ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 19 Oktober 2023

 

Technostress: Bagaimana Teknologi Dapat Memengaruhi Kesehatan Mental?

 

Oleh:

Dina Syakina & Melani Aprianti

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Technostress

Technostress mengacu kepada tekanan yang dialami oleh individu yang diakibatkan oleh penggunaan teknologi (Tarafdar et al., 2014). Wang dan Li (2020) memandang technostress sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara kemampuan dan permintaan baik dari level organisasi dan individu, individu dan interaksinya dengan teknologi (Avanzi, et al., 2018). Teknologi secara drastis meningkat penggunaannya pada saat pandemic Covid-19, disaat semua aktivitas “dihentikan” mobilitasnya, sebagai konsekuensi pendidikan, masyarakat, ekonomi, otoritas publik dan aktivitas ekonomi dan sosial secara lebih luas beralih menggunakan vitual. Virtualisasi yang masif yang muncul selama periode ini memunculkan berbagai masalah psikososial yang mempengaruhi kesehatan pekerja, termasuk Technostress (Bahamondess-Romado et al., 2023). Berdasarkan beberapa pendapat technostress dapat dijelaskan dalam banyak lensa teori, diantaranya adaah Conservation of Resources (CoR Theory) yang dijelaskan oleh Hobfoll (2001) dan P-O Fit (Kristof, 1996). Berdasarkan teori Conservation of Resources, teknologi digambarkan sebagai salah satu hal eksternal yang mengancam saat menghadapi pandemic Covid-19 dimana tugas dan emosi individu mengaami influktuasi. Sedangkan Person-Organzation fit, memandang bahwa technostress sebagai ketidakmampuan atau ketidakseimbangan antara permintaan (tugas dan peran) dan kemampuan diri individu untuk menyesuaikan dirinya.

 

Bagaimana technostress berdampak kepada kesehatan mental?

Technostress dipandang sebagai konstruk yang multidimensional yang terdiri atas (1) ketidakseusiaan antara individu dengan organisasi (P-O fit), dimana dalam hal ini individu merasa tidak memiliki cukup kemampuan untuk memenuhi permintaan kebijakan organisasi dalam menggunakan teknologi saat bekerja (A-D) dan merasa bahwa kebutuhannya tidak dipenuhi oleh organisasi (N-S).; (2) ketidaksesuaian antara individu dengan teknologi (P-T fit); dimana dalam hal ini kemampuan individu menggunakan teknologi tidak mampu untuk menghadapi perubahan teknologi yang semakin berkembang (A-D) dan ketidakseimbangan ini juga dapat dipicu dari tidak tersedianya hal-hal penunjang yang terkait dengan penggunaan teknologi saat bekerja (N-S);  serta (3) ketidaksesuaian antara individu dengan individu lainnya (P-P fit), hal ini dimana pekerja merasa tidak memiliki cukup dukungan dari sesama rekan sejawat, seperti wadah untuk bertanya ketika mengalami kesulitan dalam mengguanakan teknologi saat pekerja (Penado Abilleira et al., 2020).  Berdasarkan dampak technostress beberapa riset yang dilakukan oleh Syakina et al., (2023) menyatakan bahwa pengajar (dosen dan guru) cenderung mengalami technostress di level sedang hingga tinggi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan antara kemampuan dan permintaan saat mengajar. Tak jauh berbeda hasil yang dilakukan oeh penelitian di bidang pendidikan menemukan bahwa murid sekolah juga mengalami stress secara akademik beragam pada level sedang hingga tinggi dalam menghadapi perubahan cara belajar secara virtual yang merujuk kepada rendahnya prestasi akademik (Aprianti et al., 2023).

 

Sementara itu, model technostress yang membedakan antara stresor dan strain dikembangkan oleh Tarafdar dan Gordon (2007). Model ini mengidentifikasi faktor:

 

1.   Techno-Invasion: Teknologi menginvasi dan memainkan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari pekerja.

2.   Sebagai konsekuensi pekerja berjuang untuk memisahkan kehidupan pribadi mereka dari pekerjaan mereka karena mereka selalu "terhubung." Ini mempengaruhi waktu luang dan privasi mereka.

3.   Techno-overload: Peningkatan informasi yang masuk memaksa pekerja untuk mempertahankan kecepatan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka sebaik dan secepat mungkin yang tidak masuk akal.

4.   Techno-Complexity: Teknologi bisa sulit digunakan. Pekerja merasa bahwa mereka tidak memiliki kemampuan yang memadai.

5.   Techno-Diecurity: Pekerja tidak merasa aman di dalam perusahaan mereka. Mereka percaya bahwa setiap gangguan yang muncul ketika bekerja dengan teknologi akan menyebabkan pemecatan mereka.

6.   Techno-Uncertainty: perubahan dan masifnya perkembangan teknologi memaksa pekerja untuk selalu belajar menggunakan teknologi sesering mungkin.

 

Mengenai technostress, techno-complexity, techno-invasion, dan techno-overload ditemukan sebagai faktor utama yang mampu menghasilkan respons psikologis negatif, dengan techno-overload beban memiliki pengaruh yang paling signifikan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya umpan balik baik dari sisi organisasi tentang alokasi beban kerja dalam pekerjaan yang dilakukan jarak jauh dan tidak adanya periode penyesuaian bagi karyawan untuk bekerja secara virtual. Ditelisik dari kompleksitas dalam penggunaan teknologi, pekerja rentan mengalami kesulitan dalam untuk memperoleh keterampilan teknis baru yang berkaitan. Teknologi. Lebih jauh, techno-invasion juga terbukti signifikan dalam memengaruhi tingkat stress hal tersebut dikarenakan ketika kegiatan terkait domestik menyusup ke lingkungan kerja dan sebaliknya (Bahamondes-Rosado et al., 2023).

 

Apa yang harus dilakukan?

Meskipun Technostress tidak secara eksklusif terkait dengan pekerjaan dan pembelajaran jarak jauh, namun penting untuk diketahui bagaimana pencegahannya dengan memadai karena dapat memiliki dampak berbahaya pada kesehatan mental, yang merujuk kepada serangkaian konsekuensi negatif yang dapat memicu patologi lainnya. Di level personal, penting bagi individu untuk tetap meningkatkan self-efficacy (Puspitaningrum & Udijati, 2021). Penggunaan teknologi sering dianggap merupakan hal yang sangat sulit, sehingga pekerja sering kali merasa “terancam” dalam menggunakan teknologi.  Kesulitan beradaptasi dengan perubahan metode bekerja kemungkinan mengalami burnout dan engagement dalam kualitas mengajarnya (Daumiller et al., 2013). Sehingga pihak organisasi tidak hanya cukup membuat sebuah program yang mindfull saja, tetapi lebih dari itu, organiasi harus mampu untuk merencanakan, mengontrol dan membatasi bagaimana beban pekerja, dan membuat regulasi terkait pekerjaan mereka.

 

Referensi:

 

Avanzi, L., Fraccaroli, F., Castelli, L., Marcionetti, J., Crescentini, A., Balducci, C., & van Dick, R. (2018). How to mobilize social support against workload and burnout: The role of organizational identification. Teaching and Teacher Education, 69, 154–167. https://doi.org/10.1016/j.tate.2017.10.001.

Bahamondes-Rosado ME, Cerdá-Suárez LM, Dodero Ortiz de Zevallos GF & Espinosa-Cristia JF (2023) Technostress at work during the COVID-19 lockdown phase (2020–2021): a systematic review of the literature. Frontiers Psychology. 14:1173425. doi: 10.3389/fpsyg.2023.1173425.

Daumiller, M., Rinas, R., Hein, J., Janke, S., Dickhäuser, O., & Dresel, M. (2021). Shifting from face-to-face to online teaching during COVID-19: The role of university faculty achievement goals for attitudes towards this sudden change, and their relevance for burnout/engagement and student evaluations of teaching quality. Computers in Human Behavior, 118. https://doi.org/10.1016/j.chb. 2020.106677.

Hobfoll, S.E. (2001), The influence of culture, community, and the nested-self in the stress process: advancing conservation of resources theory. Applied Psychology, 50: 337-421. https://doi.org/10.1111/1464-0597.00062.

Hofer, S. I., Nistor, N., & Scheibenzuber, C. (2021). Online teaching and learning in higher education: Lessons learned in crisis situations. Computers in Human Behavior, 121. https://doi.org/10.1016/j.chb.2021.106789.

Kristof, A.L. (1996). Person-organization fit: an integrative review of its conceptualizations, measurement, and implications. Personnel Psychology, 49: 1-49. https://doi.org/10.1111/j.1744-6570.1996.tb01790.x.

Melani, A., Syakina, D., Hastyanadi, F.C., & Puspitasari, V. (2023). The effect of students’ resiliency, self-efficacy toward academic stress during the transition of online to offline learning. Unpublished Manuscript

Penado Abilleira, M., Rodicio-García, M. L., Ríosde-Deus, M. P., & Mosquera-González, M. J. (2020). Technostress in Spanish University Students: Validation of a Measurement Scale. Frontiers in Psychology, 11. https://doi.org/ 10.3389/fpsyg.2020.582317.

Puspitaningrum, N.P.P., & Pudjiati, S.R.R. (2021). Peran resource dan vulnerability index of resilience terhadap distres psikologis remaja saat pandemi Covid-19 . Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 9(2),156–163.

Syakina. D., Rahma, A., & Rizal, M. (2023). The role of technostress on educators' work performance at universities in the special capital region of Jakarta. Psikodimensia: Kajian Ilmiah Psikologi, 22(1) 1-12. doi : 10.24167/psidim.v22i1.4935

Tarafdar, M., & Gordon, S. R. (2007). Understanding the influence of information systems competencies on process innovation: A resource-based view. Journal Strategic Information System. 16, 353–392. doi: 10.2753/MIS0742-1222240109.

Tarafdar, M., Bolman Pullins, E., & Ragu-Nathan, T. S. (2014). Examining impacts of technostress on the professional salesperson’s behavioural performance. Journal Personal Selling and Sales Management. 34, 51–69. doi: 10.1080/08853134.2013.870184.

Wang, X., & Li, B. (2019). Technostress among teachers in higher education: An investigation from multidimensional person-environment misfit. Frontiers in Psychology, 10(JULY). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01791.