ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 13 Juli 2023
Pentingnya Dukungan Sosial Orang Tua untuk Meningkatkan Kemandirian Anak Tunagrahita
Oleh:
Yusi Novinti Tualaka
Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Kemandirian adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan individu, termasuk anak-anak dengan tunagrahita. Tunagrahita adalah kondisi perkembangan yang ditandai dengan keterbatasan intelektual yang signifikan, yang dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam melaksanakan tugas-tugas sehari-hari, berkomunikasi, dan berinteraksi sosial. Anak-anak tunagrahita sering mengalami kesulitan dalam mencapai tingkat kemandirian yang sesuai dengan usia dan perkembangan mereka.
Tunagrahita adalah suatu keadaan pada anak yang memiliki kecerdasan jauh di bawah rata-rata yang ditandai dengan adanya keterbatasan pada intelegensi dan ketidakcakapan terhadap komunikasi sosial. Anak tunagrahita bukan anak yang menderita suatu penyakit, melainkan anak yang memiliki pada fisik, mental, intelektual, emosi, sikap maupun perilaku secara signifikan (Kosasih, 2012).
Anak tunagrahita biasanya mengalami proses berpikir dan belajar yang lebih lambat dibandingkan anak pada umumnya, sehingga dukungan sosial yang diberikan oleh orang tua merupakan faktor utama dalam meningkatkan kemandirian serta perkembangan anak tunagrahita.Melalui dukungan yang memadai, orang tua dapat membantu anak mengembangkan keterampilan sosial, komunikasi, dan kepercayaan diri yang diperlukan untuk meraih kemandirian. Dukungan sosial juga dapat membantu anak mengatasi hambatan dan rintangan yang mereka hadapi dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam hal pendidikan, keterampilan hidup, dan interaksi sosial.
Tunagrahita merupakan istilah yang menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Tunagrahita juga dikenal dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program Pendidikan di sekolah secara klasikal (Soemantri,2007). Kondisi anak tunagrahita berbeda dengan anak yang memiliki gangguan belajar. Anak dengan tunagrahita yang berat tidak memiliki potensi kecerdasan atau tes IQ yang normal, anak tunagrahita memiliki tingkat intelegensi di bawah rata-rata sehingga proses belajar di semua aspek pelajaran menjadi lamban dan menghambat prestasi akademik maupun adaptasi sosialnya.
Karakteristik seseorang yang memiliki gangguan intelektual atau tunagrahita menurut Soemantri (2007) adalah keterbatasan inteligensi (kesulitan membaca, kesulitan menulis, memiliki IQ di bawah 70); kurangnya kemampuan fungsi sosial dalam berkomunikasi, bina diri, kemampuan dalam mengambil keputusan serta keterampilan dalam akademik; mudah bosan dan tidak konsisten dalam melaksanakan suatu tugas yang dilakukan secara rutin setiap hari; memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Soemantri (2007) secara umum mengemukakan tingkat keparahan yang dapat ditemukan pada anak dengan gangguan tunagrahita yakni:
a. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga maron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Weschler kelompok ini memiliki IQ 69-55, mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Anak tunagrahita ringan apabila mendapatkan bimbingan dan pendidikan yang baik pada saatnya akan mandiri dan mereka bisa bekerja seperti; pekerjaan laundry, pertanian, pekerjaan rumah tangga dan lain sebagainya.
b. Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada skala Binet dan 54-40 pada skala Weschler. Anak tunagrahita bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun, mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan dan sebagainya. Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca dan berhitung walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis Namanya sendiri, alat rumahnya, dan lainnya. Anak tunagrahita sedang mereka masih dapat dididik mengurus diri sendiri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum dan sebagainya, tetapi mereka juga masih harus membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
c. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 30-20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurur skala Weschler.
d. Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut skala Binet dan IQ di bawah 24 menurut skala Weschler. Anak tunagrahita berat membutuhkan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan dan lainnya.
Penyebab dari tunagrahita Menurut Smith ada beberapa factor yang dapat menyebabkan seorang anak menderita tunagrahita yakni (1) faktor genetik yang dikenal dengan phenylketonuria hal ini merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh gen orang tua mengalami kurangnya produksi enzim yang memproses protein dalam tubuh sehingga terjadinya penumpukan asam yang disebut asam phenylpyruvic. Penumpukan ini menyebabkan kerusakan otak, selain itu mengakibatkan timbulnya penyakit tay-sochs, yaitu adanya gen yang terpendam yang diwariskan oleh orang tua yang membawa gen ini. (2) Factor prakelahiran, penyebab ketunagrahitaan pada prakelahiran terjadi Ketika pembuahan. Hal yang paling berbahaya adalah adanya penyakit rubella pada janin. Selain itu adanya infeksi penyakit sifilis. Dalam hal lain yang juda dapat menyebabkan kerusakan otak adalah racun dari alcohol dan obat-obatan illegal yang digunakan oleh Wanita hamil. Racun tersebut dapat menganggu perkembangan janin sehingga menimbulkan sebuah masalah ketunagrahitaan yang akan terjadi pada anak-anak keturunannya tersebut. (3) Factor penyebab pada saat kelahiran (kelahiran premature) adanya masalah proses kelahiran seperti kekurangan oksigen, kelahiran yang dibantu oleh alat-alat kedokteran beresiko terhadap anak yang akan menimbulkan trauma pada kepala. Terjadinya kelahiran premature yang tidak tahu atau kurang mendapatkan perawatn yang baik. (4) Factor penyebab selama masa perkembangan anak-anak dan remaja, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yakni; ibu saat mengandung tidak menjaga pola makan, keracunan sewaktu mengandung, kerusakan pada otak sewaktu lahir misalnya; sakit pada anak seperti demam tinggi hingga kejang, batuk pilek yang tidak berkesudahan ataupun lahir premature.
Pada anak tunagrahita dukungan sosial orang tua menjadi sangat penting untuk mengembangkan kemandirian anak tunagrahita dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari seperti mandi, memakai sepatu, makan dan lain sebagainya. Dukungan sosial orang tua dalam konteks anak tunagrahita dapat mencakup berbagai aspek. Pertama, dukungan emosional yang terdiri dari memberikan kasih sayang, penerimaan, dan dukungan moral yang membantu anak merasa dihargai dan diterima dalam lingkungan mereka. Kedua, dukungan instrumental yang mencakup bantuan fisik dan praktis dalam menyelesaikan tugas sehari-hari, seperti merawat diri sendiri, melakukan tugas rumah tangga, atau menjalankan aktivitas sehari-hari lainnya. Ketiga, dukungan informasional yang melibatkan memberikan informasi, pengetahuan, dan panduan kepada orang tua tentang cara terbaik untuk membantu anak dalam mencapai kemandirian (Amalia & Darwis, 2020).
Sudrajat (2016) mengemukakan beberapa metode yang dapat digunakan oleh orang tua untuk memberikan dukungan sosial guna meningkatkan kemandirian anak tunagrahita yakni:
1. Pendidikan dan Pelatihan: Orang tua dapat mencari pendidikan dan pelatihan khusus yang membantu mereka memahami kebutuhan khusus anak tunagrahita dan strategi yang efektif untuk meningkatkan kemandirian. Ini termasuk mengikuti lokakarya, mengikuti program pelatihan, dan berkonsultasi dengan para ahli atau terapis yang spesialis dalam mendukung perkembangan anak tunagrahita.
2. Dukungan Emosional: Orang tua dapat memberikan dukungan emosional yang stabil dan positif kepada anak tunagrahita. Hal ini mencakup memberikan cinta, perhatian, dan dorongan yang membangun kepercayaan diri anak. Dukungan emosional yang kuat membantu anak tunagrahita merasa aman dan didukung saat mereka mencoba menjadi mandiri.
3. Pembelajaran Keterampilan Hidup: Orang tua dapat mengajar anak tunagrahita keterampilan hidup praktis seperti berpakaian, mandi, makan, menggunakan toilet, dan merawat diri sendiri. Dengan memberikan bimbingan, pengulangan, dan kesempatan untuk berlatih, anak dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan ini secara mandiri.
4. Mendorong Kemandirian dalam Konteks Sosial: Orang tua dapat menciptakan kesempatan untuk anak tunagrahita berinteraksi dengan teman sebaya dan lingkungan sosial yang positif. Mengikuti kegiatan di luar sekolah, seperti kelompok bermain atau klub, memungkinkan anak untuk belajar berinteraksi, berbagi, dan berkomunikasi dengan orang lain secara mandiri.
5. Kolaborasi dengan Tim Pendukung: Orang tua dapat bekerja sama dengan tim pendukung, seperti guru, terapis, atau konselor, untuk mendapatkan panduan dan strategi.
Selain dukungan sosial dari orang tua, intervensi lainnya juga mungkin diperlukan untuk meningkatkan kemandirian pada anak tunagrahita salah satunya adalah terapi okupasi untuk melatih kemampuan sensori dan motorik pada anak tunagrahita. Terapi okupasi berfokus pada pengembangan keterampilan sehari-hari yang diperlukan untuk kemandirian, seperti makan, berpakaian, dan mandi. Terapis okupasi dapat menggunakan strategi pemodelan, peran bermain, dan latihan berulang untuk membantu anak tunagrahita menguasai keterampilan ini.
Anak dengan tunagrahita sedang memiliki ketergantungan pada orang lain, tetapi hal ini dapat dikurangi dengan adanya intervensi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan mereka. Pada kasus ini anak memiliki kemajuan dalam hal kemandirian yang lebih baik dari sebelumnya. Pentingnya peran orang tua, tim profesional dan intervensi bagi anak tunagrahita dapat membantu perkembangan anak menjadi inidividu mandiri yang berhasil.
Referensi:
Amalia, R., & Darwis, H. (2020). Dukungan Sosial Orang Tua terhadap Kemandirian Anak Tunagrahita di Sekolah Luar Biasa. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 8(1), 1-11.
Kosasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus.Cet 1. Bandung: Yrama Widya. Bandung. Hal: 1-5, Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Volume.1, No.02, Juni 2012 & Choirunisa Nirahma Pika Yuniar C.
Soemantri, S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sudrajat, A. T. (2016). Pemberdayaan Anak Tunagrahita Melalui Program Dukungan Keluarga di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Semarang. Jurnal Psikologi UGM, 43(2), 139-153.