ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 15 Agustus 2023

 

Coping with Life by Coping with School?

School Refusal in Young People

 

Oleh:

Calista & Penny Handayani

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta

 

Takut pergi ke sekolah, awalnya disebut school phobia. Namun, sekarang lebih sering disebut school refusal. Berdasarkan Kawsar et al. (2022), di Amerika sekitar 2%-5% dari semua anak usia sekolah mengalami school refusal. Namun, meskipun school refusal muncul pada anak-anak di setiap usia, umumnya lebih sering muncul pada anak usia 5-6 tahun dan 10- 11 tahun (Kawsar et al., 2022). Berdasarkan beberapa penelitian, belum menemukan hasil penelitian mengenai angka prevalensi school refusal di Indonesia (Lestari & Nursalim, 2020; Nasution, 2017).

 

Pengertian School Phobia

Berdasarkan Gulliford dan Miller dalam Cline et al. (2015), school phobia atau school refusal berbeda dengan truancy atau ketidakhadiran lainnya. Perbedaan ini dapat terlihat dari tanda-tandanya. School phobia ditandai dengan kesulitan yang parah untuk masuk sekolah, gangguan emosional berat, ketidakhadiran dengan sepengetahuan orang tua, dan tidak adanya gangguan sosial yang signifikan, seperti kenakalan remaja, disruptiveness, dan aktivitas seksual (berg et al., 1969 dalam Cline et al., 2015).

 

Kesulitan yang berat untuk masuk sekolah biasanya seringkali mengakibatkan ketidakhadiran yang berkepanjangan. Gangguan emosional berat yang mungkin ditandai gejala seperti rasa takut yang berlebihan, temper tantrums, keluhan merasa sakit tanpa penyebab yang jelas ketika dihadapakan pada situasi pergi ke sekolah. Sedangkan truancy, ditandai dengan absen dari sekolah tanpa alasan yang jelas setidaknya lima kali dalam satu semester, murid tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan emosional yang menyertai ketidakhadirannya di sekolah, dan tidak hadir tanpa izin orang tua serta jauh dari rumah (Blagg & Yule, 1984 dalam Cline et al., 2015). Lalu, ketidakhadiran lainnya atau kehadiran yang buruk mirip dengan truancy yang ditandai dengan ketidakhadiran di sekolah tanpa alasan yang jelas setidaknya lima kali dalam satu semester, murid tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan emosional yang menyertai ketidakhadirannya, tetapi ketidakhadirannya di sekolah diketahui oleh orang tua yang kemungkinan sengaja diminta untuk tidak hadir agar dapat membantu orang tua yang sakit atau yang membutuhkan (Blagg & Yule, 1984 dalam Cline et al., 2015).

 

Four-function Model of School Refusal Behavior

Kearney dan Silverman (1990) memformulasikan empat set alasan utama ketidakhadiran (school refusal): 1. Untuk menghindari pengalaman kecemasan atau ketakutan yang berat terkait dengan bersekolah 2. Untuk menghindari situasi sosial yang ditakuti, atau yang menyebabkan kecemasan, seperti masalah dengan teman sebaya, mungkin karena perundungan atau ejekan, isolasi sosial di sekolah, dan masalah dengan guru (misalnya dikritik atau dihina oleh seorang guru) 3. Untuk mencari perhatian atau untuk mengurangi perasaan separation anxiety: 4. Untuk menikmati pengalaman rewarding yang didapat dari ketidakhadiran di sekolah. Misalnya, menonton televisi atau bermain game di rumah. Hal ini dapat mengarah pada keterlibatan dalam tindakan antisosial dan/atau kegiatan kriminal. Oleh karena itu, kategori ini mencakup anak-anak dan remaja yang biasanya disebut truant. 1 dan 2 merupakan negatively reinforced functions, sedangkan 3 dan 4 merupakan positively reinforced functions.

 

Key Perspectives: The Child and Family and the School

Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga, teman, dan guru berkontribusi pada perilaku school refusal (Cline et al., 2015). Dinamika keluarga, seperti interaksi orang tua dengan anak, parenting styles dapat menjadi faktor perilaku school refusal anak. Lalu, guru terkait dengan cara mengajar, kurikulum, dll dapat kemungkinan mempengaruhi perilaku school refusal. Dalam pertemanan, tidak memiliki teman atau dibully dapat mendorong munculnya masalah school refusal.

 

Epidemiology of School Refusal

Berdasarkan Berg (1996) dalam Cline et al. (2015), secara aspek epidemiologis, school refusal tidak dipengaruhi oleh gender tertentu, status sosial tertentu, ataupun kemampuan akademik. School refusal ditemukan lebih sering dialami oleh anak bungsu dari keluarga yang terdiri dari beberapa anak (Berg, 1996 dalam Cline et al., 2015). School refusal juga ditemukan seringkali dialami oleh anak dengan orang tua yang lebih tua dari yang diekspektasikan. Berdasarkan Gulliford dan Miller (2015), school refusal lebih mungkin terjadi pada remaja muda pada masa transisinya dari sekolah dasar (SD) ke sekolah menengah (SMP).

 

Onset munculnya school refusal cenderung bertahap, tetapi mungkin juga terjadi secara tiba-tiba setelah libur panjang sekolah, tidak masuk dalam jangka waktu yang lama karena sakit, peristiwa menyedihkan atau muncul secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Berdasarkan Ingul dan Nordahl (2013) terbukti adanya hubungan yang kuat antara social anxiety dan school refusal. Berdasarkan perspektif ekologi, terdapat beberapa konteks di sekolah yang mungkin terkait dengan permulaan dan tingkat keparahan school refusal (Lauchlan, 2003 dalam cline et al., 2015). Beberapa konteks yang dimaksud, seperti lingkungan sekolah yang memiliki tingkat penindasan (bullying), truancy dan disruption yang tinggi, pengaturan sekolah yang membuat individu dikelompokkan dengan sejumlah teman sebaya yang menyusahkan dan tidak peduli, hubungan guru dan murid yang terlalu formal, impersonal, ataupun bermusuhan, serta sekolah dengan toilet, koridor dan playground yang tidak terpantau atau terawat oleh staf.

 

Konsekuensi dari School Refusal

Berdasarkan carroll (2010), school refusal berpotensi pada penurunan prestasi akademik, penurunan kinerja dari ujian, dan pilihan karir yang berkurang. Berdasarkan beberapa penelitian juga teridentifikasi bahwa school refusal merupakan faktor utama selfharm, dan perilaku berisiko lainnya, seperti percobaan bunuh diri, penggunaan zat, dll (cline et al., 2015). School refusal juga dapat berdampak pada masalah jangka panjang di masa dewasa, seperti pernikahan, kesulitan pekerjaan dan ekonomi, gangguan kecemasan, depresi, alcoholism dan perilaku antisosial (Kearney 2008; Dembo et al., 2013 dalam Cline, 2015).

 

Isu School Phobia atau School Refusal di Indonesia

Berdasarkan beberapa penelitian di Indonesia, terlihat bahwa masalah school refusal lebih sering muncul pada pada anak usia 3-7 tahun (Lestari & Nursalim, 2020; Nasution, 2017; Manurung, 2012). Hal yang melatarbelakangi masalah school refusal pada rentang usia tersebut juga cenderung terkait dengan separation anxiety. Penelitan studi kasus Manurung (2012) menemukan bahwa hal yang memicu school refusal pada salah satu dari dua partisipan penelitiannya adalah separation anxiety. Lalu, berdasarkan studi kepustakaan Lestari dan Nursalim (2020), ditemukan bahwa 12 dari 23 jurnal yang digunakannya, ada kesamaan faktor penyebab school refusal, yaitu separation anxiety. Namun, juga terdapat faktor lain yang menyebabkan munculnya school refusal, seperti kurangnya kesiapan bersekolah, adanya pengalaman negatif di sekolah (seperti takut pada guru tertentu), pola asuh orang tua yang berlebihan (memanjakan anak), kesulitan akademik, masa transisi, dan pikiran negatif (Lestari & Nursalim, 2020; Nasution, 2017.

 

Coping with Life by Coping with School?

Mengatasi masalah atau tekanan dalam hidup adalah syarat utama untuk mempertahankan fungsi adaptif. Fungsi adaptif (resiliensi) merupakan mekanisme yang penting untuk mengurangi risiko masalah kesehatan mental di masa depan. Berhasil mengatasi suatu tekanan akan memperkuat resiliensi individu dalam menghadapi tekanan di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk mengatasi masalah yang melatarbelakangi school refusal pada anak agar fungsi adaptifnya dapat berkembang. Penting bagi anak-anak dan remaja untuk mengembangkan keterampilan sosial dan organisasi yang dibutuhkan dalam mengelola lingkungan sekolahnya.

 

Masalah school refusal adalah masalah yang harus secepatnya ditangani karena jika terjadi secara berkepanjangan dapat menghambat perkembangan kognitif, sosial, dan psikososial anak bahkan dapat membuat anak tinggal sekolah. Selain itu, berdasarkan Cline et al. (2015) semakin lama school refusal berlangsung, akan semakin sulit juga dalam membuat anak mau kembali bersekolah.

 

Referensi:

 

American Journal of Psychoanalysis, 75, 37-45. doi:https://doi.org/10.1057/ajp.2014.51

Cline, T., Gulliford, A., & Birch, S. (2015). Educational psychology: Topics in applied psychology. Routledge.

Kawsar, M. S., Yilanli, M., & Marwaha, R. (2022). School refusal. StatPearls.

Lestari, M. D., & Nursalim, M. (2020). Studi kepustakaan faktor-faktor penyebab ”school refusal" di sekolah dasar. Jurnal BK UNESA, 11(4), 565-582.

Manurung, N. (2012). School refusal pada anak sekolah dasar. Jurnal Psikologi Undip, 11(1), 83-92.

Nasution, E. S. (2017). Gambaran school refusal pada anak. JP3SDM, 6(1), 21-32.