ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 14 Juli 2023

 

Ruang Jumpa Itu Perlu Diperkenalkan Sejak Dini

 

Oleh:

Eko A. Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pendahuluan

Saya dan keluarga berkesempatan mengunjungi daerah wisata yang bisa jadi paling ramai se-Indonesia yakni Bali. Sejak persiapan perjalanan, saya dan istri sebagai orang tua tidak membicarakan kondisi sosial budaya di Bali. Hal yang kami ceritakan sebatas tujuan-tujuan wisata yang akan kami kunjungi, tidak lain dan tidak bukan. Dengan demikian, apa yang dibayangkan anak-anak kami adalah tempat yang dituju, bukan hal-hal mengenai kehidupan masyarakat Bali dan lainnya.

 

Pertemuan yang Nyata

Tiba di Bali hal yang jelas terlihat di bandara adalah banyaknya orang-orang yang sehari-hari kita sebut sebagai orang asing sebagai wisatawan mancanegara (wisman). Sepanjang jalan menuju penginapan juga sama, bahwa yang mereka lihat bahwa banyak wisman yang lalu lalang di jalan. Pemandangan ini bukan pemandangan alami kami di Jakarta. Hal ini menjadi pengalaman baru bagi anak-anak kami. Di tempat tujuan wisata juga sama. Banyak pengunjung, setidaknya terdapat warga Australia, Uzbekistan, India, dan Jepang yang kami temui.

 

Selama beberapa hari di Bali, membuat kami sekeluarga berhadapan langsung dengan kondisi sosial budaya yang dapat dikatakan berbeda sama sekali. Kami juga berhadapan dengan toko-toko kuliner yang jelas tidak dapat kami konsumsi sebagai Muslim semisal toko minuman keras dan warung makan yang menjual daging babi. Adapun tempat ibadah/sembahyang yang juga tidak sama menjadi perhatian bagi anak-anak kami. Kami hanya melihatnya dan tentu hal itu membuat anak-anak kami bertanya-tanya.

 

Keadaan Lingkungan Pemicu Kondisi Psikologis

Di Bali, kami dalam posisi yang bukan mayoritas (sebagai keluarga Muslim dan bersuku bangsa Jawa). Pengalaman menjadi minoritas bukan hal yang mudah ditemui sehari-hari. Kondisi sebagai minoritas membuat beberapa hal tidak mudah diakses atau setidaknya perlu dipikirkan. Sebagai contoh mengenai makan. Menemukan makanan yang halal banyak dan ada di mana-mana. Namun kami juga berpeluang untuk menemui makanan yang tidak dapat kami makan karena alasan haram yang berarti kami tidak diperkenankan memakannya.

 

Di sisi lain, anak saya menemukan makanan baru seperti sate lilit. Jenis makanan sate yang tidak mudah ditemukan di Jakarta. Dia senang sekali dengan apa yang belum pernah rasakan. Menjadi unik baginya karena bentuknya tidak seperti sate pada umumnya.

 

Melihat masyarakat Bali dan wisman, sebagai suatu pengalaman baru. Bagi anak-anak saya, pertemuan dengan kedua tipe masyarakat ini bukan pengalaman kesehariannya. Perbedaan dirinya dengan wisman secara umum jelas yakni dirinya adalah orang Asia, sementara wisman yang sering ditemui di Bali adalah orang Kaukasia. Bagi orang Bali, tentu tidak mudah membedakan dirinya dengan mereka. Hal yang pasti adalah mereka berbeda.

 

Bali, Uji Hipotesis Kontak

Bhinneka tunggal ika (BTI) yang disebut sebagai kecenderungan dukungan seseorang terhadap gagasan keberagaman yang satu meliputi hak etnik, hak kelompok agama, semangat nasional, toleransi hidup beragama, dan kewajibannya terhadap gagasan menjadi kesatuan masyarakat (Meinarno, 2017) terlalu dini dianggap telah dilakukan oleh anak-anak kami. Namun, gejala dan obyek dari keberagaman telah mereka alami. Pengalaman inilah yang menjadi modal penegakan BTI.

 

BTI membutuhkan modal kondisi dan tingkah laku sosial. Salah satunya adalah seberapa sering individu atau kelompok menjumpai dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain yang memungkinkan perubahan tingkah laku (Meinarno, Widianto, & Halida, 2015). Harapannya semakin sering terjadi pertemuan dan kontak, maka prasangka akan berkurang (Schmid & Hewstone, 2010; Meinarno & Putra, 2023). Hal ini dikarenakan pertemuan membuka peluang interaksi. Interaksi memperbesar peluang saling memahami dari satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Ini yang dikenal sebagai landasan pikir hipotesis kontak.

 

Hipotesis kontak meyakini kontak yang terjadi pada individu-individu dari satu kelompok terhadap individu dari kelompok lainnya akan mengurangi prasangka (Pettigrew, 1997 dalam Baron & Branscombe, 2014). Selanjutnya hubungan hasil kontak tadi perlahan meningkat kualitasnya sehingga mengurangi prasangka antarkelompok (Laursen 2013 dalam Afandi, Faturochman, & Hidayat, 2021).

 

Dalam konteks anak-anak di Bali, kontak pertama mereka yakni tatap muka berpotensi kekakuan identitas sosial yang sudah terbentuk dan membuka perlahan peluang untuk melihat kelompok lain sebagai wujud identitas lain. Keberadaan mereka di Bali mempunyai kepentingan yang sama yakni untuk berlibur. Dengan demikian keberadaan orang lain (wisman) tidak dilihat sebagai ancaman. Setidaknya anak-anak paham bahwa wisman itu hendak berlibur juga. Kontak kebudayaan juga terjadi, yakni dalam hal tingkah laku berupa makanan, tarian, dan tata hidup masyarakat Bali. Sikap saling menghormati terhadap kelompok lain sejalan dengan ide nilai nasional yakni nilai kemanusiaan (Meinarno & Susilowati, 2022). Pertemuan ini membuka wawasan baru mengenai kelompok lain yang perlu dipahami dan dimengerti sebagai bagian dari menjadi orang Indonesia.

 

Setelah kami selesaikan liburan kami, anak-anak kembali dengan kondisi awal. Hidup di Jakarta lengkap dengan atribut-atribut awal. Setidaknya liburan kemarin membuka ide tentang hidup bersama itu adalah nyata (Sparingga, 2003). Hidup berdampingan dengan yang berbeda, tapi ada dengan kepentingan yang sama.

 

Melakukan kontak pertama (fisik dan kebudayaan) ini juga memperkuat bangunan BTI yang secara internal tengah dibangun. Sebagaimana paparan Meinarno (2023) mengenai Agnez Mo yang mewakili generasi baru Indonesia, bahwa BTI tumbuh dengan gaya baru yang sejalan dengan tulisan Meinarno dan Pudjiati (dalam proses penerbitan) bahwa orang tua perlu mendesain situasi BTI. Melalui pemikiran dan desain itu maka anak-anak/generasi muda sekarang akan menyadari dirinya yang khas dan keberadaan kelompok lain yang nyata adanya.

 

Penutup 

Bali menjadi ruang jumpa baru bagi anak-anak kami. Mereka melihat sosial budaya yang tidak pernah dilihat, disentuh, dan dirasakan di Jakarta. Mereka lihat kehadiran yang bukan bagian dari kelompoknya, mereka melihat bentuk kebudayaan yang tidak mereka tahu, mereka menikmati makanan khas yang dibuat oleh orang Bali, mereka tahu tempat persembahyangan kecil dari agama Hindu (pelinggih), mereka tahu alasan utama wisman berdatangan ke Bali, dan lain-lain yang sangat mungkin tidak dapat saya ketahui dari benak anak-anak kami. Mereka melakukan kontak pertama. Sebuah modal dasar bagi generasi mendatang agar terbangun sikap BTI yang positif di masa depan.

             

Referensi:

 

Afandi, I. N., Faturochman, F., & Hidayat, R. (2021). Teori Kontak: Konsep dan Perkembangannya. Buletin Psikologi, 29(2), 178-186.

Baron, RA., Branscombe, NR. (2014). Social psychology. 13th ed. Pearson.

Meinarno, EA. (2017). Peran identitas etnis, identitas agama, dan identitas nasional yang dimediasi nilai nasional terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Disertasi tidak dipublikasikan. Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta.

Meinarno, E. A. (2023). Gejala Agnez Mo: Bhinneka Tunggal Ika yang Milenial. Buletin KPIN, 9(2). https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1201-gejala-agnez-mo-bhinneka-tunggal-ika-yang-milenial.

Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. (2015). Manusia dalam kebudayaan dan masyarakat. Jakarta. Salemba Humanika.

Meinarno, EA., Susilowati, E. (2022). Modul kerja 11. Pancasila: Dari kognitif menjadi psikomotorik. Jakarta. Penerbit Universitas Katolik Atma Jaya.

Meinarno, EA., Putra, IE. (2023). Psikologi Sosial Dalam Terapan: Turut Serta Merayakan Imlek. Buletin KPIN. Vol. 9 No. 03 Februari 2023. https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1216-psikologi-sosial-dalam-terapan-turut-serta-merayakan-imlek

Meinarno, EA., Pudjiati, SRR. Bhinneka Tunggal Ika itu Alami. Buletin KPIN dalam proses penerbitan.

Schmid, K., Hewstone, M. (2010). Combined effects of intergroup contact and multiple categorization: Consequences for intergroup attitudes in diverse social context. In The psychology of social and cultural diversity. Ed. by Richard J Crisp. Wiley-Blackwell.

Sparingga, DT. (2003). Multikulturalisme dalam multiperspektif di Indonesia. Dalam Etika Multikultural. Penyunting Martono. Surabaya. Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur.