ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 17 September 2023
Have You Ever Forgiven and Made Peace with Yourself?
Oleh
Sofia Zulaikha Salsabila & Dina Nazriani
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Tidak sedikit dari kita yang kerapkali memperlakukan teman, sahabat, pacar, saudara ataupun orang lain dengan sangat baik, dengan penuh kehati-hatian, tidak lupa untuk selalu memvalidasi perasaan mereka, juga mendukung mereka. Tapi, apakah kamu memperlakukan diri sendiri selayaknya kamu memperlakukan orang-orang tersebut? Coba ingat kembali apa yang biasanya kamu lakukan saat kamu mengalami keterpurukan ataupun kesuksesan? Dan apa yang biasanya kamu lakukan jika orang-orang terdekat kamu mengalami hal tersebut? Apakah bentuk treat yang kamu beri kepada dirimu sendiri sama halnya dengan yang kamu beri kepada orang lain? Banyak dari kita yang kerap menyemangati dan mendukung teman saat mereka mengalami keterpurukan, tapi banyak juga dari kita yang malah judge diri kita sendiri saat mengalami hal yang serupa, kita acapkali bersikap lembut, supportive, terhadap orang lain, tetapi sangat keras terhadap diri sendiri. Salah satu cetusan dari buku Haemin Sunim menyatakan perihal yang serupa, “You are so eager to help your friends, but you treat yourself so poorly”. Terkadang, kita secara tidak sadar sering dan selalu memprioritaskan diri kita untuk berbuat baik kepada orang lain, tapi malah kita lupa untuk melakukan hal baik tersebut kepada diri kita sendiri.
Pada hakekatnya, kita semua pasti pernah mengalami kesalahan dan kegagalan, tapi apakah terus-menerus larut dalam kegagalan dan penyesalan baik di lakukan? Tentu saja jawabannya tidak, terus-menerus larut dalam penyesalan akan berdampak buruk bagi kondisi fisik maupun psikis kita. Lalu, bagaimana agar kita menghindari timbulnya penyesalan yang berlarut-larut tersebut? Salah satunya dapat dilakukan dengan berdamai dan memaafkan diri sendiri. Berdamai dan memaafkan diri sendiri (self-forgiveness) untuk sebagian besar dari kita mungkin terbilang tidak mudah untuk dilakukan. Emosi-emosi negatif, seperti kecewa, gagal dalam suatu hal, ketidakpuasan, rejected dari objek yang kita tuju bahkan kemarahan yang kita alami dan rasakan, yang jika dibiarkan semakin larut dan dibiarkan lebih dalam nantinya dapat berujung pada penyesalan, bahkan menimbulkan perilaku menyalahkan diri sendiri.
Forgiveness sendiri menurut Setyana (2013), merupakan seberapa mampunya individu dalam menurunkan serta menghilangkan penilaian-penilaian, juga perasaan negatif terhadap suatu hal yang menyakitkan, sehingga nantinya menimbulkan perubahan respon terhadap pelaku, peristiwa maupun penilaian dari peristiwa itu sendiri, dan nantinya pandangan terhadap ketiga hal tesebut juga akan berubah dari yang tadinya negatif menjadi positif ataupun netral, serta membuat seseorang menjadi lebih nyaman saat berada di lingkungannya. Selain itu, terdapat lawan dari forgiveness, yaitu unforgiveness, dimana (Worthington & Scherer, 2004) mengemukakan unforgiveness sebagai emosi “dingin” yang dicirikan oleh rasa tidak senang (resentment), kepahitan, dan juga kebencian, yang disertai dengan motivasi untuk menghindar atau balas dendam terhadap pelaku.
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi alasan seseorang lebih sulit untuk memaafkan dirinya sendiri. Pertama, kesalahan yang terjadi di masa lalu sangat membekas dan menimbulkan penyesalan yang begitu dalam, kekecewaan, frustrasi dan luka batin. Kedua, setelah penyesalan tersebut timbul, kita secara tidak sadar semakin larut dalam kesalahan dan kegagalan tersebut, atau singkatnya kita sulit untuk move on, kita lebih memilih terjebak dalam bayang-bayang kegagalan dan larut dalam kesesalan.
Menurut Worthington (dalam Seligman 2002), terdapat 5 tahapan forgiveness yang biasa disebut dengan REACH; recall, emphatize, altruistic, commit, dan hold. Yang mana ke lima tahapan ini mungkin dapat kamu lakukan dengan contoh pengaplikasian sebagai berikut:
Namun, pertama-tama sebelum kamu memulai praktek untuk memaafkan diri sendiri, cobalah cari tempat setenang mungkin, pejamkan mata, tarik nafas yang panjang, lalu hembuskan, sampai kamu merasa rileks dan tenang.
1. Recall: Mungkin kamu dapat memulai dengan mencoba membayangkan kamu sedang berhadapan dengan diri kamu yang dulu yang sedang melakukan kesalahan, dimana kesalahan tersebut belum bisa kamu maafkan sampai saat ini. Setelah berhasil membayangkan hal tersebut, coba perlahan pandangi diri kamu di masa lalu tadi sembari mengungkapkan semua kekecewaan dan kesedihan yang selama ini kamu pendam, luapkan semua emosi yang sekiranya ingin kamu luapkan, jangan di tahan lebih lama lagi.
2. Emphatize: setelah merasa lega, bayangkan kembali diri kamu yang dulu meminta maaf kepada diri kamu yang sekarang dengan kata-kata yang sangat ingin kamu dengar.
3. Altruistic: Setelah mendengar semua permintaan maaf tersebut dan merasa lebih lega, bayangkan kamu yang sekarang memeluk diri kamu yang dulu sembari menepuk pundak ‘nya’ dibarengi dengan pemaafan untuk diri kamu yang dulu.
4. Commit: Setelah melalui beberapa tahap di atas, kamu diharapkan sudah memaafkan diri kamu yang dulu. Namun, jika kamu merasa masih belum bisa memaafkan sepenuhnya, tidak apa-apa, jangan dipaksakan dan coba katakan bahwa saat ini kamu memang belum bisa memaafkannya dan kamu akan segera melakukan hal ini lagi agar nantinya bisa memaafkan ‘dia’ sepenuhnya.
5. Hold: Terakhir, ketika kamu memang sudah sepenuhnya memaafkan diri kamu yang dulu, apresiasi permintaan maaf ‘nya’ tadi dengan Kembali memberikan pelukan dan menggenggam tangan ‘nya’.
Pada intinya, pemaafan membutuhkan suatu proses. Jadi, ketika pada proses pemaafan awal kamu merasa masih belum bisa sepenuhnya memaafkan, adalah hal yang wajar. Kapanpun kamu merasa siap untuk memaafkan, kumpulkan keberanian itu dan tetapkan pemikiran bahwa kamu ingin memaafkan. Meskipun terkadang suara hati seringkali bertolak belakang dengan pikiran, namun jika kamu sudah memiliki tekad dan keputusan untuk mengampuni dan membebaskan diri dari belenggu emosional, kamu pasti bisa melakukannya. “If something goes wrong, we often turn inward and blame ourselves. But is it really our fault?” Mulailah untuk lebih percaya diri dan berhentilah memukuli atau menyalahkan diri sendiri. “Being right isn’t really as important as being happy” (dari buku The Things You Can See Only When You Slow Down, karya Haemin Sunim).
Referensi:
Seligman, M.E.P. (2002) Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan Dengan Psikologi Positif. Bandung: Mizan Pustaka (Eva Yulia Lukman)
Setiyana, V. 2013. Forgiveness dan Stres Kerja terhadap Perawat. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapaan Universitas Muhammadiyah, Vol. 01, No.2. DOI: https://doi.org/10.22219/jipt.v1i2.1589
Soesilo, A. 2013. Forgiveness Dan Kesehatan: Forgiveness Sebagai Strategi Koping Untuk Promosi Kesehatan dan Reduksi Resiko-Resiko Kesehatan. Seminar/Diskusi Ilmiah Psikologi Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata.
Sunim, H. 2012. The Things You Can See Only When You Slow Down (Kim, C.Y, S.H Translator). Penguin Random House.