ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 12 Juni 2023

 

Menyikapi Self-Sabotage Disebabkan Oleh Hustle Culture pada Dewasa Muda

 

Oleh:

Ranysya Latavia Deraputri Djukardi

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Melangkah kepada usia dewasa, fokus utama yang biasa dipikirkan mereka pada usia tersebut adalah mencapai puncak kerja, bekerja keras, menjadi produktif, menggunakan energi untuk bekerja agar dapat bertahan hidup. Serta, merupakan tahap baru dalam kehidupan setelah menempuh pendidikannya (Tobin, 2022). Di atas semua fokus tersebut, dewasa muda harus mencoba dan bertahan dengan adanya “hustle culture”. Generasi milenial sangat antusias dan ambisius dalam dunia profesional atau dunia kerjanya. Seiring waktu, menjadi jelas bahwa hal tersebut dapat merugikan mereka, dibandingkan memberikan keuntungan. Semangat kerja yang dimiliki memiliki kaitannya dengan motivasi, produktivitas, dan performa kerja dalam meraih tujuan. Oleh karena itu, pekerja akan memegang prinsip “hustle culture” (Iskandar & Rachmawati, 2022).

 

Konsep “hustle culture” menjadi semakin populer di kalangan dewasa muda, dimana budaya ini mempromosikan gagasan bahwa bekerja keras, mendorong diri hingga batasannya, dan mengorbankan waktu luang diperlukan untuk mencapai sebuah kesuksesan (Sessions, et al. 2020). Meskipun untuk bekerja keras dan berjuang untuk sukses mengagumkan, budaya hustle culture juga dapat berbahaya kepada individu tersebut (Fauzia, 2021). Dalam konteks ini, penting untuk mempelajari pro dan kontra dari hustle culture dan mengeksplorasi bagaimana dewasa muda dapat mencapai sebuah keseimbangan yang sehat antara ambisi dan menjaga diri sendiri, terutama menjaga kesehatan mentalnya yang dapat menjadi salah satu ancaman terbesar jika tidak ditangani dengan baik.

 

Hustle culture didefinisikan sebagai pengaturan dimana seseorang didorong untuk bekerja lebih lama dari yang diperlukan. Ketika seseorang memiliki waktu senggang, seperti pada waktu akhir pekan, mereka akan mempertimbangkan dan memikirkan pekerjaan mereka yang butuh diselesaikan. Dengan mengikuti hustle culture ada rasa kewajiban untuk bekerja lebih cepat dari biasanya untuk menyelesaikan tugas dengan tepat waktu. Bagi individu yang terjebak di dalam budaya ini, mereka hampir tidak pernah beristirahat dan ketika mereka memiliki waktu istirahat, yang mereka pikirkan hanyalah pekerjaan (Sampoerna University, 2022).

 

Hustle culture memiliki dampak positif kepada individu, seperti mendorong kesuksesan dan kedisiplinan, apabila melewati batas, hustle culture akan jatuh kedalam sesuatu yang negatif kepada individu. ​​Hatfield et al., (2022) menemukan bahwa hustle culture bertahan pada keinginan individu untuk mencapai lebih banyak lagi dari yang sudah dimiliki, dan terpaku pada gagasan bahwa bekerja sendiri akan memberikan rasa bahwa ia memiliki tujuan serta kelayakan. Mengikuti hustle culture memiliki konsekuensinya, yaitu tidak memungkinkan individu untuk memiliki waktu istirahat, waktu pribadi, momen bersama keluarga atau orang dan teman dekat, atau kesempatan untuk terlibat dan mengembangkan hobi mereka. Berbagai hal tersebut terjadi karena kelakuannya pada pekerjaan mereka, dan selalu memiliki kebutuhan untuk terus bekerja dan menjadi lebih baik dalam pekerjaan mereka (Ruggeri, 2022).

 

Berikut merupakan beberapa dampak negatif yang dapat dihasilkan oleh pengikut hustle culture terhadap kesehatan mental yang ditemukan oleh Olga Molina (2023) Pertama adalah anxiety, penelitian survei Miles (2022) menampilkan bahwa 44% karyawannya mengalami kecemasan, rasa marah, dan juga kesedihan karena tekanan hustle culture. Banyak dari mereka mungkin merasa kesulitan untuk tampil di level tertinggi mereka setiap hari, yang menyebabkan mereka berputar ke dalam siklus kecemasan dan ketakutan akan masa depan mereka.

 

Berikutnya adalah guilt, Pandangan bahwa mengambil waktu istirahat akan diasosiasikan dengan kelakuan malas atau tidak produktif daripada melihatnya sebagai manfaat untuk kesehatan mental. Berikutnya adalah apathetic attitude, yaitu Ketika seseorang mengejar lebih banyak tanpa pernah istirahat, terdapat kemungkinan bahwa mereka cenderung masuk kepada golongan yang berbahaya. Berikutnya adalah work-life imbalance, yaitu tidak dapat memprioritaskan keseimbangan pencapaian karir dengan waktu bersama keluarga, teman, dan beristirahat. Terakhir adalah toxic positivity, yaitu harapan realistis apapun mengenai apa yang sebenarnya mungkin terjadi dalam hidup dan di tempat kerja dihilangkan oleh karena toxic positivity.

 

Terlihat melalui penjelasan di atas bahwa jika hustle culture terus memainkan peran penting dalam kehidupan individu, hal tersebut hanya akan berdampak buruk baginya. Yakni, dimana self-sabotage atau sabotase diri terjadi ketika kita menyangkal kesempatan untuk beristirahat dan menjaga diri sendiri dengan baik (Irma et al., 2022). Self-sabotage atau biasa dikenal sebagai sabotase diri, didefinisikan sebagai perilaku yang menghalangi tujuan kita dan menyebabkan masalah dalam kehidupan kita sehari-hari. Self-sabotage biasa dikenal untuk pernah mendengar ungkapan “perilaku merusak diri sendiri”. Individu yang dimotivasikan oleh keinginan untuk menguasai diri sendiri, orang, dan situasi lain, akan terus terlibat dalam perilaku self-sabotage dan dapat dipengaruhi oleh impulsif atau penilaian buruk baginya (Thompson, 2017).

 

Berdasarkan Abaci dan Akin, tujuan dari self-sabotage adalah untuk menjaga dan meningkatkan tingkat harga diri seseorang. Meskipun demikian, tujuan akhir individu adalah untuk menerima manfaat nyata yang dapat meningkatkan tingkat harga diri dan keefektifan mereka untuk mengatasi segala hal negatif yang mungkin mengancam mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan mendapatkan umpan balik positif dari orang lain dengan memperoleh hasil dari usaha mereka sendiri (dalam Gülsüm & Zeynep, 2019).

 

Merujuk kembali pada hustle-culture, salah satu efek dari obsesi yang kuat terhadapnya merupakan sebuah bentuk self-sabotage yang berdampak buruk bagi kesehatan mental seseorang. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui bagaimana mendukung dan juga mengelola diri untuk mencegah perilaku self-sabotage tersebut, dan juga dapat menjaga keseimbangan yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Berikut merupakan bagaimana sebaiknya untuk menangani dan untuk menghindari hal tersebut untuk terjadi.

 

Produktivitas selalu dipuji, dan selalu merupakan hal yang bagus, tetapi terdapat saatnya ketika kami harus memprioritaskan kesejahteraan fisik dan juga mental kami. Berdasarkan Sen & Hooja (2018), salah satu cara yang baik adalah untuk mengimplementasikan work-life balance. Dengan mengimplementasikan work-life balance, akan membantu individu merasakan perasaan harmonis dalam hidup mereka dan berada dalam keadaan psikofisik terbaik untuk menangani tuntutan jangka panjang dalam pekerjaan dan juga kehidupan pribadinya.

 

Selain melatih dan mengimplementasikan prinsip work-life balance, Olga Molina (2023), menyimpulkan bahwa terdapat beberapa cara yang dapat membantu melepaskan diri dari hustle culture dan untuk menghindari dampak negatif untuk muncul. Yakni, hal-hal seperti menetapkan sebuah batasan antara kerja dan kehidupan biasa. Berikutnya adalah memberikan waktu untuk istirahat, dan memprioritaskan diri sendiri dibandingkan kualitas dan kuantitas kerja. Terakhir adalah bersikap baik kepada diri sendiri.

 

Dengan itu dikatakan, sampai batas tertentu, hustle culture dapat bermanfaat bagi seseorang, terutama terhadap produktivitas dan kesuksesannya. Namun, penting juga untuk memberikan batasan dan bagaimana seseorang memandang hustle culture. Jika melewati batas, tentunya akan berakibat negatif, yakni menimbulkan self-sabotage. Tetapi, dengan melakukan berbagai hal diatas, akan membantu mendorong pandangan dan perilaku lebih baik dalam produktivitas dan kesehatan mental dalam jangka panjang.

 

Referensi:

Fauzia, H. (2021, December 29). The story behind hustle culture that attacks young people. THE S MEDIA. Retrieved March 4, 2023, from https://thesmedia.id/posts/the-story-behind-hustle-culture-that-attacks-young-people

Tobin, K. (2022). Slow living is the antidote to hustle culture – if you can access it. Slow Living Movement Opposite Of Hustle Culture. Retrieved March 4, 2023, from https://www.refinery29.com/en-gb/my-slow-life-searching-for-an-antidote-to-hustle-culture

Iskandar, R., & Rachmawati, N. (2022). Perspektif "hustle culture" dalam menelaah motivasi dan produktivitas pekerja. Jurnal Publikasi Ekonomi Dan Akutansi, 2(2), 108–115. https://doi.org/https://doi.org/10.55606/jupea.v2i2.287

Sessions, H., Nahrgang, J. D., Vaulont, M. J., Williams, R., & Bartels, A. L. (2021). Do the hustle! empowerment from side-hustles and its effects on full-time work performance. Academy of Management Journal, 64(1), 235–264. https://doi.org/10.5465/amj.2018.0164

Sampoerna University.. (2022, August 28). Hustle culture: Definition, impact and how to overcome it. Retrieved March 2, 2023, from https://www.sampoernauniversity.ac.id/hustle-culture-definition-impact-and-how-to-overcome-it/

Ruggeri, C. (2022, November 28). Research shows hustle culture does more harm than good. Leaders.com. Retrieved March 4, 2023, from https://leaders.com/articles/company-culture/hustle-culture/

Hatfield, S., Fisher, J., & Silverglate, P. H. (2022, June 22). The C-suite's role in well-being. Deloitte Insights. Retrieved March 4, 2023, from https://www2.deloitte.com/us/en/insights/topics/leadership/employee-wellness-in-the-corporate-workplace.html

Miles, M. (2022, November 7). What hustle culture is and 5 ways to prevent it. What Hustle Culture Is And 5 Ways to Prevent It. Retrieved March 11, 2023, from https://www.betterup.com/blog/hustle-culture

Olga Molina, D. S. W. (2023, February 20). Hustle culture: The toxic impact on mental health. Talkspace. Retrieved March 4, 2023, from https://www.talkspace.com/blog/hustle-culture/

Irma, I., Azzahra, R. Q., Patiung, R., & Bakar, R. M. (2022). Pencegahan Perilaku Hustle Culture Pada Karyawan di PT. Pertamina Patra Niaga Regional SUlawesi Melalui Psikoedukasi Non-Pelatihan. Jurnal Pengabdian Masyarakat Global, 1(2), 71–76. https://doi.org/https://doi.org/10.55681/devote.v1i2.355

Thompson, D. R. (2017). Impulsivity and self-sabotaging behavior: A case study. Texila International Journal Of Psychology, 2(2), 1–6. https://doi.org/10.21522/tijpy.2016.02.02.art001