1965).

 

Selain itu, teori Kohlberg (dalam Lickona, 1987) menggarisbawahi bahwa pemahaman moral anak-anak melibatkan penalaran moral yang berhubungan dengan norma sosial. Kritik yang muncul adalah bahwa teori Kohlberg terlalu fokus pada penalaran moral dan kurang memberikan perhatian pada perilaku moral yang sesungguhnya. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah seseorang yang memiliki penalaran moral yang tinggi juga selalu berperilaku secara moral. Faktor-faktor seperti usia, pendidikan, dan nilai-nilai orang tua dapat memengaruhi perkembangan moral anak (Kiare, 2015). Perkembangan anak dipengaruhi oleh strategi pengasuhan orang tua (Sangawi, Adams, & Reissland, 2015). Selain itu, empati juga memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai moral (Hoffman, 2000, 2014). Individu yang memiliki tingkat empati yang tinggi cenderung lebih peka terhadap pikiran, perasaan, dan pengalaman orang lain (Davis, 1983a, 1983b), dan empati memiliki korelasi positif dengan toleransi, sebagaimana ditemukan dalam studi Butrus dan Witenberg (2015).

 

Masukan Bagi Guru dan Orang tua

Mengajarkan toleransi pada anak merupakan tugas penting yang dimulai dari sikap orang tua dalam menghargai perbedaan (Pidarta, 2013). Rumah dan sekolah juga memainkan peran kunci dalam perkembangan toleransi anak terhadap perbedaan agama dan budaya (Sudarna, 2014). Orang tua memiliki peran kunci dalam membantu anak mengembangkan toleransi dengan meningkatkan empati (Borba, 2001), menciptakan rasa aman, memberikan penerimaan tanpa penghakiman, membangun rasa percaya diri (Santrock, 2007), mengajarkan keadilan, dan menggunakan narasi yang sesuai dengan usia anak (Santrock, 2011). Orang tua adalah model utama bagi anak, sehingga perilaku baik mereka dalam menunjukkan hormat, empati, dan kebaikan dapat membentuk sikap anak (Bandura, 1991). Selain itu, lingkungan sekitar anak juga memengaruhi perkembangan toleransi (Bronfenbrenner). Lingkungan positif mendukung anak untuk menjadi lebih berempati terhadap orang lain.

 

Di sekolah, penting memahami paradoks toleransi dan batasan keyakinan yang tidak dapat ditoleransi (Corneo & Jeanne, 2009). Sikap evaluatif anak dipengaruhi oleh nilai yang mereka pelajari (Hurlock, 1980). Pendidikan toleransi harus fokus pada nilai moral bersama sesuai usia siswa, mendukung pemikiran kritis, dan keterampilan menghadapi prasangka (Bronfenbrenner). Perhatikan perkembangan kognitif anak dan nilai-nilai moral universal seperti keadilan dan empati (Bandura, 1991; Santrock, 2007). Guru perlu pendekatan demokratis dengan mendengarkan, berdiskusi, dan menjaga tata krama. Memahami perbedaan dan perspektif anak membantu mereka membuat keputusan yang benar (Bandura, 1991). Kurikulum harus menekankan hubungan antara toleransi dan prinsip-prinsip moralitas seperti keadilan, empati, dan akal sehat, daripada hanya mengoreksi prasangka dan diskriminasi (Corneo & Jeanne, 2009).

 

Referensi:

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice-Hall.

Baron-Cohen, S., & Wheelwright, S. (2004). The empathy quotient: An investigation of adults with Asperger syndrome or high functioning autism, and normal sex differences. Journal of Autism and Developmental Disorders, 34(2), 163-175.

Bowlby, J. (1951). Maternal care and mental health: A report prepared on behalf of the World Health Organization as a contribution to the United Nations program for the welfare of homeless children.

Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by nature and design. Harvard University Press.

Corneo, G., & Jeanne, O. (2009). Social organization and redistributive politics. Journal of Public Economics, 93(3-4), 429-439.

Danner, F. W., & Lonky, E. (1981). Intensity of fear and shyness in children's social interactions. Journal of Personality and Social Psychology, 41(3), 610-618.

Deci, E. L. (1975). Intrinsic motivation. Plenum Press.

Fitri, D., Wardani, D. K., & Siagian, A. (2015). Pengaruh pendidikan karakter terhadap perkembangan karakter siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Karakter, 5(3), 263-271.

Greenaway, K. H., Cruwys, T., Haslam, S. A., & Jetten, J. (2016). Social identity, age, and the self-esteem and well-being of adolescents. Journal of Research on Adolescence, 26(6), 825-839.

Hurlock, E. B. (1993). Child development (5th ed.). Tata McGraw-Hill Education.

Jerome Kagan dalam Berns, R. M. (2007). Child, family, school, community: Socialization and support. Cengage Learning.

Kohlberg, L. (1984). The psychology of moral development: The nature and validity of moral stages (Vol. 2).

Harper & Row. Pidarta, M. (2013). Psikologi pendidikan anak. PT Raja Grafindo Persada.

Santrock, J. W. (2007). Life-span development. McGraw-Hill.

Viscardi, H. (1952). What the Victor Knows. National Federation of the Blind.