ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 18 September 2023

 

PERFORMANCE EVALUATION:

Benarkah Objektif dan Terukur?

 

Oleh:

Arni Arivia, Carolina Margaretha, & Reininda Anugrah Hayati

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Performance evaluation atau performance appraisal dikenal sebagai sistem formal yang dilakukan perusahaan untuk menilai individu atau tim (Priyanka & Singh, 2016). Penjelasan ini dilengkapi oleh Dijk & Schodl (2015) yang menyebut performance appraisal merupakan metode atau proses yang digunakan organisasi untuk menilai kinerja karyawan dan memberikan feedback kepada karyawan. Dengan kata lain, tujuan dari performance appraisal adalah untuk mengetahui apakah karyawan sudah mencapai target kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya, mengetahui kualitas pekerjaannya dan bagaimana karyawan berkontribusi terhadap tujuan organisasi sehingga dalam performance appraisal harus memiliki indikator-indikator yang dapat diukur atau dinilai oleh pemberi nilai (rater). Dengan demikian, performance appraisal harus dilakukan dengan objektif dan terukur.

 

Pada kenyataannya, seringkali rater tidak dapat bersikap objektif dalam memberikan penilaian terhadap kinerja karyawan. Hal ini disebabkan adanya bias-bias yang membentuk seseorang, mulai dari pola pikir maupun cara pengambilan keputusan. Dalam dunia psikologi, hal ini dikenal sebagai unconscious bias. Lebih jauh dijelaskan oleh Panggabean (2023), unconscious bias atau implicit bias diartikan sebagai sebuah prasangka atau anggapan tanpa dasar yang berpihak pada satu individu maupun kelompok. Pembentukan unconscious bias di dalam diri seseorang terjadi begitu saja tanpa disadari. Hal ini disebabkan adanya paparan informasi dari dunia di sekitar individu, mulai dari pengaruh latar belakang nilai, tradisi, kepercayaan, lingkungan budaya, dan faktor lainnya. Informasi-informasi tersebut kemudian dikelompokkan oleh otak manusia dalam berbagai kategori, mulai dari baik atau buruk, sesuai norma atau tidak, serta berbahaya atau tidak. Unconscious bias biasanya ditampilkan dan ditujukan pada kelompok minoritas berdasarkan jenis kelamin, orientasi seksual, ras, etnis, suku bangsa, agama, usia, dan lain sebagainya (Panggabean, 2023).

 

Dalam dunia pekerjaan, ketidakmampuan rater dalam mengelola bias yang melatarbelakangi dirinya akan menimbulkan dampak signifikan terhadap penilaian kinerja karyawan. Hal ini dapat menimbulkan indikasi bahwa karyawan tersebut tidak dapat mencapai penilaian terbaik atau justru mencapai penilaian terbaik namun tidak didasari bukti yang nyata. Rater bias juga dapat memicu terjadinya Affect Infusion Model yang mana rater menggunakan perasaannya saat itu dalam memberikan performance appraisal kepada karyawan (Forgas & George, dalam Levy & Williams, 2004). Forgas & George (dalam Levy & Williams, 2004) memberikan contoh yang mana ketika rater dalam mood yang baik, maka mereka cenderung mengingat informasi yang positif terhadap karyawan dan akan memberikan penilaian yang positif terhadap karyawan yang tersebut. Penilaian yang didasari pada emosi, sering kali menghasilkan pengambilan keputusan yang kurang tepat serta cenderung tidak objektif atau netral yang kemudian berdampak pada karyawan maupun perusahaan (Lidwina & Murniati, 2019). Rater bias juga dapat terjadi apabila rater dan karyawan yang memiliki hubungan baik. Golman dan Bhatia (2012) menyampaikan dalam penelitiannya bahwa semakin baik hubungan rater dengan karyawan, maka penilaian kinerja yang dilakukan akan semakin subyektif dan menimbulkan bias dalam evaluasi kinerja. Hal ini disebabkan karena hubungan antara rater dengan yang dinilai menjadi ikut terganggu, sehingga mendorong terjadinya penilaian yang subjektif dalam performance appraisal. Permasalahan rater bias di Indonesia ditemukan oleh Tranggono, Susantyo, dan Kismoni (2002) pada salah satu Bank di Surakarta yang mana subjektivitas dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi, catatan kinerja yang dimiliki rater, pelatihan mengenai proses penilaian kerja yang diikuti rater, dan tingkat pemahaman yang bervariasi dari aspek-aspek penilaian yang dinilai oleh rater.

 

Faktor lain yang ditemukan dalam dunia pekerjaan adalah adanya gender bias atau bias yang didasari pada jenis kelamin. Varma & Stroh (2001) menyebutkan bahwa pemimpin yang memiliki gender yang sama dengan karyawan akan lebih rentan terhadap bias. Dilengkapi oleh Furnham & Stringfield (2001), manajer wanita dan pria memiliki perbedaan dalam melakukan performance appraisal terhadap para karyawan. Mereka menemukan bahwa manajer wanita, dibandingkan dengan manajer pria, menilai karyawan pria lebih rendah daripada karyawan wanita. Permasalahan gender bias juga ditemukan oleh Correll dan Simard (2016) pada pekerja di Stanford yang mana dalam melakukan performance appraisal, karyawan wanita menerima umpan balik yang lebih samar daripada pria. Penilaian kinerja karyawan wanita diberikan berdasarkan pujian atas kelebihannya sebagai seorang wanita selama bekerja, sedangkan karyawan pria mendapatkan penilaian kinerja berupa umpan balik berdasarkan keterampilan teknis dan hasil yang diberikan.

 

Sejauh ini, penulis belum menemukan hasil penelitian yang menyatakan permasalahan gender bias dalam melakukan performance appraisal di Indonesia. Namun demikian, penulis memperoleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lidwina dan Murniati (2019) pada sebuah perusahaan manufaktur di Semarang bahwa bias terjadi karena adanya sikap favoritism dari rater sehingga data yang diperoleh tidak menjadi acuan yang objektif dalam melakukan performance appraisal karyawan. Kesimpulan lain dari penelitian ini adalah semakin baik hubungan yang terjalin antara manajer dengan karyawan, maka performance appraisal karyawan tersebut akan semakin subjektif dan menimbulkan bias dalam melakukan evaluasi kerja.

 

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis memahami bahwa performance appraisal tidak dapat dilakukan secara objektif dan sempurna karena adanya bias-bias yang sudah terbentuk dengan sendirinya di dalam diri seseorang. Unconscious bias membentuk dan mempengaruhi manusia, dengan kata lain manusia tidak dapat menghindari hal tersebut. Pada dasarnya hal ini tidak dapat disalahkan atau dinilai sebagai indikasi terbesar yang menyumbang nilai terbesar dalam gagalnya sistem performance appraisal yang objektif. Jika dilihat lebih jauh, unconscious bias terjadi karena adanya pengkategorian di dalam diri seseorang. Di konteks dunia kerja, bias menyebabkan seseorang membuat keputusan yang memihak kepada satu kelompok dan merugikan kelompok lain (McCormick, 2016). Mengingat kerugian yang dapat diperoleh oleh karyawan dengan adanya penilaian subjektif ini, diperlukan gagasan-gagasan yang dapat meminimalisir hal tersebut.

 

Cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir penilaian kinerja yang subyektif adalah dengan menggunakan prinsip fairness (keadilan) dan transparan saat melakukan performance appraisal serta adanya dukungan dokumentasi tertulis yang dapat membuktikan kinerja nyata dari karyawan. Salah satu metode dokumentasi tertulis yang dapat meningkatkan objektivitas dalam performance appraisal karyawan adalah dengan metode penilaian 360. Penilaian 360 melibatkan penilaian yang diberikan oleh pimpinan, bawahan, rekan kerja, bahkan konsumen untuk memberikan penilaian terhadap karyawan (Fauziah, 2020). Hal tersebut dilakukan agar penilaian yang diberikan tidak hanya berdasarkan satu sudut pandang namun juga melibatkan pandangan lain yang memberikan gambaran lebih luas terkait kinerja karyawan yang bersangkutan. Dampak positif yang diberikan dari penilaian 360 adalah meningkatkan kesadaran terhadap kelebihan atau kekurangan dari karyawan yang menerima feedback, mendukung pencapaian organisasi, dan pengembangan keterampilan dari karyawan (Atwater & Brett, 2005).

 

Mengacu pada hal tersebut, performance evaluation atau performance appraisal tetap bisa dilakukan dengan mempertahankan esensinya untuk dilakukan secara objektif dan terukur. Untuk memaksimalkan hal ini, penilaian yang dilakukan oleh pimpinan, bawahan, rekan kerja, bahkan konsumen dapat dibuat secara anonim dengan merahasiakan identitas rater sehingga karyawan dapat memperoleh keadilan dari penilaian kinerja mereka serta mengetahui kontribusi apa yang telah dilakukannya untuk perusahaan secara lebih transparan dan jelas.

 

Referensi:

 

Atwater, L., & Brett, J. (2005). Antecedents and consequences of reaction to

developmental 360 degree feedback. Journal of Vocational Behavior, 66, 532 - 548.

Correll, S.J., & Simard, C. (2016). Research: Vague Feedback Is Holding Women Back. Harvard Business Review. Retrieved from https://hbr.org/2016/04/research-vague-feedback-is-holding-women-back

Dijk, D.V., & Schodl, M.M. (2015). International encyclopedia of the social & behavioral

sciences (2nd ed.). Elseiver.

Fauziah, S. (2020). Analisis objektivitas metode 360 derajat sebagai penilaian terhadap kinerja karyawan berdasarkan kompetensi dalam perspektif ekonomi islam: Studi pada karyawan BPRS Kotabumi KC Bandar Lampung. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Furnham, A., & Stringfield, P. (2001). Gender differences in rating reports: Female managers are harsher raters, particularly of males. Journal of Managerial Psychology, 16(4). 281-288.

Golman, R., & Bhatia, S. (2012). Performance evaluation inflation and compression.

Accounting, Organizations, and Society, 37, 534-543.

Levy, P.E., & Williams, JR. (2004). The social context of performance appraisal: A

review and framework for the future. Journal of Management, 30(6), 881-905.

Lidwina, M.S., & Murniati, MP. (2019). Faktor penentu dan efek bias evaluasi kinerja di

Indonesia. Jurnal Akuntansi Bisnis, 17(2), 150-171.

McCormick, H. (2016). The real effects of unconscious bias in the workplace. North Carolina: UNC Executive Development.

Panggabean, H. (2023). Unconscious Bias. [PowerPoint Slides]. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Priyanka, P., & Singh, P. (2016). Training and performance appraisal practices of state

bank of India with special reference to varanasi. IJMBS, 6(3), 44-50.

Tranggono, B., Siswanto, S., & Kismono, G. (2002). Bias penilaian dalam proses penilaian  kinerja pegawai: studi pada sebuah bank swasta nasional di Surakarta. Thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Retrieved from: http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/9674.

Varma, A., & Stroh, L. K. (2001). The impact of same-sex LMX dyads on performance evaluations. Human Resource Management, 40(4), 309-320.