ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 17 September 2023

 

Penelusuran Tema Kebangsaan:

Analisis Pemikiran Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso

 

Oleh:

Eko A. Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

*Naskah ini dipaparkan pada Seminar Nasional Psikologi Melintas Masa: Menelusuri Pemikiran Pendiri Pendidikan Psikologi di Indonesia Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso. Diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan, 28 Maret 2019.

 

Tidak banyak tulisan yang menggali dan menganalisis tokoh ilmuwan di Indonesia. Artikel ini hendak (menjadi upaya awal) menggali dan menganalisis tokoh psikologi Indonesia yang menjadi pendiri pendidikan psikologi di Indonesia,   Prof. Dr. Slamet Iman Santoso (yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Slamet atau Pak SIS). Posisi Pak SIS dalam pendidikan psikologi sangatlah penting, selain di bidang psikiatri. Sebagai psikiater ia sudah dikenal juga di luar negeri (Kline, 1963). Setidaknya sejarah mencatat bahwa pidato Pak SIS saat pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Indonesia di Institut Teknologi Bandung tahun 1952 menjadi tonggak penting bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Pidato ini yang kemudian menjadi awal pemikiran perlunya pendidikan psikologi di Indonesia. Sebagai tokoh di Universitas Indonesia, khususnya di bidang kedokteran adalah menarik jika ia mengajukan perlunya psikologi. Ilmu yang relatif baru (walau Pak SIS sendiri berlatar psikiatri) bahkan di dunia. Sebagai contoh, psikologi tumbuh kembang di Irlandia baru pada tahun 1960-an, di Ghana tahun 1963, dan Afrika Selatan tahun 1959 (Wolman, 1965). Oleh karenanya, pemikiran Pak SIS tahun 1952 dapat dikatakan sangat maju untuk sebuah negara yang baru tujuh tahun merdeka. 

 

Sebagai tokoh tentu perlu dicermati bagaimana pola pikirnya. Dalam tradisi psikologi pun secara khusus pemikiran tokoh psikologi diperkenalkan pada mata kuliah khusus yakni Sejarah dan Aliran Psikologi (Sarwono, 2002). Para tokoh yang masuk dalam sejarah psikologi telah memberikan warna dan bahkan garis tegas pada ilmu psikologi maupun terhadap ilmu lainnya semisal antropologi, sosiologi, sampai psikiatri. Lahirnya pemikiran tentu tidak serta-merta ada. Banyak pemikiran muncul dalam situasi sosial yang aman, atau bahkan muncul dalam situasi yang mencekam. Pemikiran juga dapat muncul dari pembacaan pada situasi di dekat diri tokoh sehingga ia mampu menerima pola, dan mensarikannya ke dalam satu konsep tertentu yang kemudian menjadi pemikiran (bahkan teori). Oleh karena itu penulis sebagai akademisi psikologi, mencoba untuk memulai tradisi mengkaji pemikiran tokoh psikologi khususnya di Indonesia.

 

Modal Dasar

Penulis meneliti secara singkat terhadap Santoso. Penelitian sederhana dimulai dengan karya tulis yang terekam, dan hal itu yang paling nyata adalah karya berupa buku. Karya-karya beliau yang saat ini masih dapat dicari dan ditemukan adalah dan psikologi sebagai ilmu pengetahuan dan hari depan (1975), sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (1977), pembinaan watak: tugas utama pendidikan (1979), tantangan ganda dalam pendidikan agama pada abad ilmu pengetahuan (1985), dan warna-warni pengalaman hidup R. Slamet Iman Santoso (1992). Kesemua karya ini tercetak dan terbit oleh penerbit buku nasional. Tidak ada lagi di toko-toko buku. Pencarian dan penelusurannya melalui anak kandung Pak SIS yakni Prof. Dr. Suprapti S. Markam. 

 

Karya buku tak lepas dari pengalaman, ketertarikan dan pengharapan dari si penulis. Hal ini juga tidak lepas dari buku-buku yang ditulis oleh Santoso. Pola tulisan yang dibuat adalah tanggapan-tanggapan terhadap gejala yang dilihat dengan sudut pandang yang sangat personal dari beliau. Berdasar karya-karyanya secara garis besar dapat terbagi menjadi beberapa ide:

 

1.  Pendidikan. Tema ini diwujudkan dalam buku Pembinaan Watak: Tugas Utama Pendidikan (1979). Kepedulian ini tidaklah mengherankan karena berdasar autobiografi, sangat jelas bahwa pengalaman-pengalaman utama Santoso adalah bidang pendidikan.

 

2.  Autobiografi. Buku ini khusus sebagai tulisan tentang autobiografi Santoso yakni dan Warna-warni Pengalaman Hidup R Slamet Iman Santoso (1992).

 

3.  Filsafat dan ilmu. Tema ini diwujudkan dalam buku Psychologi Sebagai Ilmu Pengetahuan dan Hari Depan (1975), Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan (1977), Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu Pengetahuan (1985).

 

Ketiga pembagian ini masih dapat berkembang. Hal ini tidak lepas dari buku-buku yang berhasil dikumpulkan sangat kuat dengan pola tulisan berupa tanggapan-tanggapan terhadap gejala yang dilihat dengan sudut pandang yang sangat personal dari beliau. Tentu bagi calon peneliti pemikiran sangat besar peluang untuk mengkaji pemikiran Pak SIS dengan berbagai sudut pandang.

 

Memilih Tema Pemikiran

Tidak banyak tokoh psikologi yang membicarakan tentang kebangsaan. Tema ini seakan terbatas pada bidang sosial politik. Padahal sebagaimana pendapat Brofenbruner dengan kajian wilayah makrosistem dan Kurt Lewin dengan teori perilaku hasil dari fungsi lingkungan dan kepribadian sangat mungkin menempatkan isu kebangsaan sebagai salah satu pembentuk perilaku individu. Dalam Psikologi, Vygotsky juga tokoh ilmuwan yang teorinya sangat diwarnai aliran politik negaranya. Sampai saat ini pula nyaris tidak ada kajian yang secara khusus melihat para tokoh psikologi Indonesia. sebagai contoh apakah tokoh ini memberi cara pandang baru terhadap psikologi di Indonesia? Apakah menyumbangkan ide metode penelitian baru, dan lain-lain. Saat ini yang ada di kalangan ilmuwan psikologi dan masyarakat adalah beberapa autobiografi dari tokoh-tokoh psikologi saja (misalnya Sarlito W. Sarwono).

 

Berdasar paparan tadi maka tulisan ini dapat dianggap sebagai tulisan yang sangat awal tentang “membaca pemikiran tokoh”, khususnya psikologi. Tentu hal ini agak tidak mengikuti arus utama, tapi upaya awal tentu dapat menjadi awal pemikiran kritis terhadap tokoh psikologi Indonesia dan perkembangan ilmunya. Sebagaimana dituliskan sebelumnya bahwa karya-karya Pak SIS cenderung ke bidang pendidikan. Namun pendidikan bagi masyarakat Indonesia di saat ia lahir adalah titik awal rasa kebangsaan. Satu bagian kecil pengalaman Pak SIS dalam buku “Warna-warni” pada halaman 20: 

 

“Oleh karena ilmu bumi dihafalkan, digambar, digunakan untuk menerangkan cara bepergian, maka kami mempunyai gambaran jelas tentang Tanah Air kami. Dengan mengenal Tanah Air, maka kami cinta Tanah Air tanpa melalui indoktrinasi”.

 

Pengalaman ini dialami Pak SIS pada kelas lima (hitungan sekarang sekitar usia 12 tahun). Tulisan itu menjadi modal bagi dirinya untuk membangun wawasan kebangsaannya. Hal ini ia alami sebagai siswa di masa kolonial Belanda. Penggunaan kata “tanah air” seperti Sumpah Pemuda 1928 adalah hal yang menarik. Sangat sulit bagi anak pribumi untuk paham bangsanya yang lingkungannya dalam penjajahan dan belajar dengan sistem pendidikan penjajah.

 

Karya Pak SIS yang secara tersurat membicarakan tentang kebangsaan adalah Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu Pengetahuan (1985). Buku ini tampaknya dibuat dengan situasi sosial yang khusus. Di lingkup dunia, pertarungan politik kelompok Barat (yang diwakili kelompok negara demokrasi liberal) dan kelompok Timur (yang diwakili kelompok negara sosialis-komunis). Di Indonesia kehidupan sosial dapat dikatakan dalam proses stabil dan mungkin dapat dikategorikan sedang menuju sejahtera-makmur (swasembada pangan Indonesia diraih tahun 1984). 

 

Metode

Dengan memilih tema yang dianggap oleh penulis sebagai hal yang tepat untuk diangkat. Hal ini dilakukan karena model tulisan dari Pak SIS cenderung merespon situasi yang ia hadapi. Penulis kali ini akan mengangkat tema ketahanan nasional atau kebangsaan. Untuk mengulas hal ini, penulis mengangkat dua buku utama yakni Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu Pengetahuan (1985) dan Warna-warni Pengalaman Hidup R Slamet Iman Santoso (1992). Bagi penulis untuk dapat menelaah ketahanan nasional atau kebangsaan dari Pak SIS terbukti pada buku pertama. Namun agar dapat melihat latar mengapa sampai pada pemikiran tersebut maka buku autobiografi dapat memberikan penjelasan.

 

Keadaan Indonesia dan Diri Pak SIS

Sebagai bagian individu yang lahir dari era awal abad keduapuluh (7 September 1907) tentu menjadi bagian hal yang tersendiri. Indonesia pada awal abad keduapuluh sedang mengalami perubahan nuansa penjajahan. Situasi global yang berubah (kekalahan Rusia dari Jepang, 1905), secara khusus perubahan politik di Belanda juga berubah. Perubahan ini termasuk diantaranya masalah pendidikan. Hal ini terkait dengan politik etis yang diberlakukan di tanah jajahan Hindia Belanda.   

 

Pendidikan di Indonesia saat itu semakin terbuka. Hal ini terkait dengan upaya meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan. Namun tetap dengan catatan tetap saja tidak semua berhak untuk menikmatinya, hanya kelompok berkedudukan sosial tinggi dan berkemampuan ekonomi (Sejarah Nasional Indonesia, 2010). Sebagai catatan Pak SIS putra dari pejabat Mantri Polisi dan kemudian menjadi Asisten Wedana (setara jabatan camat saat ini).   

 

Salah satu kejadian lain yang dialami Pak SIS saat usia 13-16 tahun adalah ketika bergabung dalam kelompok pertunjukan. Saat itu beredar berita bahwa biaya untuk sebuah pertunjukan yang dilakukan oleh anak Jawa dihargai sepertiga harga pertunjukan Belanda. Biaya pertunjukan Belanda dibayari seluruhnya, sementara biaya pertunjukan anak Jawa hanya dibayari separuhnya, sisanya dicari dengan pinjam ke berbagai pihak. Pak SIS dan rekan-rekan kemudian bergerak untuk keluar, tidak ikut dalam kelompok tadi. Sebaliknya mereka semua menonton pertunjukan anak Jawa bahkan sengaja memesan sebuah bioskop agar hanya dapat ditonton oleh anak Jawa (Santoso, 1992, halaman 45).   

 

Dukungan Pak SIS terhadap Pancasila

Pemikiran Pak SIS terhadap nilai nasional atau Pancasila dalam bahan kajian tidak terang benderang. Kajian SIS tentang Pancasila tertuang pada buku Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu Pengetahuan (1985). Buku ini didasari materi de-indoktrinasi semasa pasca G-30S (Santoso, 1992). Saat itu   

 

Namun buku ini bukan membicarakan Pancasila semata. Buku ini lahir dari tiga pokok pikir. Pertama adalah manusia Indonesia dikuasai tiga arus pemikiran: arus pemikiran politik, arus pemikiran pengetahuan disertai teknologi, dan arus pemikiran yang dikuasai agama. Pokok pikir kedua adalah pada tahun 1960-1965 terjadi perdebatan dari tiga pokok pikir yang ada pada pokok pikir pertama. Pokok pikir ketiga adalah kekhawatiran SIS terhadap Indonesia dalam menghadapi RRT.

 

Dalam penjelasannya dalam buku ini, Pancasila dalam posisi politik. Hal ini sangat wajar. Pada masa itu yang dikhawatirkan adalah pokok pikiran ketiga. Kekhawatiran menghadapi RRT yang saat itu (dan sampai sekarang) berkembang dengan pesat. Titik tolak kekhawatiran SIS adalah pada paham negara tersebut, yakni Marxisme (bagian Pengantar). Hal ini sejalan dengan kondisi politik global dan nasional yang ada. Pada buku ini juga Pak SIS bahkan memberikan uraian jumlah warga negara RRT sebagai suatu hal amat perlu diperhatikan.  

 

Akan halnya pemikiran Pak SIS sedari awal adalah tidak mempertentangkan antara Pancasila dan agama. Seakan ia dapat menduga, ketika isu komunisme berakhir maka akan muncul permasalahan baru. Ia berupaya untuk mencari persamaan-persamaannya. Pada akhirnya yang ingin ia capai adalah membela agama dan Pancasila (Santoso, 1985).

 

Pancasila yang Harus “Berwujud”

Dalam menjelaskan Pancasila, Pak SIS menjelaskannya satu persatu. Setiap sila ia jabarkan. Penjelasan ini ia lakukan dengan pendekatan induktif dan deduktif. Satu hal yang membedakan ia dengan para pendukung Pancasila lainnya. Ia tidak sekedar menjadi pendukung dengan gaya dukungan ideologis atau propaganda. Baginya Pancasila selayaknya dibuktikan dan dijalankan. Pembuktian sangat diperlukan karena pemahaman manusia berkembang seiring waktu. Hal ini mirip dengan kondisi saat ini yang membutuhkan banyak bukti agar orang yakin dengan apa yang diterima.

 

Pembuktian Pancasila yang sering kita lihat adalah buku atau artikel yang mengutamakan sejarah kerajaan-kerajaan nusantara (terutama kerajaan besar nusantara speerti Sriwijaya dan Majapahit). Gaya pembuktian ini juga yang dilakukan Soekarno saat menerangkan Panca Sila (ingat penulisan awal Pancasila adalah terpisah, baru saat reim Orde Baru penulisannya disambung). Soekarno menjelaskan bahwa Panca Sila ia gali dari penggalian sejarah bangsa sejak masa pra-Hindu sampai masa kerajaan Islam.

 

Pak SIS juga percaya bahwa Pancasila harus dapat dijalankan dalam kehidupan nyata. Hal ini terkait dengan perwujudan Pancasila. Baginya Pancasila akan sulit dimengerti dan dipahami jika semata hanya dibebankan pada pengajaran (atau pada masa Orde Baru disebut penataran P4). Walau dalam bukunya Pak SIS tidak serta-merta menjabarkan bagaimana mengajarkan Pancasila, tapi ia mencoba mengajak untuk membuat Pancasila dalam bentuk riil. Jika sebuah konsep baik dan selaras, dan dapat menjadi pijakan perilaku masyarakat Indonesia maka konsep itu dijadikan “berwujud” dengan segala aspek diperhatikan. Contoh yang ia bawakan adalah jujur, maka keutamaan perilaku jujur harus dibiasakan dari sejak dini SD hingga tingkat Doktoral (lihat pula Santoso, 1992 hal. 64). Pembiasaan ini dimulai dengan pengawasan hingga pada akhirnya terbentuk pada individu. Individu sadar atas apa yang ia dapatkan, menjadi bagian dari kepribadiannya. Proses ini yang kemudian ia sebut sebagai “conditioning” atau “habit formation” (Santoso, 1985).

 

Proses perwujudan Pancasila ini akan lebih alami jika lahir dari masyarakat terlebih dahulu. Memang proses ini diakui sulit, tapi karena dilahirkan dan diwujudkan oleh masyarakatnya maka akan lebih mudah untuk dapat dikondisikan. Upaya pengkondisian juga tidak terlihat atu terkesan propaganda atau indoktrinasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa hal-hal yang propaganda dan slogan hanya akan masuk dalam ranah kognitif (itupun tidak cukup bertahan lama) tanpa menyentuh ranah afeksi dan psikomotor. Dalam tulisan autobiografinya, Pak SIS menjelaskan bahwa pemahaman tanpa pelaksanaan tidak akan menghasilkan apapun. Begitupun dengan Pancasila, tanpa ada wujudnya maka hanya melahirkan pengertian Pancasila bukan Pancasila yang berwujud.  

 

Pancasila dan Psikologi

Pemikiran Pak SIS yang mendukung Pancasila yang lebih wujud dapat diselaraskan dengan pemikiran psikologi. Psikologi yang secara umum diketahui sebagai ilmu dari perilaku (fisik dan mental) manusia. Perwujudan Pancasila dapat diibaratkan sebagai “psikologi yang dapat dilihat indikatornya”. Oleh para pemikir Pancasila, Pancasila dibuktikan dengan paparan artikel-artikel (yang oleh Pak SIS dikatakan hanya akan menyadarkan kelompok kecil dari masyarakat atau kelompok elit (budayawan, ilmuwan, atau politisi). Bagaimana dengan pengembangan Pancasila sebagai ilmu? Sebagai bahan ajar telah menjadi bahan ajar untuk siswa SD-perguruan tinggi dan untuk kajian ada fakultas ilmu pendidikan. Untuk kajian yang secara psikologis empirik masih sangat terbatas, salah satunya adalah kajian Meinarno yang melihat Pancasila sebagai nilai nasional (Meinarno, 2017b) dan memasukkan Pancasila dalam proses asesmen (Saleh & Meinarno, 2018). Terobosan dalam berbagai sudut pandang sangat diperlukan bagi Pancasila.

 

Tantangan Pancasila saat ini bukan lagi melawan Marxisme (komunisme), tapi justru berhadapan dengan modal sosialnya itu sendiri seperti agama dan keberagaman masyarakat. Hal ini ironis karena apa yang dikatakan Soekarno dan Pak SIS sejalan yakni mencari banyak persamaan di masyarakat, tapi yang dipertentangkan justru antarkeduanya. Kekhawatiran pada pokok pikiran ketiga yakni menghadapi ancaman dari utara hanya dapat direspon dan dihadapi dengan perwujudan Pancasila itu sendiri daripada kembali mempertentangkan agama dan keberagaman masyarakat.         

 

Peluang psikologi untuk berkontribusi dalam mewujudkan Pancasila sangatlah terbuka. Psikologi saat ini telah banyak berkontribusi terhadap pembentukan perilaku manusia. Contoh klasik Behaviorisme adalah buktinya, mulai dari proses pembentukan perilaku individual (Watson, Skinner, Pavlov atau Bandura) atau bagaimana menciptakan “setting” agar perilaku yang diinginkan dapat terbentuk (teori perilaku dari Lewin). Metode intervensi sosial dapat menjadi alternatif dalam mewujudkan Pancasila, dapat melalui intervensi yang kasat mata atau melalui semacam hidden agenda dari sebuah aktivitas belajar (Meinarno, 2017a). 

 

Alternatif lain dalam mewujudkan Pancasila dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah dengan cara menjadikannya aspek atau variabel psikologi. Salah satu bentuknya adalah Pancasila yang diwujudkan sekaligus diujikan oleh Meinarno (2017b) dalam bentuk nilai nasional. Cara ini tidak lazim, tetapi masih sejalan dengan pemikiran Pak SIS bahwa Pancasila dibuktikan dan dijalankan. Dibuktikan karena Pancasila dijadikan aspek psikologi yang terukur yakni nilai. Nilai sendiri lekat dan menjadi bagian dari perilaku.  

 

Sebagaimana posisi nilai yang penting dalam perilaku dan Pancasila juga harus diwujudkan maka perlu diperlukan pula pembiasaannya. Proses agar nilai lekat dan menjadi bagian dari perilaku setidaknya ada beberapa cara, diantaranya adalah perlu aktivasi. Semakin diaktifkan maka semakin mudah dikenali oleh diri untuk perilaku tertentu. Perilaku ini memang harus khusus sehingga individu akan memunculkan perilaku berbasis nilai nasional yang ia utamakan (Schwartz, 2018). Ketika individu terbiasa dengan nilai yang ia tampilkan berupa perilaku maka terjadilah konsistensi Pancasila (nilai nasional)-perilaku. Pola hubungan ini sekilas dikenal sebagai asosiasi, salah satu bagian dari behaviorisme.

 

Dapat disimpulkan pemikiran Pak SIS agar Pancasila dapat dibuktikan dan diwujudkan sedang dalam jalur yang benar. Pancasila yang terwujud perlu dilekatkan dengan perilaku yang diharapkan. Kondisi ini yang oleh Pak SIS sebagai fungsi psikologi di Indonesia yaitu pembentuk watak.  

 

Bagi penulis, pemikiran Pak SIS tentang Pancasila yang patut kita bela dapat dibenarkan. Apa yang ia utarakan tidak lepas dari situasi sosial lokal dan global yang terjadi padanya. Buku ini muncul dari bahan re-indoktrinasi pasca G-30S. Saat itu di Jakarta terjadi peristiwa kudeta gagal. Di lain pihak dunia juga terbagi dalam dua poros, Barat dan Timur.  Pada konteks masanya, hal ini terkait dengan upaya membendung hegemoni Marxisme. Pemikiran lainnya yakni pembuktian dan perwujudan Pancasila ini perlu lebih menjadi perhatian untuk masa kini. Pembuktian secara ilmiah empirik dan perwujudannya menjadi perilaku yang konkrit justru akan membuat Pancasila dapat bertahan. Jika hal ini berjalan maka pertanyaan-pertanyaan yang cenderung memperdebatkan Pancasila (dalam konteks 2017-2019) harus dalam koridor ilmu pengetahuan.

 

Referensi:

 

Kline, N. S. (1963). Psychiatry in Indonesia. American journal of Psychiatry, 119(9), 809-815.

Meinarno, E. A. (2017a). Perubahan Cara Belajar: Intervensi Sosial untuk Perguruan Tinggi. ISSN 2477-1686. Vol. 3. No.5, Mei 2017. http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/172-perubahan-cara-belajar-intervensi-sosial-untuk-perguruan-tinggi

Meinarno, E. A. (2017b). Peran Identitas Etnis, Identitas Agama, Dan Identitas Nasional yang Dimediasi Nilai Nasional Terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Disertasi strata tiga Program Doktoral Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Tidak dipublikasikan. 

Saleh, A. Y., & Meinarno, E. A. (2018, November). Constructing Assesment Model for Pancasila Education Design. In Annual Civic Education Conference (ACEC 2018). Atlantis Press.

Santoso, S. I. (1975). Psychologi Sebagai Ilmu Pengetahuan dan Hari Depan. Bulan Bintang. Jakarta.

Santoso, S. I. (1977). Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Sastra Hudaya. Jakarta.

Santoso, S. I. (1979). Pembinaan Watak: Tugas Utama Pendidikan. UI Press. Jakarta.

Santoso, S. I. (1985). Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu Pengetahuan. Bulan Bintang. Jakarta.

Santoso, S. I. (1992). Warna-warni Pengalaman Hidup R Slamet Iman Santoso. UI Press. Jakarta.

Sarwono, S. W. (2002). Berkenalan dengan aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi. Bulan Bintang. Jakarta.

Schwartz, S. H. (2017). The refined theory of basic values. In Values and Behavior (pp. 51-72). Springer, Cham.

Sejarah Nasional Indonesia V. (2010). Balai Pustaka. Jakarta.