ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 12 Juni 2023

 

Mengenal Depresi Pasca Melahirkan Pada Ayah

 

Oleh:

Jessica Ariela

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Kelahiran ananda tercinta pada umumnya mendatangkan kebahagiaan besar bagi para orang tua. Apalagi jika anak yang lahir merupakan anak yang didambakan sejak lama. Namun, yang sering dilupakan adalah, dengan berkat yang bertambah, bertambah pulalah tanggung jawab yang perlu diemban, di samping juga terdapat perubahan yang signifikan dalam kehidupan keluarga. Bagi orang tua yang memperoleh anak pertama, tentu hal ini merupakan perubahan yang besar. Namun, bagi orang tua yang sebelumnya sudah memiliki anak dan kini memiliki anak kembali, perubahan yang mereka alami juga tetap merupakan sebuah perubahan besar dalam keluarga. Seperti perubahan-perubahan pada umumnya, tidak jarang akan mengakibatkan stres dan memerlukan kemampuan adaptasi.

 

Kebanyakan bentuk perawatan dan perhatian biasanya akan diarahkan ke ibu dan bayi yang baru lahir – bagaimana lucunya si bayi, bagaimana proses menyusui, ibu yang kurang tidur, pemulihan pasca persalinan, dan banyak lagi. Padahal, sebagai keluarga, perubahan juga akan dialami oleh sang ayah. Sayangnya, kesejahteraan ayah baru belum banyak mendapatkan perhatian.

 

Sebuah studi (Scarff, 2019) mengemukakan bahwa sekitar 8-10 persen pria mengalami gejala depresi pasca kelahiran anaknya (paternal postpartum depression), dan angka ini dapat bertambah signifikan hingga enam bulan setelah kelahiran. Bahkan, gejala depresi ini dapat bertahan dan berkembang selama setahun ke depan setelah kelahiran buah hati. Hal ini mengindikasikan diperlukannya kesadaran masyarakat akan depresi pasca melahirkan pada pria dan dukungan yang tersedia untuk para ayah baru.

 

Gejala postpartum depression beberapa di antaranya adalah perasaan depresi/sedih yang terus-menerus, sering sekali menangis, perubahan pola makan, insomnia atau hypersomnia, ketakutan berlebihan bahwa dirinya bukan ibu yang baik, kehilangan minat, perasaan putus asa, perasaan bersalah, malu, ataupun tidak adekuat, bahkan terkadang timbul perasaan untuk menyakiti diri sendiri, bayi, ataupun orang lain. Di samping gejala yang biasanya dialami para ibu saat mengalami depresi pasca melahirkan, beberapa gejala yang khas dialami para ayah adalah gejala seperti luapan kemarahan, kecemasan tinggi, dan mudah tersulut/kesal (irritability).

 

Dengan adanya anak yang baru dilahirkan, beberapa ayah terkadang tidak siap dalam menjalani peran baru sebagai ayah, yang tentunya sangat demanding terutama di beberapa minggu pertama. Belum lagi, beberapa ayah akan mulai khawatir dan cemas akan kesejahteraan anak dan istrinya. Para pria yang pernah mengalami depresi atau gangguan mood juga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami postpartum depression. Selain itu, ternyata setelah kelahiran anak, ayah juga dapat mengalami perubahan hormonal (Kim & Swain, 2007), yang berperan dalam kemampuan untuk melakukan tugas merawat sang anak / caregiving, yang pada akhirnya dapat mempererat attachment antara ayah dan bayinya.

 

Para pria yang mengalami gejala paternal postpartum depression perlu segera mencari pertolongan, dikarenakan kesejahteraan mental ayah akan mempengaruhi juga kesejahteraan ibu, bayi, dan seluruh keluarga. Ayah yang mengalami depresi akan kurang sensitif terhadap kebutuhan bayi dan kurang dapat berespon dengan tepat. Pada beberapa kasus, bahkan ayah yang depresi bisa jadi berespon dengan kasar terhadap bayinya. Hal ini dapat berakibat pada tingkat stres yang tinggi pada bayi, dan pada akhirnya membuat anak cenderung mengalami masalah perilaku ataupun masalah emosional di usia balita (Scarff, 2019).

 

Berita baiknya adalah, seperti postpartum depression pada ibu, postpartum depression pada ayah juga dapat terbantu dengan terapi kognitif perilaku (CBT). Selain itu, konseling bersama pasangan juga ditemukan efektif dan lebih cenderung dipilih oleh para ayah dibandingkan dengan pemberian obat / psikofarmakologi. Konseling pasangan dapat melatih juga bagaimana pola komunikasi dan mempererat bonding antara suami dan istri, sehingga keduanya dapat saling percaya dan beradaptasi bersama menghadapi perubahan baru dalam konstelasi keluarga mereka. Di samping itu, ayah juga perlu terlibat dalam pengasuhan bayi. Ayah-ayah yang terlibat dalam pengasuhan bayi yang baru lahir akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan ayah-ayah yang tidak terlibat dengan pengasuhan bayinya.

 

Dengan kesadaran mengenai prevalensi dan gejala postpartum depression pada ayah, keluarga besar dan teman juga dapat mendukung para ayah dalam menjalankan peran barunya. Perhatian tetap perlu diberikan bukan hanya pada ibu dan bayi, tetapi juga pada sang ayah. Selain itu, perhatian bukan hanya diberikan pada minggu-minggu pertama setelah kelahiran, tetapi juga selama beberapa bulan ke depan. Ingatlah, kesejahteraan ayah memengaruhi kesejahteraan ibu, bayi, dan keluarganya. Untuk membentuk keluarga yang kuat dan bahagia, setiap anggotanya perlu sejahtera.

 

Referensi:

 

Kim, P. & Swain, J. E. (2007). Sad dads: paternal postpartum depression. Psychiatry (Edgmont), 4(2), 35-47.

Scarff, J. R. (2019). Postpartum depression in men. Innovations in Clinical Neuroscience, 1(5-6), 11-14. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6659987/pdf/icns_16_5-6_11.pdf