ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 14 Juli 2023

 

Ketika Ancaman Hukuman Tak Menjerakan Pemutilasi

Maka di Situ Psikologi Berperan

 

Oleh: 

Tugimin Supriyadi & Didik Rochyadi Mangkupradja

Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

 

Kejahatan pembunuhan yang kemudian dilanjutkan dengan mutilasi, menjadikan masyarakat kita panik. Hal itu tak lain dan tak bukan karena ancaman hukuman 20 tahun penjara sampai dengan hukuman seumur hidup, atau bahkan hukuman mati sekalipun tidak mampu membuat “jera” pelaku. Belakangan kejahatan pembunuhan sadistis terus saja terjadi. Hal ini yang membuat miris masyarakat kita. Apalagi ketika ancaman hukuman tak mampu menjerakan.

 

 Kata-kata “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu

merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun”,  rupanya belum terlalu ampuh untuk menggugurkan niat seseorang untuk melakukkan kejahatan pembunuhan, dan juga dilanjutkan dengan pemutilasian. Tentu saja ini menimbulkan tanda Tanya besar, kenapa?

 

Jawabannya tentu berbagai macam versi sesuai dengan bidang keahlianya masing-masing. Yang dari bidang hukum, jawaban bisa jadi, karena pemerintah, polisi dan pakar hukum belum maksimal dalam melakukkan sosialisasi. Sementara dari sisi psikologis, jawabannya adalah perlu “sentuhan psikologis” agar individu tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain akibat perbuatannya.

 

Kejahatan pembunuhan disertai mutilasi masih terus saja terjadi.  Niat pelaku yang merasa bisa menghilangkan jejak setelah memutilasi, selama ini banyak terbantahkan karena keberhasilan petugas mengungkap peristiwanya, seolah diabaikan begitu saja.

Kasus pembunuhan berencana disertai mutilasi di Klaten, Jawa Tengah, dipicu masalah sepele, uang Rp 20.000. Anehnya, walaupun diancam dengan hukuman 20 tahun penjara, atau mungkin seumur hidup, dan bahkan ancamannya hukuman mati, pelaku tidak menyesali perbuatannya. Pada Kamis (22/6/2023) dini hari, Turah alias Daud (40) asal Wonosobo membunuh Ratna (57) di Desa Nangsri, Kecamatan Manisrenggo, Klaten. Keduanya adalah teman yang tinggal dalam rumah yang sama. ”Saya tidak menyesal. Saya dituduh mencuri Rp 20.000. Ide (membunuh) muncul dari diri sendiri,” kata Turah di Klaten, Kamis siang.

 

Rasa sakit hati memicu terjadinya kasus mutilasi di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Perasaan itu timbul gegara pelaku tidak dipinjami sepeda motor oleh korbannya. Pelaku memutilasi korbannya untuk menghilangkan jejak atas tindak pembunuhan berencana yang dilakukannya. Sejatinya, Suyono dan Rohmadi merupakan rekan kerja di sebuah toko mebel di Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo. Niat membunuh muncul dalam benak Suyono sejak Rabu (17/5/2023). Pasalnya, Rohmadi tak mau meminjamkan sepeda motornya kepada Suyono. Penolakan itu membuatnya jengkel sehingga merencanakan pembunuhan.

 

Sementara kasus mutilasi dilakukkan oleh seorang pekerja air isi ulang (Mh, 27 tahun ) menghabisi nyawa juragannya dengan keji. Mh menghantam kepala kurban dengan linggis dari pelipis kanan tembus ke pelipis kiri. Tersangka Hh kemudian memutilasi juragannya menjadi 4 empat bagian, dan selanjutnya di cor dengan semen. Sontak peristiwa ini menjadi berita terheboh di bulan Mei 2023, dan menjadi tending topik media nasional. Tersangka menyimpan dendam yang amat sangat (kalau tidak mau dibilang dendam kesumat). Tersangka juga sering direndahkan dan dikucilkan. Kemudian tersangka juga merasa hidupnya tidak dihargai.

 

Ke tiga contoh ini menjadi gambaran, betapa mudahnya seseorang melakukkan kejahatan pembunuhan dikarenakan  masalah-masalah yang terbilang sederhana, namun membuat pelaku kalap dan lupa diri. Selain itu, pelaku rata-rata tidak menyesali perbuatannya. Mereka merasa puas karena sakit hatinya terobati.

 

Image yang penulis kembangkan dalam setiap kesempatan adalah “dimana ada aktivitas manusia-di situ psikologi berperan,” sehingga peristiwa pembunuhan mutliasi merupakan tantangan  bagi psikolog-psikolog kita, khususnya yang menekuni permasalahan seperti ini, termasuk psikolog forensik,psikolog klinis,  psikolog Kriminal, dan psikolog sosial. 

 

Ada yang memicu kita untuk intes memberikan perhatian serius ke permasalahan pembunuhan disertai mutilasi, karena peran kita kemungkinan besar akan sangat dibutuhkan membantu pemahaman dan penyadaran pelaku-pelaku pembunuhan yang disertai dengan mutilasi, bahwa mereka akan berhadapan dengan hukum.

 

“Perasaan puas” karena dendam kesumat yang membuat pelaku pembunuhan disertai mutilasi tidak menyesal, menjadi “PR” kita semua sebagai insan psikologi. Setidaknya peran kita sebagai psikolog, minimal mampu memberikan “sentuhan psikologis” bagi calon pelaku pembunuhan disertai mutilasi, agar mengurungkan niatnya melakukkan pembunuhan, terlebih disertai mutilasi.

 

Dugaan yang muncul salah satunya adalah pelaku tersebut orang-orang yang narsistik. Seperti yang dikemukakan oleh Girgis (2006) yang menyatakan bahwa   pelaku pembunuhan  sangat menikmati tindakan menyakiti orang lain, artinya orang-orang narsistik tampaknya bukan hanya “sangat suka menghancurkan orang lain,” tapi mereka menikmati perbuatan yang mereka lakukkan.

 

Selanjutnya Girgis (2006) juga menegaskan ciri-ciri kepribadian narsistik dan agresi, yang menunjukkan bahwa individu narsisitik lebih cenderung untuk merespon dengan perilaku agresif terhadap orang lain ketika ditempatkan dalam situasi dimana persepsinya yang terlalu tinggi tentang dirinya terancam.

 

Benarkah demikian?

 

Referensi:

 

Girgis, A. (2006). Violence from self-love: Narcissim and aggression in the face of ego  threat- http://digitalcommons.trinity.edu/psychtheeses/4.