ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 15 Agustus 2023

 

Strawberry Generation Katanya Generasi Rapuh, Benarkah?

 

Oleh:

Fattaahunisa Alayya & Dina Nazriani

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

“Duh, stres banget nih tugas kampus ga selesai-selesai”, “Aku butuh healing deh, ke pantai”, “Aku mau ambil cuti, mau healing dulu lah dua minggu ke Bali.” Healing menjadi kata yang kerap sekali diucapkan oleh para generasi Z saat ini. Generasi z merujuk pada individu yang lahir antara tahun 1995 sampai tahun 2010 (Rachmawati, 2019). Salah satu penelitian menyebutkan bahwa generasi z merupakan generasi yang unik, beragam, mampu menggunakan tenknologi canggih. Namun, Generational White Paper pada tahun 2011 menyebutkan bahwa generasi z cenderung tidak sabar, menyukai berpikir instan, individualistis, lebih banyak menuntut, dan terlalu bergantung dengan teknologi (Singh & Dangmei, 2016).

 

Dalam bukunya yang berjudul Strawberry Generation, Professor Rhenald Kasali (2017) merepresentasikan generasi z saat ini seperti buah strawberry. Buah merah yang merona dengan bentuk eksotis dan indah ternyata mudah sekali hancur. Seperti generasi saat ini, yang sebenarnya kreatif dengan segudang ide, tetapi mudah hancur ketika mendapat tekanan, digerus kompetisi dan ketidakpastian (Kasali, 2017). Berdasarkan hasil sensus penduduk (2020), mayoritas penduduk Indonesia di dominasi oleh generasi z atau sebesar 27,94 persen dari total populasi. Kemudian, Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, menunjukkan ada lebih dari 19 juta penduduk berusia diatas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia diatas 15 tahun mengalami depresi. Hal ini tampaknya mendukung pernyataan bahwa generasi z merupakan generasi yang tidak cukup tangguh (Rokom, 2021).

 

Lantas, mengapa fenomena ini bisa terjadi? Salah satu yang dapat memengaruhi terjadinya strawberry generation ialah pola asuh. Orang tua pada masa kini umumnya memiliki kehidupan yang lebih sejahtera dan membuat mereka memanjakan anak, sehingga membuat anak menjadi lemah, baik secara fisik maupun mental (Hapsari, Meilani, & Nabillah, 2021). Memang, orang tua pada dasarnya ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Namun, memanjakan anak secara berlebihan akan membuat anak tidak mandiri, tidak belajar bertanggung jawab, dan menjadi bergantung dengan orang lain. Kemudian, orang tua yang terlalu banyak menuntut atau biasa dikenal dengan pola asuh otoriter dapat menghilangkan kesempatan bagi anak untuk mengemukakan pendapat, menetapkan banyak batasan, mengharuskan anak mengikuti perintah orang tua, dan hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi mental anak.

 

Perkembangan teknologi juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya fenomena strawberry generation ini. Generasi ini memiliki literasi media yang baik terutama dalam hal kesehatan mental (Claretta, Rachmawati, & Sukaesih, 2022). Informasi mengenai kesehatan mental mudah sekali untuk diakses, misalnya melalui sosial media. Alhasil, mereka menjadi lebih aware terhadap kondisi psikologis yang dialaminya. Satu sisi ada positifnya, namun di sisi lain tak jarang mereka menjadi melakukan self-diagnose. Merasa sedang mengalai stres berat, depresi, atau bahkan anxiety. Kemudian healing dengan travelling seolah menjadi satu-satunya solusi. 

 

Healing merupakan salah satu bentuk coping stres. Mengetahui bentuk coping stres merupakan hal yang penting. Coping stres didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan eksternal dan/atau tuntutan internal tertentu yang dianggap melebihi sumber daya yang ada pada individu tersebut (Lazarus & Folkman, 1986). Menurut Lazarus, ada dua cara untuk melakukan coping stres yaitu, emotion focused coping dan problem focused coping. Emotion focused coping  berfokus menangani stres secara internal dengan memberikan respon emosional terhadap kondisi dan situasi yang sedang dialami, khususnya dengan pertahanan psikologis dari ketidakberdayaan. Fokusnya untuk mengurangi stres dengan menenangkan diri. Problem focused coping merupakan penanganan stres dengan cara mencari sumber masalah, menghadapi masalah dan menyelesaikannya. Nah, healing dalam konteks coping stress, termasuk ke dalam bagian emotion-focused coping di mana individu lebih menekankan pada usaha yang disadari bertujuan menurunkan emosi negatif yang dirasakan ketika menghadapi masalah atau tekanan (Hikmah, Fauziyah, Septiani, & Lasari, 2022). Untuk beberapa masalah, strategi emotion-focused coping cukup efektif dalam pengendalian emosi dan reaksi psikologis. Tetapi, strategi ini tidak bisa mehilangkan sumber penyebab stress. Ketika seseorang sudah merasa tenang, emosinya lebih stabil,  kemudian dapat dilanjutkan dengan upaya menemukan solusi untuk menghilangkan penyebab stressor yang juga disebut dengan problem focused coping (Hikmah, Fauziyah, Septiani, & Lasari, 2022).

 

Strawberry generation tak selamanya rapuh. Untuk menjadi tangguh, ada beberapa hal yang bisa diperhatikan. Pertama, pahami dirimu sendiri. Orang yang paham mengenai potensi, kelebihan, serta kelemahan yang dimilikinya dapat menggunakan hal tersebut untuk mengatasi tekanan yang akan dihadapinya. Kedua, miliki growth mindset. Mereka yang memiliki growth mindset, akan melihat kegagalan sebagai pelajaran, lebih berpandangan positif terhadap kritik yang diberikan, menerima tantangan dan bersungguh-sungguh menjalankannya (Chrisantiana & Sembiring, 2017). Keempat, fokus untuk mengontrol hal-hal yang berada di bawah kendali kita. Kita tidak bisa mengontrol apa yang tidak dapat dikendalikan, misalnya kritikan, pendapat orang lain, popularitas, status. Terakhir, ingatlah bahwa tiap orang punya masalah yang berbeda. Kalaupun masalahnya sama, tentu solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut akan berbeda. Hidup bukanlah sebuah ajang balapan. Jangan sampai kita bertanding di kompetisi yang salah, yang sebenarnya bukan yang kita inginkan.

 

Referensi:

 

Chrisantiana, T. G., & Sembiring, T. (2017). Pengaruh growth dan fixed mindset terhadap grit pada mahasiswa fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung. Humanitas, 1(2), 133-146.

Claretta, D., Rachmawati, F., & Sukaesih, A. (2022). Communication pattern family and adolescent mental health for Strawberry Generation. International Journal of Science and Society, 4(3), 79–93. DOI:10.54783/ijsoc.v4i3.501

Folkman, S. Lazarus, R.S. Gruen D.A. (1986). Appraisal, coping, health status, and psychological symptoms. J Pers Soc Psychol, 50(3). https://doi.org/doi: 10.1037//0022-3514.50.3.571. PMID: 3701593.

Hapsari, S., Meilani, T., & Nabillah, Z. (2021). Strawberry generation: dilematis keterampilan mendidik generasi masa kini. Jurnal Pendidikan, 31(2), 237-244.

Hikmah, N., Fauziyah, N.K., Septiani, M., & Lasari, D.M. (2022). Healing sebagai strategi coping stress melalui pariwisata. Indonesian Journal of Tourism and Leisure, 3(2), 113-124. DOI: 10.36256/ijtl.v3i2.308

Badan Pusat Statistik. (2021). Hasil Sensus Penduduk 2020. Retrieved April 27, 2023, from https://demakkab.bps.go.id/news/2021/01/21/67/hasil-sensus-penduduk-2020.html

Kasali, R. (2017). Strawberry generation: Mengubah generasi rapuh menjadi generasi tangguh. Bandung: Mizan.

Rachmawati, D. (2019). Welcoming gen z in job world. Proceeding Indonesia Career Center Network Summit IV. Samarinda: 17-18 Oktober 2019. Hal. 21-24

Rokom. (2021, October 7). Kemenkes Beberkan Masalah Permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia. Sehat Negeriku. Retrieved April 27, 2023, from https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/

Singh, A., & Dangmei, J. (2016). Understanding the generation z, the future workforce. South-Asian Journal of Multidisciplinary Studies, 3(3),1-5.