ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 13 Juli 2023

 

Menjadi Pribadi Pemaaf, Why Not?

 

Oleh:

Mohammad Adi Ganjar Priadi

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Di dalam kehidupan sehari-hari, konflik dan perasaan terluka tidak dapat terelakkan ketika manusia berinteraksi dengan sesama. Berbagai pengalaman yang dapat membuat perasaan menjadi kecewa dan sedih berpeluang memunculkan emosi negatif. Emosi negatif tersebut dapat menetap dan mengganggu aspek kesehatan baik secara fisik maupun psikis. Terkadang, manusia kerap menyimpan rasa sakit hatinya secara terus-menerus. Tanpa disadari, hal ini dapat berdampak panjang dan serius terhadap kondisi tubuh seseorang. Pernyataan Swartz (2023) menggambarkan bahwa perasaan terluka dapat menjadi beban psikologis berkepanjangan dan menimbulkan masalah-masalah pada tubuh, seperti sering mengalami stress hingga berpeluang menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat pada munculnya penyakit kronis seperti gangguan jantung dan diabetes mellitus.

 

Tahapan pemaafan

Pemaafan menjadi sebuah pilihan bagi individu yang pernah mengalami konflik maupun perlakuan yang melukai perasaan, baik dari orang terdekat maupun orang lain. Memaafkan berarti memilih sebuah proses untuk mengampuni kesalahan orang yang pernah menyakiti perasaan maupun mengecewakan. Memaafkan sejatinya bukan berarti melupakan, tetapi mampu untuk memilah ingatan mengenai peristiwa yang menyakitkan, secara kontekstual. Artinya memori mengenai peristiwa tersebut tidak hilang seluruhnya (Lichtenfeld, Buechner, Maier, & Fernăndez-Capo, 2015). Worthington Jr (2006) menjelaskan bahwa pemaafan merupakan proses yang dapat berlangsung secara kontinum, dengan melibatkan lima tahap yakni a) recall the hurt, b) empathize, c) altruistic gift, d) commit to the forgiveness, e) hold on to the forgiveness, (REACH). Selain mampu mengingat pengalaman secara spesifik, dalam tahap pemaafan terdapat juga cara pandang yang unik, misalnya ketika mengalami proses empathize, pihak yang memberikan pemaafaan akan berupaya memahami situasi yang dialami oleh pihak yang menyakitinya. Lebih lanjut, pada tahap altruistic gift, individu yang memberikan pemaafan juga akan berpikir bahwa sebagai manusia, ia pun pernah melukai perasaan orang lain. Proses refleksi diri tersebut dapat membantu secara perlahan untuk memunculkan pemaafan secara keseluruhan.

 

Hasil penelitian

Dalam sebuah penelitian (n=335); Nashori, Iskandar, Setiono, dan Siswadi (2013) mengungkapkan bahwa pemaafan tidak ditentukan dari faktor jenis kelamin dan usia. Akan tetapi, latar belakang pendidikan turut berkorelasi dengan pemaafan. Artinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin besar kemungkinannya untuk memberi pemaafan. Sejalan dengan penelitian hal tersebut, sebagian besar riset mengenai pemaafan juga melibatkan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan berpikir secara kompromis dan kepribadian (Hong, et al 2020). Hal ini membuktikan bahwa untuk dapat mengalami pemaafan, dibutuhkan kapasitas kognisi tinggi dan perilaku yang bersitat kompromis, yakni dengan berupaya menerima secara lapang dada atas situasi maupun hal-hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginannya. Pada beberapa studi, orang-orang yang mudah memberi pemaafan juga dikaitkan erat dengan ciri kepribadian agreeableness yang dominan (Wang, 2008).

 

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor berkaitan dengan pemaafan amat beragam. Hal ini menandakan bahwa untuk dapat memaafkan bukanlah proses yang sederhana melainkan memiliki kompleksitas di dalamnya. Selain faktor kepribadian dan proses berpikir, dalam memberikan pemaafan, tentunya juga tidak dapat dipisahkan dari siapa dan peristiwa apa yang membuat seseorang akhirnya memutuskan untuk memaafkan. Penelitian Kurniati, et al (2017) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dengan memaafkan secara emosional, yakni dengan mengikis frekuensi seseorang untuk memikirkan secara terus menerus rasa sakit hati yang ditimbulkan, dapat berpengaruh secara positif terhadap kesehatan fisik tubuh seseorang. Pemaafan juga dipilih oleh negara-negara dengan budaya kolektivis seperti Indonesia, untuk dapat menjaga nilai-nilai harmoni dalam bermasyarakat. Lebih lanjut, Brenner (2020) menambahkan bahwa dengan memberi pemaafan secara tidak langsung akan menguatkan sisi kemanusiaan dalam diri seseorang yang akan membuatnya lebih mudah dan tenang dalam menjalani kehidupan. 

 

Kesimpulan

Memaafkan menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan ketika mengalami konflik dengan orang lain. Melalui memberi pemaafan, ternyata memiliki banyak manfaat yang berhubungan dengan kesehatan jiwa dan raga. Meskipun demikian, proses memberikan pemaafan tidak dapat dipaksakan. Selain itu, dalam memberikan pemaafan setiap individu memiliki keunikan prosesnya tersendiri yang belum tentu teralami oleh orang lain. Pertanyaannya sekarang, bersediakah anda menjadi pribadi yang pemaaf?

 

Referensi:

 

Brenner, A. (Sep 29, 2020). Article. 5 Reason Why Its Important to Forgive. Psychology Today.

Hong W, Liu RD, Ding Y, Oei TP, Fu X, Jiang R, Jiang S. Self-Esteem Moderates the Effect of Compromising Thinking on Forgiveness Among Chinese Early Adolescents. Front Psychol. 2020 Feb 4;11:104. doi: 10.3389/fpsyg.2020.00104.

Kurniati, N., M., T., Worthington, E. L., Poerwandari, E. K., Ginanjar, A.S., & Dwiwardani, C. (2017). Forgiveness in Javanese collective culture: The relationship between rumination, harmonious value, decisional forgiveness and emotional forgiveness. Asian Journal of Social Psychology 20 (2). 113-127. 

Lichtenfeld, S., Buechner, V. L., Maier, M. A., & Fernăndez-Capo, M. (2015). Forgive and forget: Differences between Decisional and Emotional forgiveness. PLOS ONE. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0125561

Nashori, F., Iskandar, Tb, Z., Setiono, K., & Siswadi, A. G. P. (2013). Pemaafan pada  etnis Jawa ditinjau dari faktor demografi. Psikologika 18 (2). 119-128.

Swartz, K. (2023). Forgiveness: Your Health Depends on It. Diakses 7 Juni 2023 dari https://www.hopkinsmedicine.org/health/wellness-and-prevention/forgiveness-your-health

Wang, T. (2008). Forgiveness and Big Five Personality Traits among Taiwanese Undergraduates. Social Behavior and Personality 36 (6). 849-850.

Worthington Jr., E. (2006). Forgiving and reconciling: Bridges to wholeness and hope. InterVarsity.