ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 17 September 2023
Pendidikan Psikologi:
Untuk Aktualisasi Kompetensi dan Watak Baik
Oleh:
Suprapti S. Markam
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
*Naskah ini dipaparkan pada Seminar Nasional Psikologi Melintas Masa: Menelusuri Pemikiran Pendiri Pendidikan Psikologi di Indonesia Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso. Diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan, 28 Maret 2019.
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada panitia Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) dan Fakultas Psikologi Universitas Sumatra Utara, yang memprakarsai seminar tentang sejarah pendidikan psikologi dan mengenang pendiri pendidikan Psikologi, Bapak Slamet Iman Santoso.
Awal Pendidikan Psikologi
Pendidikan psikologi dimulai dengan didirikannya Balai Psichotehnik di Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) atas prakarsa Bapak Slamet Iman Santoso, pada 25 September 1951 yang pada waktu itu dipimpin oleh Drs. Teutelink, dan dibantu oleh Mulyono. Tujuan dari Balai Psichotehnik adalah membantu kementerian PPK mencapai efisiensi di bidang pendidikan dan pengajaran. Kegiatan dimulai 1 Oktober 1951 dengan pemeriksaan psikologi bagi para pelajar yang ingin melanjutkan studi dan kejuruan di dalam dan luar negeri. Ketika itu banyak kasus “drop out” disebabkan siswa atau mahasiswa tidak cocok dengan pendidikan yang dijalaninya itu, entah karena tidak berminat atau karena tidak punya kemampuan. Pemeriksaan psikologis adalah salah satu solusi untuk menjamin efisiensi pendidikan. Drs. Teutelink ketika itu yang memperkenalkan tes-tes psikologi seperti Army Alpha, Kraepelin, Test E, Progressive Matrices, dan lain-lain.
Mulai 1 Desember 1952 nama Balai Psikotehnik diubah menjadi Lembaga Psikologi, dengan ketua Bapak Slamet I S, dibantu oleh Prof. Beerling, Prof. Weinreb dan Drs. Teutelink. Pada Februari 1952 Bapak Slamet I S membawakan pidato berjudul “Pemeriksaan Psikologis Sebagai Dasar Untuk Sekolah”, dalam rangka Dies Natalis Universitas Indonesia di Institut Teknologi Bandung (selengkapnya dapat dilihat Santoso, 1979).
Kemudian setelah itu Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) membuka pada 3 Maret 1953 Kursus Asisten Psikolog, yaitu sampai tingkat Sarjana Muda. Ini dicatat sebagai awal berdirinya Pendidikan Psikiologi. Ada 300 pelamar waktu itu, namun yang diterima hanya 33 orang. Namun kursus ini tidak dilanjutkan oleh karena istilah “asisten” psikolog dirasa kurang tepat, seolah-olah ada psikolog yang setengah jadi.
Kursus ini pada tahun 1956 menghasilkan beberapa lulusan, dan pada tahun itu juga Lembaga Psikologi Kementrian PPK diubah namanya menjadi Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran (FK UI). Pada tahun 1958, Jurusan Psikologi FKUI menghasilkan lulusan pertama Sarjana Psikologi, yaitu Fuad Hassan. Pada waktu itu perkuliahan diisi dengan kuliah-kuliah dari beberapa dosen asing seperti Drs. Heeren, Dra. Nel Postma, Prof. Weinreb, dan Prof. Beerling.
Bapak Slamet setelah membicarakan dengan Rektor Universitas Indonesia waktu itu, Prof. Dr. Soepomo, mengusulkan kepada Kementrian PPK agar di Universitas Indonesia didirikan Fakultas Psikologi. Pada Desember 1960 dibuat keputusan Menteri PPK yang mengubah status Jurusan Psikologi FKUI menjadi menjadi Fakultas Psikologi UI. Meski demikian perkuliahan sudah dimulai sejak Juli 1960.
Pendidikan Psikologi 1953 - 1960, Fakultas Psikologi 1960 - 1973
Antara tahun 1953 sampai 1960, sebagai Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran, Bapak Slamet menjabat sebagai “Ketua Jurusan”. Lalu sejak 1960 hingga 1973 beliau menjabat Dekan Fakultas Psikologi UI. Selama itu pula Fuad Hassan adalah Pembantu Dekan I. Sebenarnya Bapak Slamet, sebagai seorang yang bukan psikolog ingin segera menyerahkan jabatan dekan kepada Dr. Fuad Hassan, namun beliau ingin menggenapkan agar Bapak Slamet genap 20 tahun menjadi Dekan.
Pada tahun 1973 Bapak Slamet I S mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Dekan Fakultas Psikologi Dr. Fuad Hassan, dan menyampaikan pidato berjudul “Psikologi sebagai Ilmu Pengetahuan dan Hari Depan”, dan diwawancara oleh Dra. Joesoef Nusyirwan mengenai mengapa didirikan pendidikan psikologi dan kemudian menjadi Fakultas Psikologi.
Dalam pidato pemberian gelar Doktor Honoris Causa pada tahun 1973 Bapak Slamet I S mengungkapkan bahwa Psikologi sudah menjadi fakultas yang berdiri sendiri, psikolog merupakan gelar akademik. Psikologi sebagai ilmu tentang manusia dan tingkah lakunya banyak bersinggungan dengan ilmu-ilmu seperti sosiologi, sastra dan budaya, antropologi, yang tergolong “sosial”, namun juga mempunyai persinggungan dengan ilmu-ilmu eksakta (misalnya pelajaran statistika) dan kedokteran.
Masalah spesialisasi (psikolog anak, psikolog industri, psikolog klinis, dan lain-lain) ada keuntungan dan kerugiannya. Beliau lebih mendukung pendidikan psikolog yang umum sebelum menjurus ke spesialisasi. Metodologi yang terkait ilmu penting untuk diketahui dan diterapkan secara tepat. Kapan perlu metode statistik kuantitatif, dan kapan metode kualitatif. Dalam praktek psikiater dan psikologi klinis sangat diperlukan pengetahuan tentang latar belakang budaya seseorang agar dapat dilakukan intervensi yang tepat agar tercapai kesehatan mental.
Dari wawancara dengan Dra. Joesoef Nusyirwan diperoleh hal hal berikut (selengkapnya lihat Santoso, 1975):
Sejak beliau menjadi dokter dan psikiater, di zaman Belanda beliau bekerja sebagai dokter yang ditugaskan mendidik para pekerja di penjara, agar dapat memperlakukan para tahanan dengan baik. Kemudian beliau juga terlibat dalam pendidikan siswa dan mahasiswa antara 1947-1949 (setelah proklamasi 1945 Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan melarang adanya sekolah-sekolah Indonesia). Ketika itu beliau mengajar di sebuah SMA Perjuangan, yakni yang didirikan oleh Bapak Adam Bachtiar, mengajar mata pelajaran Kimia.
Motto yang dianut beliau adalah pendidikan harus efisien (tidak ada drop out) dan menghasilkan manusia yang dapat bertahan hidup (survival of the fittest), dengan kecedasan yang menguasai alam (intelligence mastering nature), dan harus ada the right man on the right place. Ini berdasarkan atas pemeriksaan psikologis waktu itu.
Dari wawancara itu juga terungkap gambaran beliau tentang peran psikolog yang menurut beliau adalah untuk mendampingi guru di sekolah, guna mendeteksi dan menyalurkan murid-murid yang tidak cocok dengan jalur pendidikan yang sedang dijalaninya, dan disalurkan ke pendidikan yang sesuai bakatnya. Psikolog melakukan nasehat belajar atau nasehat kejuruan. Namun ketika itu psikolog (setelah ada lulusan) lebih banyak berkiprah di perusahaan.
Kurikulum dan Lulusan Fakultas Psikologi
Antara tahun 1960 dan 1973 kurikulum fakultas psikologi masih banyak diwarnai oleh mata kuliah kedokteran, namun dengan kembalinya tokoh-tokoh Indonesia dari luar negeri seperti Drs. Yap Kie Hien, Dr. Lie Pok Liem, Drs. AS Munandar, Dra. Utami Munandar, Dra. Myra Sidharta dan lain-lain, diperkenalkan/diajarkan psikologi industri, psikologi klinis, psikologi pendidikan. Psikodiagnostik berikut tes-tesnya, filsafat, pendekatan fenomonologis ketika itu diberikan dalam perkuliahan.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan psikologi sebagai ilmu, kurikulum beberapa kali mengalami perubahan, antara lain tidak lagi berorientasi Kedokteran, dan berkurangnya perkuliahan yang berorientasi fenomenologis. Pada tahun 1978 tercatat sudah ada 186 yang lulus Sarjana Psikologi dan ada enam Doktor Psikologi di Universitas Indonesia.
Kepedulian/Concern pada Pendidikan dan Watak Baik
Concern (istilah Frijda, 1986) atau kepedulian adalah suatu disposisi, mirip motivasi, yang menjadi penyebab utama timbulnya suatu emosi, atau suatu kegiatan berkelanjutan. Kepedulian/concern ini tidak seperti motivasi yang bertujuan dan mencapai kepuasan. Kepedulian/concern merupakan suatu disposisi yang bekerja, apabila seseorang menjumpai keadaan yang tidak seimbang, antara keadaan internal dan eksternal seseorang. Dapat dikatakan bahwa kepedulian/concern yang menimbulkan suatu emosi tertentu, adalah hal yang mewarnai motivasi. Ada bermacam-macam concern menurut Frijda. Ada yang sifatnya personal dan mungkin konstitusional, seperti rasa ingin tahu atau mencari sensasi. Namun ada juga kepedulian yang berupa nilai-nilai, yang merupakan hasil internalisasi yang dicapai seseorang. Kepedulian/concern bila menjumpai keadaan yang bertentangan dengan nilai, akan menggerakkan emosi seseorang untuk merespon.
Bapak Slamet menginginkan anak Indonesia menjadi pintar, agar tidak mudah dibohongi. Karena orang yang bodoh akan mudah dibohongi. Guru-guru Belanda sering memuji anak-anak Indonesia yang mereka nilai sebagai anak-anak yang pintar karena mudah mempelajari berbagai bahasa, ketika itu bahasa Belanda, Inggris, Jerman di tingkat Meer Uitgebreide Lager Onderwijs/MULO (sekarang SMP) dan Algemene Middelbare School/AMS (sekarang SMA). Pujian-pujian itu mungkin menjadi perasaan dihargai dan harga diri, yang kemudian sering diucapkan sebagai salah satu tujuan dari pendidikan watak.
Pendidikan harus dapat menghasilkan manusia yang dapat bertahan hidup. Kepandaian tidak saja yang bersifat akademik, namun juga merupakan keterampilan. Atas dasar observasi beliau terhadap pegawai-pegawainya, beliau menyimpulkan bahwa ada yang mempunyai keterampilan yang belum diberi kesempatan mengembangkan diri. Beberapa pegawainya ketika itu disalurkan ke pekerjaan yang mengaktualisasikan kemampuan itu.
Keseharian beliau yang mengerjakan urusan urusan rumah sendiri (kerusakan mobil, listrik di rumah, dan lain-lain) dan mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mempunyai keterampilan yang diperlukan, terlihat jelas. Salah satu tulisannya menganjurkan agar dibuat semacam peta kebutuhan tenaga terampil di Indonesia, berikut sekolah yang diperlukan, industri terkait, yang diajukan dalam tulisannya mengenai “Latar belakang seluruh Pendidikan”, “Pendidikan dalam angka” tahun 1962 dan 1966. Keresahan beliau mengenai dunia pendidikan ketika itu antaran lain adalah bahwa pendidikan terlalu teoretis, tidak mengkaitkan dengan kebutuhan, murid hanya mengejar ijazah. Pernah beliau menjadi Ketua Komite Pembaharuan pendidikan, yang menghasilkan berbagai usul-usul pada tahun 1977. Namun hasilnya ketika itu tidak ditindaklanjuti, sehingga timbul ucapan NATO, No Action Talking Only.
Kesehariannya mementingkan baca buku, beli buku lengkap selama anak-anak sekolah di SD, SMP dan SMA serta mengharuskan anak-anak belajar teratur. Pelajaran matematika dan bahasa, terutama bahasa menurut beliau sangat penting. Kecenderungan membuat singkatan-singkatan seperti waktu itu KOPKAMTIB, SEKJEN, dan sebagainya membuatnya sinis karena itu menurut beliau itu merusak bahasa. Kadang-kadang bercanda menyindir teman-teman yang pergi ke luar negeri ABIDIN, atau atas biaya dinas. Hidup hemat, efisien dan serderhana dicontohkan dan dianjurkan dalam keluarga
Pandai saja tidak menjamin suatu kebaikan apabila tidak disertai watak yang baik. Watak atau karakter dalam literatur psikologi didefinisikan sebagai kepribadian yang dinilai oleh masyarakat menurut Allport. Alan Carr mengutip Seligman yang membahas enam kebajikan atau virtues, yakni kebijaksanaan atau wisdom, keberanian, kemanusiaan atau humanity, keadilan, kehati-hatian atau temperance, dan transcendence. Kebajikan-kebajikan tersebut terwujud melalui kekuatan karakter. Watak/karakter baik menurut Seligman adalah jika seseorang memiliki beberapa kekuatan karakter dalam beberapa kelompok kebajikan:
1. Kebijaksanaan atau wisdom adalah memperoleh dan menggunakan pengetahuan. Kekuatan karakter yang mewujudkannya ialah antara lain kecintaan pada belajar, berpikir kritis, memiliki perspektif.
2. Keberanian adalah kehendak untuk mencapai tujuan meski ada tantangan baik dari dalam maupun dari luar diri. Kekuatan karakter yang mewujudkannya adalah antara lain kejujuran, kegigihan, keberanian dan integritas.
3. Kemanusiaan adalah kekuatan interpersonal. Kekuatan karakter terkait kebajikan ini antara lain keramahan, generosity, kemampuan mencintai dan dicintai.
4. Keadilan ialah kekuatan kewarganegaraan/civic strength. Kekuatan karakter terkait kebajikan ini antara lain rasa keadilan, kerjasama, kepemimpinan.
5. Kehati-hatian adalah kekusaan yang melindungi kita dari keberlebihan. Karakter yang terkait antara lain kesederhanaan, rendah hati, kehati-hatian
6. Transendensi adalah kekuatan dan keterhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Kekuatan karakter terkait antara lain adalah spiritualitas, rasa syukur, optimisme
Watak atau karakter yang sering diperlihatkan dan dibahas oleh beliau diantaranya kejujuran, ketelitian, kesederhanaan, hemat, kerapihan, kesetiaan (ketika diminta memilih apakah bekerja untuk NICA dan menerima gaji, atau untuk Republik Indonesia, beliau memilih RI meskipun ketika itu tidak digaji).
Pengalaman masa Europeesche Lagere School/ELS (SD) dan MULO (SMP) menunjukkan bahwa guru-guru beliau meskipun bangsa penjajah, memuji murid-murid Indonesia, dan menghukum murid-murid Belanda yang tidak jujur. Para guru itu mempunyai integritas, memberi penghargaan pada murid yang pandai. Ini yang mungkin membentuk concern kepedulian beliau tentang perlunya seseorang punya integritas dan harga diri. Pendidikan intelektual harus seiring dengan pendidikan watak, karena itu beliau lebih mendukung penerimaan mahasiswa Fakultas Psikologi ketika itu dibatasi beberapa puluh saja agar interaksi dengan dosen dapat intensif.
Cita-cita beliau bahwa seorang guru harus didampingi psikolog di sekolah, agar pendidikan efisien, tidak ada drop out, diwujudkan dalam gagasannya untuk meningkatkan kemampuan psikologi pada guru. Ketika dahulu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan/IKIP masih merupakan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Indonesia, beliau beberapa kali mengatakan bahwa sebaiknya seorang guru itu adalah lulusan Fakultas Ilmu Pendidikan/Paedagogi, plus sarjana muda fakultas yang sesuai mata pelajaran yang diampunya di SMP/SMA. Sebagai contoh guru Matematika di SMP/SMA mempunyai latar belakang Sarjana Muda Matematika dan Sarjana Muda Pendidikan. Ini agar pendidikan kompetensi berkualitas, menghasilkan murid yang kompeten.
Di zaman Republik beliau sering tidak sepaham dengan pejabat ketika itu. Beliau dianggap keras kepala dan tidak mau berubah serta tidak mau maju. Contoh mengenai perubahan kurikulum Fakultas Kedokteran, beliau satu-satunya orang yang tidak setuju. Pendidikan harus mementingkan kualitas bukan kuantitas, dan ini yang membuat beliau tidak cocok dengan beberapa pihak.
Beliau juga tidak peduli dengan kemajuan zaman yang menganjurkan beli mobil baru, perabot rumah baru dan sebagainya. Akibatnya kami sekeluarga juga tidak mengenyam fasilitas-fasilitas seperti teman-teman lain yang mau maju dan mengikuti zaman. Beliau juga kesal bila ada rencana yang sudah dipikirkan dan dibahas bersama dalam seminar, akhirnya tidak dilaksanakan dan dilupakan. NATO, no action talking only.
Ketika Belanda tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yakni antara 1947-1949, beliau dan kawan-kawan tidak mau bekerja di bawah pemerintah Belanda, dan meninggalkan Centraal Burgelijke Ziekenhuis/CBZ/RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sekarang). Begitu juga Fakultas Kedokteran yang karena diambil kembali oleh Belanda, sekretariat FK-UI waktu itu pindah alamat ke rumah keluarga kami, Alataslaaan/Jalan Cimandiri 26.
Pada zaman itu jumlah kaum akademisi masih terbatas. Sebagian yang telah ada ketika itu dibunuh oleh Jepang karena ketika itu Jepang ingin menguasai Indonesia dan kaum intelektual dianggap menghambat tujuan itu. Jadi salah satu landasan mengapa ia membentuk pendidikan psikologi yang berstatus akademik/universitas, adalah untuk meningkatkan jumlah kaum intelektual
RANGKUMAN: Aktualisasi Kompetensi dan Watak Baik
Pendidikan Psikologi, idealnya, (dan semua pendidikan) bertujuan mengaktualisasi potensi, kompetensi dan membentuk watak baik menghasilkan manusia yang dapat memajukan bangsa. Sering saya jumpai dalam berbagai seminar internasional psikologi: psikolog sudah banyak, apa kontribusinya untuk perdamaian dunia? Mungkin ini pertanyaan yang tidak dapat dijawab tanpa adanya penelitian.
Karakter/watak baik seperti jujur, satu kata dan perbuatan, mempunyai rasa harga diri, ketekunan, ketelitian, kesinambungan dalam rencana dan kegiatan, perencanaan yang terintegrasi tanpa tumpang tindih, harus senantiasa diusahakan agar manusia dapat survive dan menguasai alam. Masih banyak berita tentang kebanjiran, tanah longsor dan sebagainya, yang merupakan peristiwa alam. Apakah sudah ada pengetahuan tentang cara-cara pencegahannya? Banyak berita tentang korupsi, kekerasan, penipuan. Idealnya psikologi dapat memberi masukan untuk mencegahnya. Tentu ini dilakukan bersama ilmuwan-ilmuwan lain secara terpadu.
Dalam tayangan TV dan berita, ternyata banyak manusia baik yang tanpa pamrih melakukan kegiatan-kegiatan terpuji seperti menolong orang terlantar, mendirikan sekolah gratis, menghasilkan listrik tenaga matahari, dan lain-lain. Temuan temuan ini perlu dikaji, dikoordinir agar mempunyai dampak nasional.
Himbauan telah dikemukakan pada tahun 1973 oleh Bapak Slamet, agar psikologi sebagai ilmu mempelajari latar belakang budaya individu, yang mewarnai pola pikir dan perasaannya, agar dapat memberikan intervensi yang terbaik. Begitu pula mengenai metode penelitian ilmiah terkadang diperlukan yang kualitatif, terkadang kuantitatif. Keduanya diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian. Kerjasama psikologi dengan ilmu-ilmu lain juga penting agar tercapai tujuan yang diinginkan. Terkait dengan kerjasama, perlu dibina iklim yang baik, yang saling menghargai, dan yang terpenting berkesinambungan, agar tidak sekedar jadi hasil seminar tanpa tindak lanjut, atau hasil penelitian yang disimpan di lemari buku.
Penelitian tentang emosi dilakukan oleh orang Amerika Serikat dan Belanda di Sumatra dan di Papua. Seharusnya kita sendiri yang meneliti fenomena psikologis dan cara berpikir dari bangsa Indonesia yang tersebar di Nusantara dan memiliki cara berpikir, budaya kerja, ritual-ritual agama yang khas. “Kearifan lokal” yang sering dibicarakan, sebaiknya didefinisikan dengan baik, karena ada beberapa kebiasaan lokal yang tidak mendukung kesehatan fisik, atau yang bertentangan dengan undang-undang negara ini.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog profesional masa kini sudah banyak kemajuan dalam hal mengaktualisasi kompetensi. Fakultas Psikologi di Indonesia sudah lebih dari 100. Sudah banyak spesialisasi profesi psikologi, banyak penelitian yang dipublikasi di jurnal internasional. Ada organisasi psikologi yang mengatur praktek psikologi agar tidak melanggar etika.
Nilai-nilai dan preferensi generasi millennial perlu ditanggapi secara positif, agar mereka juga menghargai nilai-nilai yang berasal dari “generasi pra-X” yang mungkin masih relevan. Besar harapan saya agar KPIN dapat mewujudkan cita-cita yang belum tercapai dari Bapak Slamet, tentu yang disesuaikan dengan nilai-nilai “zaman now”.
Referensi:
25 Tahun Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi UI, 1973
Carr, A. (2004). Positive Psychology. New York: Brunner-Routledge.
Frijda, N. H. (1986). The Emotions. New York: Cambridge University Press.
Santoso, SI. (1975). Psychologi Sebagai Ilmu Pengetahuan dan Hari Depan. Bulan Bintang. Jakarta.
Santoso, SI. (1979). Pembinaan Watak: Tugas Utama Pendidikan. UI Press. Jakarta.
Tahun Emas UI, 1950-2000. Universitas Indonesia.