ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 18 September 2023
Janda yang Survive
Oleh:
Lenny Utama Afriyenti, Tugimin Supriyadi, Mega Widyastuti
Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya atau menjadi janda akibat perceraian adalah sebuah episode pahit yang harus dijalani pada hidup seorang wanita dalam sebuah pernikahan yang sakral. Data dari Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2023 mencatat terdapat 516.334 kasus perceraian di Indonesia, jumlah ini meningkat 15,31% dibanding tahun 2022 lalu. Belum lagi menjanda karena dipisahkan oleh kematian. Ditinggal suami dan menjadi orang tua tunggal bukanlah hal yang mudah. Beberapa riset mengenai status sosial, artikel tentang bagaimana dampaknya setelah menjanda, dan strategi apa yang akan digunakan seorang janda untuk menghidupi dirinya cukup banyak ditemukan di mesin pencari google. Sebut saja misal pasca bercerai, menurut Mitchel, 1996 dalam (Cahyani & Dwiyanti, 2021) seorang wanita yang menyandang status janda pasca peristiwa yang tidak mengenakkan terjadi dalam hidupnya, mungkin akan merasakan kegetiran seperti kesedihan, kemarahan, kehilangan, penyesalan serta merasakan perasaan buruk lain. Belum lagi stigma masyarakat terhadap janda yang dianggap sebagai sebuah aib.
Pepatah Denmark mengatakan bahwa anak-anak yang bahagia dilahirkan dari orang tua yang bahagia, namun apa jadinya apabila keluarga mereka timpang, terjadi perceraian atau terpisah karena kematian. Berat yang akan dipikul oleh seorang janda akan bertambah, dimana ia perlu menanggung rasa sakit karena berpisah serta kewajiban harus menafkahi anak (apabila memiliki anak dengan kondisi ditinggal mati oleh suami), kemudian menjadi single parent, sementara kehidupan harus terus berjalan.
Seorang janda perlu tangguh, survive dan aman secara psikologis untuk menjalani hidup. (Zotova & Karapetyan, 2018) menyatakan bahwa keamanan psikologis merupakan sebuah keadaan individu ketika seseorang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk mempertahankan diri dan merasakan keterlindungan (psikologis) dirinya sendiri mencakup konstruksi konatif, kognitif, dan emosional. Keamanan secara psikologis dapat digambarkan sebagai keadaan kedamaian batin, kepercayaan diri, sikap positif, kepercayaan, kesejahteraan subjektif, keterbukaan, dan relaksasi dalam hidup.
Dalam pandangan psychological security, ada beberapa pondasi yang harus dikuatkan oleh seorang janda agar ia tetap survive dalam kehidupan ini, diantaranya;
1. Material wellbeing
Material wellbeing didefinisikan dalam istilah kepuasan terhadap berbagai permasalahan ekonomi seperti penanganan perekonomian oleh pemerintah, pajak, biaya kebutuhan dasar, pendapatan rumah tangga, gaji dan tunjangan dari pekerjaan, keamanan finansial, standar hidup, dan kesepakatan dalam keluarga. mengenai bagaimana uang harus dibelanjakan (Sirgy, 2018). Artinya, seorang janda perlu dapat memenuhi kebutuhan dasar berupa materi untuk bertahan dan menghidupi anak-anak mereka. Ia harus mencari akal bagaimana mendapatkan hal tersebut, sehingga wanita perlu memiliki keahlian tertentu agar menghasilkan uang/materi yang baik dan layak.
2. Health
Kesehatan merupakan kondisi internal yang hanya dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Kesehatan yang dimaksud tidak hanya sehat secara fisik saja, melainkan juga mental yang sehat. Dalam hal ini kondisi kesehatan seseorang dapat mengindikasi sejauh mana seseorang mencapai taraf kesejahteraan dalam hidup. (Zotova & Karapetyan, 2018). Janda perlu tetap sehat agar ia bisa mengemudikan kapal yang bernama rumah tangga tetap stabil sehingga dirasa perlu melakukan aktifitas yang menyehatkan secara fisik maupun mental. Self care adalah kuncinya.
3. Security
Keamanan psikologis adalah keadaan seseorang ketika dia dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk mempertahankan diri dan merasakan perlindungan (psikologis) dirinya sendiri dalam masyarakat (Zotova & Karapetyan, 2018). Selain menguatkan pondasi keamanan psikologis, seorang janda juga harus memahami tentang pentingnya kesejahteraan psikologis agar ia dapat merasakan keberartian dalam hidup. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang disampaikan oleh Victor Frankl bahwa hidup butuh makna, apapun keadaan individunya.
Psychological Well-being didefinisikan sebagai kondisi ketika seseorang sudah merasa cukup akan hidupnya dan keberadaannya memiliki arti didunia ini. Seseorang yang sejahtera psikologisnya tidak lagi mempertanyakan tentang kelebihan dan kekurangan diri, tujuan hidup, dan kepada siapa dirinya akan menggantungkan hidupnya. Selain itu, seseorang yang sejahtera psikologisnya memiliki kemampuan untuk membangun hubungan yang positif dengan lingkungannya dan terus mengembangkan diri untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
Psychologycal security dan psychological well-being merupakan dua hal yang akan memperkuat pertahanan diri pada seorang janda. Ketika seorang janda sudah memiliki pondasi yang kuat pada keduanya, maka ia akan mampu survive dalam kondisi sedih, getir, marah, kehilangan, dan masalah pasca perceraian lainnya. Selain itu, ia juga tidak lagi merasa tertekan dengan stigma masyarakat yang melabelinya sebagai aib karena ia paham akan potensi dirinya, terus mengembangkan diri untuk menjadi pribadi yang positif dan menemukan makna hidup.
Tulisan ini ditulis agar masyarakat bisa menjadi lebih bijak dalam memandang status seorang wanita yang menjadi janda. Tidak ada yang menginginkan kegagalan dalam pernikahan ataupun ditinggal karena kematian. Diperlukan empati. Jika tak mampu menolong, tidak perlu menambahkan derita mereka. Bisa jadi kita tidak lebih kuat dari seorang janda.
Referensi:
Cahyani, A. I., & Dwiyanti, R. (2021). Psychlogical Well- Being pada Janda Dewasa Awal karena Perceraian. Psimphoni, 2(1), 53–58. https://doi.org/10.30595/psimphoni.v1i2.8135
Sirgy, M. J. (2018). The Psychology of Material Well-Being. Applied Research in Quality of Life, 13(2), 273–301. https://doi.org/10.1007/s11482-017-9590-z
Zotova, O. Y., & Karapetyan, L. V. (2018). Psychological Security as The Foundation of Personal Psychological Wellbeing (analytical review). Psychology in Russia: State of the Art, 11(2), 100–113. https://doi.org/10.11621/pir.2018.0208