ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 16 Agustus 2023

 

Manusia Makhluk Gosip?

 

Oleh:

Jessica Ariela

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Gosip.. Makin digosok, makin sip..” Kira-kira seperti itulah ungkapan yang cukup sering didengar saat mendeskripsikan tentang aktivitas pergosipan. Aktivitas pergosipan ini, walaupun seringkali dihujat dan dilarang, tetapi pada kenyataannya hampir selalu ada dalam aktivitas sosial manusia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis Survei Penetrasi dan Perilaku Internet pada tahun 2023. Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa gosip dan infotainment menempati peringkat ketiga konten yang paling sering diakses masyarakat Indonesia, mengikuti konten tentang kesehatan dan olahraga (Muhamad, 2023). Lantas, apa yang menyebabkan manusia begitu suka dengan gosip? Apa yang membuat gosip dicari, bahkan semakin diperbincangkan, semakin seru?

 

Menurut Adler (dalam Schultz & Schultz, 2017), manusia dilahirkan dengan ketidakmampuan dan kelemahan, yang membuatnya memiliki perasaan inferior diri. Perasaan inferior inilah yang mendorong individu untuk berkembang dan maju. Dalam gosip, tidak dapat dipungkiri, isi dari berita dan aktivitas gosip biasanya adalah hal yang negatif mengenai orang lain. Hal ini dapat membuat individu merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Menurut Chua & de la Cerna Uy (2014), individu yang memiliki konsep diri yang buruk cenderung akan memiliki nilai diri yang buruk juga dan lebih merasa inferior, yang pada akhirnya cenderung menggunakan gosip untuk merasa diri lebih superior daripada orang lain yang menjadi obyek gosipnya. Dengan demikian, semakin ia bergosip, semakin rasa percaya dirinya terdongkrak.

 

Berkaitan dengan hal tersebut, individu yang merasa inferior seringkali merasa membutuhkan tempat di mana dirinya diterima. Eder (dalam Chua & de la Cerna Uy, 2014) mengatakan bahwa yang membuat gosip terus berjalan adalah penerimaan dari audiensnya. Faktor yang lebih menentukan gosip akan diteruskan atau berhenti bukanlah konten dari gosip itu sendiri, intensitas, ataupun nilai positif/negatif dari berita tersebut, melainkan respon dari kelompok yang menerima berita gosip tersebut.

Sebuah penelitian dari Peng et al. (2015) menemukan fenomena bergosip ini dapat dijelaskan secara neurologis. Dalam studi ini ditemukan bahwa ketika individu mendengar berita yang positif ataupun negatif tentang diri mereka, ada peningkatan aktivitas otak di bagian prefrontal cortex yang membantu mengarahkan perilaku sosial yang kompleks dari individu. Bagaimana dengan gosip tentang orang lain? Ternyata, saat mendengar berita negatif tentang orang lain, individu juga akan menunjukkan peningkatan aktivitas otak di bagian prefrontal cortex. Terlebih lagi, berita negatif tentang selebriti akan meningkatkan aktivasi di area otak caudate nucleus, yang merupakan area otak yang menimbulkan perasaan bahagia saat menerima reward. Penelitian ini juga menemukan bahwa saat individu mendengar berita positif tentang dirinya, ia akan merasa senang tetapi saat mendengar berita negatif tentang dirinya, individu akan merasa cemas. Hal ini menunjukkan bahwa individu sebagai makhluk sosial ingin untuk dapat menyesuaikan diri dan diterima dalam kelompok sosial.

 

Penulis akan menutup artikel ini dengan sebuah kisah dari seorang filsuf Yunani Kuno ternama, Socrates. Suatu hari Socrates dihampiri oleh seorang rekannya. “Socrates, saya punya berita tentang seorang temanmu, lho… Mau dengar, kah?”

Kira-kira demikianlah temannya berkata, berharap Socrates akan terpancing rasa penasarannya dan menanggapinya. Namun, Socrates dengan bijak membalas, “Eits… tunggu dulu.. Sebelum kamu bicara lebih lanjut, mari kita uji dulu dengan tiga filter ini.”

Temannya bingung, “Tiga filter apa?”

Socrates lalu melanjutkan, “Filter pertama adalah kebenaran. Apakah yang akan kamu sampaikan itu adalah sebuah kebenaran?”

Hmm.. saya nggak tahu ya, saya juga baru dengar beritanya..”

“Oke, lalu apakah berita tentang temanku ini adalah tentang hal yang baik?”

“Justru sebaliknya, ini merupakan sebuah skandal!” Ia sumringah, berharap Socrates akan menjadi tertarik dengan berita tersebut.

“Oh, jadi kamu mau memberi berita yang tidak baik, tapi belum tahu pasti kebenarannya… Kalau begitu, apakah berita ini bermanfaat?”

“Tidak juga, sih..”

Hmm… kalau apa yang mau kamu katakan itu tidak benar, tidak baik, dan tidak bermanfaat, untuk apa diberitakan?” Socrates menyimpulkan, membuat rekannya tersebut bungkam.

 

Manusia sebagai makhluk sosial tentu selama hidupnya tidak dapat terhindar dari gosip, baik gosip tentang dirinya sendiri ataupun tentang orang lain, baik gosip positif maupun negatif. Namun, manusia adalah makhluk rasional yang juga memiliki akal budi dan dapat bersikap bijak dalam menyikapi gosip. Tiga filter dari Socrates dapat menjadi tips dalam menuntun bagaimana bersikap bijak terhadap gosip.

 

Referensi:

 

Chua, S. V. & de la Cerna Uy, K. J. (2014). The psychological anatomy of gossip. American Journal of Management, 14(3), 64-69.

Muhamad, N. (2023, 14 Juni). APJII: Masyarakat Indonesia Gemar Mengakses Konten Kesehatan. Katadata.co.id. Diunduh dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/06/14/apjii-masyarakat-indonesia-gemar-mengakses-konten-kesehatan.

Peng, X., Li, Y., Wang, P., Mo, L., & Chen, Q. (2015). Negative gossip about celebrities and positive gossip about self entertain people in different ways. Social Neuroscience, 10, 320-336.

Schultz, D. P. & Schultz, S. E. (2017). Theories of Personality, Eleventh Edition. Boston, MA: Cengage Learning.