ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 14 Juli 2023
Melangkah Bersama: Peran Guru dan Peningkatan Life Skills Anak Tunanetra
Oleh:
Desi Lukuaka, Melda Limaheluw, & Wahyuni Kristinawati
Fakultas Psikologi, Program Studi Magister Sains Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Keterbatasa fisik tidak menghalangi seseorang untuk berkembang dan meraih kesuksesan dalam hidup. Hal ini juga berlaku bagi anak-anak tuna netra yang memiliki keterbatasan penglihatan namun tetap bisa belajar dan mengasah kemampuan mereka di berbagai bidang, termasuk life skill. Life skill merujuk pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dan bertindak secara positif, sehingga mereka dapat merespons kebutuhan dan tantangan sehari-hari dengan efektif. Secara esensial, life skill meliputi kemampuan seseorang untuk memahami diri mereka sendiri serta potensi yang dimiliki dalam kehidupan. Life skill meliputi berbagai aspek, seperti keterampilan sosial, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, manajemen waktu dan finansial, serta kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif (Nursafitri dkk, 2020).
Kemampuan life skill sangat penting bagi setiap individu karena dapat membantu mereka untuk menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri dalam menjalani hidupnya, termasuk pada anak berkebutuhan khusus tunanetra. Hal ini didukung oleh lembaga kesehatan dunia WHO (World Health Organization) pada tahun 2004, yang menyatakan terdapat sekitar 60 juta orang tunanetra di dunia yang membutuhkan akses terhadap buku dan informasi dengan alasan agar sama seperti orang normal. Menurut WHO, para tunanetra juga membutuhkan longlife learning atau pembelajaran seumur hidup (Nahlisa & Christian, 2015). Tunanetra merujuk pada kondisi dimana seseorang mengalami kelainan indera penglihatan sehingga mata tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Secara etimologi, kata tunanetra berasal dari gabungan antara kata tuna yang artinya rusak dan netra yang artinya mata atau cacat mata (Wikasanti, 2014).
Melalui pengajaran life skill, anak tunanetra diajarkan cara menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan saat ini maupun di masa depan. Oleh karena itu, bisa dapat dikatakan bahwa life skill merupakan hal jangka panjang yang bertujuan memberikan manfaat bagi individu di setiap waktu dan tempat tanpa terbatas oleh batasan tertentu. Kemampuan anak tunanetra dalam mengatasi dunia yang berbeda dari lingkungan mereka sendiri sangat dipengaruhi oleh pembelajaran life skills. Tulisan ini akan berfokus pada peran guru dalam meningkatkan life skill anak tunanetra.
Seorang guru memiliki tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak dan tentunya memiliki banyak tugas dalam menjalankan perannya. Sebagai orang yang memiliki peran utama dalam menjalankan program pendidikan di sekolah guru memainkan peran yang sangat penting dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan oleh karena itu, kualitas dan kuantitas pengajaran yang dilakukan oleh guru memiliki peran yang signifikan dalam hal ini (Yusuf dan Sugandhi, 2013). Dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus, seperti anak tunanetra, peran guru menjadi sangat penting dalam membantu mereka mengembangkan keterampilan hidup atau yang disebut dengan life skill yang diperlukan untuk melangsukan kehidupan mereka. Kepekaan terhadap perilaku anak tunanetra merupakan aspek yang sangat penting bagi seorang guru. Hal ini memungkinkan guru untuk memahami dengan baik perilaku anak didiknya di dalam sekolah maupun di rumah. Dengan pemahaman ini guru dapat mengidentifikasi dan mengetahui potensi anak didik serta membantu mereka untuk mengembangkannya, selain itu dapat mengantisipasi kemungkinan perilaku tak terduga yang mungkin akan muncul akibat kebutaan anak didik tersebut (Brades, 2023).
Peran guru dalam meningkatkan life skill pada anak tunanetra meliputi beberapa hal: pertama, menciptakan suatu atmosfer pembelajaran yang inklusif bagi anak-anak tunanetra, yang memberikan rasa penerimaan, penghargaan, dan dorongan agar mereka berpartisipasi aktif. Selain itu, guru juga harus memahami kebutuhan unik dari setiap anak tunanetra dan menyediakan materi pembelajaran yang tepat, termasuk penggunaan alat bantu pengajaran yang sesuai (Suryadi, dkk. 2020). Selain itu hal penting yang tidak kalah penting adalah mengajarkan anak untuk merawat diri sendiri, kemampuan menyesuaikan diri serta keterampilan sehari-hari lainnya. Anak-anak dididik agar mampu melakukan aktivitas yang menjadi kebutuhannya sehari-hari dengan baik, seperti merawat diri meliputi, cara duduk dan berdiri yang baik serta keterampilan-keterampilan dasar dalam kehidupan sehari-hari misalnya makan, tidur, mencuci pakaian, mandi, memasak, berhias dan lain-lain. Anak tunanetra harus mampu mandiri atau sekurang-kurangnya tidak selalu bergantung, serta dapat menunjukan sikap dan perilaku yang wajar. Kebutaan yang dialami sering menyebabkan seseorang menjadi sangat bergantung kepada orang lain serta sikap-sikap psikologis lainnya yang negatif seperti rendah diri, putus asa, kurang percaya diri dan lain-lain. Program pendidikan bagi anak tunanetra justru dimaksudkan untuk mengurangi dampak- dampak negatif tersebut (Mangunsong, 2009).
Kedua, Orientasi dan mobilitas. Orientasi merupakan proses pemanfaatan indera-indera yang masih dapat difungsikan untuk mengidentifikasi dan mengenali serta menempatkan posisi diri diantara lingkungan sekitarnya. Mobilitas merupakan kemampuan yang dimiliki agar dapat mudah bergerak dan berpindah tempat. Selain itu mobilitas berarti kemampuan bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain (Rahardja, 2006). Hal ini dilakukan agar anak tunanetra dengan sederhana dapat memiliki kemampuan untuk mengenali posisi dan keberadaannya, dimana, dengan siapa atau apa saja yang ada disekitarnya dan mampu bergerak berpindah tempat secara tepat, cepat dan aman. Ketiga, ketrampilan berkomunikasi, yang meliputi kemampuan untuk berbicara, mendengar, berbicara dan menulis. Ketrampilan mendengar adalah hal yang harus dilatih karena hal ini tidak dapat terbentuk sendiri sebagai sebuah pengecualian kurangnya penglihatan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa bantuan dari alat-alat yang dirancang khusus untuk anak tunanetra seperti, reglet dan stilus, mesik tik braille, tape recorder dan talking book, alat bantu optikal dan lain sebagainya (Mangunsong, 2009). Keempat adalah stimulasi penglihatan/sensoris, anak tunanetra akan mengandalkan sepenuhnya dari indra-indra yang masih dimiliki dan berfungsi dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupannya. Hal ini dapat membantu anak tunanetra agar mampu mengenali bermacam-macam bunyi/suara dari berbagai objek; mengenali bermacam-macam bentuk melalui perabaan, mengenali bermacam-macam rasa dari berbagai objek, mengenal bau objek dan lain-lain. Kemudian mampu membedakan satu objek dari objek lain. Mampu membedakan suara guru, suara ibu di antara suara-suara anggota keluarga yang lain. Selain itu juga anak tunanetra mampu memastikan keberadaan dan mengenali lebih jauh karakteristik khusus dari satu objek, baik melalui pendengaran, perabaan, penciuman maupun pengecapan pada lingkungannya (Mangunsong, 2009).
Peran guru dalam keberlangsungan hidup, melatih dan mengembangkan life skill anak tunanetra berperan penting. Life skill dapat membantu mengajarkan anak-anak tunanetra agar mampu menggunakan kemampuan yang mereka miliki dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta dalam menghadapi berbagai masalah yang ada pada lingkungan sekolah maupun dirumah. Guru sebagai pengajar dan orang terdekat setelah orang tua anak tunanetra memiliki kemampuan, pengetahuan serta pengalaman yang dapat digunakan untuk mendukung tumbuh dan kembang anak. Dengan adanya peran guru anak tunanetra dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan, menjadi anak yang mandiri, berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan baik.
Referensi:
Brades,M. K. (2023). Peran Guru Dalam Tumbuh Kembang Anak Tunanetra Majemuk di Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala Jakarta Timur. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9(2), 351-361.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jilid kesatu. Depok: LPSP3 UI. Munandar, U. (2014).
Nahlisa, R.M. dan Christiani Rukiyah, Lydia. 2015. “Buku Braile Sebagai Jembatan Keterbatasan Akses Informasi Siswa Tunanetra Sekolah Luar Biasa Bagian A Dria Adi Semarang”. dalam Jurnal Ilmu Perpustakaan. Vol. 4, No. 2 (2015): April 2015 hlm. 1-8. Semarang: Universitas Diponegoro
Nursafitri, lfina Dwi Ferlyna Balqis, Muhammad Dori Eko Suryadi. 2020.“Penerapan Life Skill pada Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif”. dalam Jurnal Ortopedagogia,Volume 6 Nomor 2 November 2020: 100 - 103 Semarang: Universitas Negeri Jakarta.
Rahardja, D. (2006). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Universitas Tsukuba: Criced.
Syamsu Yusuf dan Nani M.Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik ( Jakarta:Rajawali Pers, 2013 ),139.
Wikasanti. E, Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan Khusus (Jogjakarta: Redaksi Maxima, 2014), 9-10.-10.