ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 17 September 2023

 

Psikologi Bukan (Hanya) Untuk Anda Tetapi Tentang Kita:

Membangun Pengetahuan Psikologi Bangsa

(Kajian Atas Pemikiran Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso)

 

Oleh:

Nani Nurrachman

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

*Naskah ini dipaparkan pada Seminar Nasional Psikologi Melintas Masa: Menelusuri Pemikiran Pendiri Pendidikan Psikologi di Indonesia Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso. Diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan, 28 Maret 2019.

 

Tulisan ini utamanya menyoroti pemikiran Slamet Iman Santoso (SIS) yang tertuang sebagai salah satu bab dalam buku yang berjudul “Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan, pokok pemikiran Prof. R. Slamet Iman Santoso” (1979). Judul bab tersebut adalah “Fungsi Bahasa, Matematika dan Logika untuk Ketahanan Indonesia dalam Abad XX di Jalan Raya Bangsa-bangsa” (1979, hal 253-270). Bab ini dipilih karena beberapa alasan yang sangat relevan dengan kedudukan Indonesia yang strategis diantara dua benua daratan dan dua samudera. Kondisi demikian secara tidak langsung memiliki imbas terhadap kondisi psikologis bangsa Indonesia serta psikologi sebagai ilmu itu sendiri. Secara khusus tulisan akan membahas pentingnya bahasa dan logika terhadap pembelajaran dan penerapan psikologi di Indonesia. Bahasa dan logika sangat erat kaitannya dengan bagaimana psikologi yang lahir dan berkembang berdasarkan sejarah masyarakat dan peradaban dunia Barat diajarkan dan diterapkan pada masyarakat Indonesia (=dunia Timur) yang memiliki sejarah dan tingkat peradaban yang berbeda. Bagaimanapun juga kaitan antara pemikiran dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari terwujud dalam berbagai bentuk  perilaku manusianya. Secara khusus SIS menyebut adanya tiga fungsi dari bahasa. Pertama sebagai sarana percakapan sehari-hari; kedua, untuk kehidupan seni yang menggunakan bahasa dalam berbagai bentuk seperti puisi, prosa dan retorika serta ketiga sebagai sarana untuk mendapatkan tingkat pengertian yang jelas dan tepat serta dapat diuji benar salahnya. Fungsi terakhir ini merupakan gambaran penggunaan bahasa dalam dunia ilmu pengetahuan (1979, hal 255). Secara khusus penggunaan ini dapat dirasakan ketika sebagai akademisi perlu membuat berbagai pemikiran konseptual yang dapat diverifikasi dan diuji benar salahnya.

 

Terkait bahasa dan logika ini ada dua isu relevan yang akan dibahas di sini. Pertama perbedaan pola komunikasi antara orang Barat penutur bahasa Inggris dengan orang Indonesia. Kedua, adalah pengaruh budaya Barat dan Timur (= Indonesia)  terhadap pola pikir yang bagi akademisi terwujud dalam berbagai bentuk publikasi.Sekalipun dalam era globalisasi sekarang ini batas-batas dunia teruntuhkan namun pada lapisan bawah sadar perbedaan budaya masih memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan perilaku manusia, termasuk cara berbahasa. Untuk pembahasan perbedaan budaya dalam berbahasa yang kemudian terwujud dalam bentuk perilaku tulisan ini memakai pandangan Ujan (dkk, 2011) yang menyadur pengertian budaya dari dua tokoh, Hofstede dan Hall. Yang pertama melihat budaya sebagai proses pemrograman mental secara kolektif oleh kelompok yang membedakannya dengan kelompok lain yang berbeda. Yang kedua memandang budaya sebagai suatu sistem memproses, mengonstruksi, menyimpan serta mengirimkan informasi. Dari pemahaman ini jelaslah bahwa bahasa mempunyai peran yang penting dalam membentuk dunia realitas manusia. Menurut Gadamer sebagaimana dikutip oleh Poespoprodjo (1987) bahasa merupakan realitas yang tidak dapat dipisahkan dari apa yang dialami, apa yang dipahami dan apa yang dipikirkan manusia. Secara konkrit eksperensial hal ini dapat diartikan bagaimana ilmu psikologi yang selama ini diajarkan dan dipahami melalui buku-buku teks berbahasa Inggris ditanggap, dipahami untuk diaplikasikan oleh akademisi Indonesia kepada masyarakat Indonesia yang memiliki budaya yang berbeda dari budaya asal ilmu psikologi itu sendiri.

 

Dalam konteks isu pertama yang menyangkut pengaruh bahasa terhadap pola komunikasi dapat dibedakan antara high-context culture dengan low-context culture. Pola komunikasi pada low-context culture ditandai oleh ciri-ciri pesan verbal yang lugas, terbuka, langsung(straight to the point) dan berterus terang. Berbagai ciri ini dapat kita rasakan jika berkomunikasi dengan orang Barat/penutur bahasa Inggris. Sedangkan pola komunikasi pada high-context culture dapat dijumpai ciri-ciri pemakaian komunikasi non-verbal, bahasa simbolik dengan pesan yang memiliki arti secara implisit (Hall, 1990; Hall dalam Santoso, 2017).  Di sini jelas terlihat hubungan antara pemikiran dengan bahasa yang terkait dengan fakta realitas yang ada.. Bentuk bahasa (Inggris) dengan pola komunikasi pada  low-context culture dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut sebagai propositional language oleh SIS. Di lain pihak, bentuk bahasa (Indonesia) dengan pola komunikasi high-context culture dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut sebagai descriptive language. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya berkembang dari tradisi lisan yang kaya; siapa tak ingat akan pantun, gurindam, puisi dan lain sejenisnya yang banyak dijumpai dan masih hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi budayanya ? Jika ditelusuri lebih jauh pengaruh budaya terhadap bahasa dalam pola komunikasi dapat ditengarai kecenderungan perbedaannya sebagai berikut:

 

Tabel 1. Kecenderungan ciri-ciri bahasa descriptive dan propositional

Apa yang diuraikan di atas lebih menggambarkan dinamika komunikasi dalam interaksi sosial kehidupan keseharian masyarakat. Lalu bagaimana gambaran ini dapat diletakkan dalam konteks berpikir dan berkomunikasi dalam dunia akademis ? Bagaimana hubungan bahasa dengan logika terkait dengan descriptive dan propositional language?

 

Menurut SIS, khususnya dalam konteks pendidikan tinggi perlu dilatih descriptive dan propositional language dalam rangka tujuan pengembangan pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science) yang memenuhi tata-bahasa dan logika. Menurut SIS selanjutnya bahasa Inggris perlu diperdalam sebab ilmu pengetahuan memang menuntut bahasa descriptive dan propositional yang eksak (1979, hal 256). Jika pemikiran SIS kita ikuti maka yang diharapkan adalah adanya perpaduan yang selaras antara kedua macam bahasa tersebut. Oleh karena itu pelajaran bahasa menjadi sangat penting guna menuju ke arah pengetahuan dan ilmun pengetahuan. Hal ini supaya setiap keputusan yang dinyatakan melalui bahasa dapat diuji benar atau salahnya. Jika kedua bahasa ini dapat dipadukan pengajarannya maka cara berpikir dapat menjadi “tegas, singkat dan jelas” sehingga pemikiran yang melandasainya dapat diuji benar salahnya.Selanjutnya bila pemikiran sudah jelas, tegas dan benar maka langkah selanjutnya adalah mengeja-wantahkannya secara material dan praktis. (hal 258-259).

 

Ditinjau dari sejarahnya logika lebih dikaitkan dengan filsafat. Umum lebih mengetahui bahwa Aristoteles (384-322 SM), filosof Yunani, adalah orang pertama yang menulis tentang logika secara sistematis. Mengutip Seran dan Wijaya (2011, hal 1), logika dapat dibahas menurut dua cara. Pertama, membahas logika sebagai ilmu dan yang kedua membahas logika sebagai keterampilan. Sebagai keterampilan, logika bersibuk diri dengan menerapkan asas-asas pemikiran agar bernalar dengan tepat, teliti dan teratur. Dalam hal ini jelas ada hubungan antara bahasa dengan logika di mana keduanya bertumpu pada proses berpikir.Selanjutnya Seran dan Wijaya menggambarkan bahwa berpikir-pun ada yang bersifat spontan yang biasa dilakukan sehari-hari ketika manusia melakukan interaksi sosial. Namun ada proses berpikir yang bila dicermati secara sungguh-sungguh merupakan kegiatan yang cukup sukar. Dalam bernalar bisa saja ditemui sejumlah kejanggalan, tidak adanya koherensi antar pernyataan, logika yang ‘melompat’ sehingga tidak ‘nyambung’. Oleh karena itu dalam kegiatan berpikir ada tuntutan untuk melakukan pengamatan yang teliti dan tajam untuk melihat ada tidaknya kekeliruan ataupun inkoherensi yang terselubung. Agar keterampilan berpikir sesuai dengan prinsip pemikiran yang benar maka diperlukan latihan yang terus menerus sehingga terbentuk suatu kebiasaan pola pikir. Bukankah penggambaran yang terakhir ini identik dengan kegiatan berpikir sebagai akademisi? Dari sinilah kemudian berkembang pemikiran yang melandasi kegiatan ilmiah dan menjadi ciri cara berpikir saintifik.Sehubungan dengan ini SIS mengatakan “...dalam rangka logika maka hanya propositional language-lah yang diteliti sebab ciri khas dari propositional language adalah benar atau salah” (SIS 1979, 256).

 

Dalam kenyataannya apa yang dipikirkan oleh SIS serta dinyatakan oleh Seran dan Widjaya di atas tidaklah  mudah untuk dilakukan. Hal ini ditambah kenyataan akan perbedaan pola komunikasi antara budaya Barat dengan budaya Timur (=Indonesia)  yang akan sulit dapat disadari secara tajam oleh individu sehingga ia paham apa yang disampaikannya dalam proses komunikasi yang terjadi. Jelas individu perlu memiliki pemikiran kritis, mampu berpikir dari berbagai perspektif (terutama  perspektif berpikir Barat dan Indonesia). Artinya sebagai akademisi, khususnya yang berkecimpung dalam bidang psikologi, dituntut keterampilan untuk bisa mengalihkan cara berpikir yang cenderung memakai descriptive language saja kepada cara berpikir dengan menggunakan baik descriptive language maupun propositional language secara proporsional sesuai dengan kebutuhan kegiatan ilmiah yang dilakukan. Hal ini bisa relatif menjadi lebih kompleks bila akademisi yang bersangkutan masih menguasai bahasa ibu (=daerah) dengan baik. Cara berpikir dengan menggunakan dua pola bahasa ini bisa memperkaya wawasan namun tidak berarti tanpa kelemahan yang cukup berarti bila harus dituangkan dalam bentuk tulisan sebagai suatu karya ilmiah, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris.

 

Bila dikaitkan dengan uraian di atas apa yang dikatakan oleh Alatas (1977) sebagai the captive mind yang menurutnya banyak dihinggapi oleh akademisi non-Barat kiranya patut disimak secara kritis. Dari sekian banyak ciri captive mind yang diuraikan Alatas  terdapat lima ciri yang patut menjadi perhatian bersama para akademisi psikologi di Indonesia, yakni:

 

1)    A captive mind is the product of higher institutions of learning, either at home or abroad, whose way of thinking is dominated by Western thought in a imitative and uncritical manner

2)    A captive mind is uncreative and incapable of raising original problems

3)    It is incapable of separating the particular from the universal in science and thereby properly adapting the universally valid corpus of scientific knowledge to the particular local situations

4)    It is alienated from its own tradition, if it exists,in the field of its intellectual pursuit

5)    It is unconscious of its own captivity and the conditioning factors making it what it is

 

Pasangan captive mind (=cara berpikir) adalah the captor mind (=orang yang memiliki pikiran yang bersifat captive) yang disebut ole Alatas sebagai “...is the Western scholar or his Asian disciple who imparts knowledge through books or lectures in a manner which does not promote consciousness of the fundamentals of scientific thinking and reasoning. The main characteristics of the captor mind are that its presentation of the sciences is not contextual, is not philosophical, is not realtional and is not intercultural” (1977).

 

Bila diletakkan dalam konteks pembelajaran psikologi misalnya, demikian Alatas mencontohkan, pengampu tidak menggunakan contoh kasus dari budaya non-Barat meski contoh ini relevan dengan topik pembahasan. Pengampu cenderung tidak memiliki ketertarikan pada dasar-dasar filosofis dari psikologi yang akan membuat mahasiswa lebih menghargai bias-bias budaya dalam psikologi. Ia kurang memiliki kesadaran tentang masalah sosial masyarakatnya yang non-Barat meski materi perbandingannya yang dapat ditampilkan relatif sedikit. Menurut Alatas bila seseorang berfungsi sebagai the captor mind maka sekaligus pada saat yang sama menjadi captive mind. Contohnya adalah jika seseorang mengajar teori-teori politik Barat tetapi tidak mengajarkan pandangan politik dari tokoh-tokoh non-Barat. Relevansi dari pemikiran Alatas ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan : seberapa jauh kita sudah mengetahui, mempelajari dan berusaha memahami pandangan tokoh-tokoh lokal  tentang psyche individu dan kelompok masyarakat Indonesia yang beraneka ragam hingga saat ini?



Bagi orang yang memiliki kepekaan sosial, ketajaman pengamatan serta kemampuan berpikir reflektif terhadap proses meng-alam-i paparan berbagai budaya yang berbeda, kesadaran akan perbedaan bahasa dan pola pikir ini dapat terlatih dan dikembangkan. Namun dalam proses penulisan suatu karya ilmiah, proses demikian bukanlah sesuatu yang mudah disadari dan diterapkan. Dalam hal ini Ballard dan Clancy (1984) telah membuat suatu bagan yang secara jelas menempatkan faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan antara pendekatan Barat – Timur yang dapat ditengarai dalam cara pikir yang dituangkan dalam bentuk tulisan oleh maha/siswa Asia sebagaimana dapat dilihat dalam bagan berikut ini. 


Gambar 1.  Diadpatasi dari Ballard and Clancy (1984)“ Study Abroad: A Manual for Asian Students”, Kualalumpur: Longman Malaysia Sdn. Bhd.

 

Bagan ini kiranya dapat dipakai sebagai panduan praktis ketika membuat atau memeriksa tulisan suatu karya ilmiah, khususnya jika ingin dipublikasikan dalam jurnal ataupun dituangkan dalam bentuk buku.

 

Berdasarkan tinjuan singkat ini terhadap pemikiran SIS khususnya menyangkut bahasa dan logika yang kemudian diletakkan dan dianalisis dalam konteks budaya Barat-Timur (=Indonesia) dapat dikatakan seorang akademisi maupun praktisi psikologi perlu mempunyai kemampuan menyusun descriptive and propositional language dengan baik. Oleh karena dari sini pulalah akademisi dan praktisi psikologi tersebut dapat dinilai kemampuan pemikiran dalam lapangan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Sebab jika tidak demikian bagaimana ia dapat membangun pengetahuan psikologi bangsanya secara tepat tanpa menjadi captor mind yang memiliki captive mind ? Alhasil dengan bertitik tolak dari pemikiran SIS tentang bahasa dan logika yang dipahami relevansinya dalam pembelajaran dan penerapan psikologi (di) Indonesia sebenarnya ada nilai tambah yang diperoleh bagi para akademisi dan praktisi psikologi kita. Yaitu  melalui belajar psikologi yang merupakan ilmu yang ‘diimport’ dari Barat maka kita menjadi sadar akan diri kita sendiri, bagaimana pola pikir dan pola komunikasi sebagai orang Indonesia yang selama ini terbentuk dan dipakai dan bagaimana kita perlu mengembangkan keterampilan cara berpikir ilmiah yang merupakan ciri berpikir budaya (ilmiah) Barat. Bila kedua pola bahasa dan pikir ini dapat kita kuasai dengan baik maka harapan akan dapat diwujudkannya suatu blending of Western thought and Eastern wisdom dalam diri seseorang memungkinkannya ia dapat hidup dan berfungsi secara lebih sehat dalam lingkungan sosial budaya di mana ia berada.

 

Referensi:

 

Alatas, S. H. (1977) : The Captive Mind and Creative Development in Chee-Meow, S. (ed) Asian Values and Modernization. Singapore University Press Pte. Ltd.

Ballard & Clancy (1984) : Study Abroad : A Manual for Asian Students. Kuala LumpurLongman Malaysia Snd. Bhd.

Hall, E.T & Hall, M.R. (1990) : Understanding Cultural Differences. Boston. Intercultural Press, Inc

Poespoprodjo, W. (1987). Interpretasi. Bandung. Penerbit Remaja Karya CV

Santoso, S. (2017). Kompetensi Komunikasi Interkultural Staff Warga Negara Jerman dan Indonesia di Wisma Jerman-Surabaya. Jurnal E-Komunikasi Vol 5 (1), 1-12

Santoso, S.I. (1979). Fungsi Bahasa, Matematika dan Logika untuk Ketahanan  Indonesia dalam Abad XX di Jalan Raya Bangsa-bangsa dalam Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Pokok Pemikiran Prof. R. Slamet Iman Santoso. Penerbit Universitas Indonesia.

Seran, A. & Widjaya, M. M. (2011). Logika. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya

Ujan, A.A.; Molan, B.; Nugroho; Djoko, F.W.,; Putranto, H. (2011). Multikulturalisme. Jakarta. Permata Puri Media.