ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 12 Juni 2023

 

Memahami Impostor Syndrome: Fenomena yang Menghambat Prestasi

 

Oleh:

Olivia & Dina Nazriani

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

Istilah impostor syndrome mencuat ketika video game multiplayer Among Us—sebuah permainan yang menugaskan pemainnya untuk menjadi dan menangkap impostor—populer dimainkan pada tahun 2020 yang lalu. Dengan dikenalkannya istilah ini melalui media sosial, masyarakat umum menjadi tau mengenai adanya fenomena ini. Namun, apakah istilah impostor syndrome sudah ada sejak dahulu atau baru ada sejak impostor dari game Among Us viral?

 

Impostor syndrome dikemukakan pertama kali oleh Clance dan Imes (1978) sebagai imposter phenomenon. Awalnya, penelitian yang dilakukan Clance dan Imes berfokus pada fenomena imposter phenomenon pada wanita dengan pencapaian tinggi saja. Namun kenyataannya, fenomena ini dapat dialami baik wanita maupun pria. Impostor syndrome sendiri merupakan sebuah fenomena di mana individu merasa bahwa ia telah menipu orang lain dalam konteks kemampuan dan kecerdasan yang dimilikinya, meskipun ia memiliki sejumlah pencapaian atau prestasi. Hal ini dikarenakan individu tersebut memiliki persepsi bahwa dirinya tidak seperti yang terlihat sebenarnya. Individu tersebut menganggap bahwa dirinya kurang mampu dan kurang pandai sehingga kemudian mengatribusikan kesuksesan yang diperolehnya ke faktor di luar dirinya, misalnya keberuntungan, adanya peran dari orang lain, hingga kesalahan penilaian. Namun ketika mengalami kegagalan, individu tersebut mengatribusikannya secara internal seperti kurangnya kemampuan diri (Nabila, Dewi, & Nur, 2022).

 

Impostor Syndrome dan Individu Berprestasi

Kecenderungan untuk mengalami impostor syndrome lebih tinggi pada individu yang berprestasi. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Goleman (dalam Nabila dkk., 2022) bahwa dua diantara lima orang yang sukses mengalami fenomena ini. Bahkan, lebih dari 70% individu setidaknya pernah mengalami impostor syndrome.

 

Penelitian yang dilakukan oleh Nabila dkk. (2022) menemukan bahwa fenomena impostor syndrome yang terjadi pada individu dapat didorong oleh dua faktor yaitu kekuatan internal dan kekuatan eksternal dalam mempengaruhi persepsi individu.  Kekuatan internal sendiri merupakan faktor yang berasal dan didapat dari dalam diri individu, meliputi persepsi atau pandangan terhadap kemampuan dan motivasi untuk berprestasi. Impostor cenderung meremehkan kemampuan dirinya. Ketika individu mencapai keberhasilan pada tugas yang individu tersebut anggap mudah, ia memperkecil arti dari pencapaiannya itu karena pencapaian tersebut dianggap tidak sesulit yang ia bayangkan. Impostor juga mempunyai keyakinan bahwa jika ia dapat dan mampu berhasil, maka individu lainnya juga mampu melakukannya. Di sisi lain, impostor memiliki keinginan untuk menjadi yang terbaik dalam situasi yang berkaitan dengan pencapaian dan akan merasa malu apabila gagal mencapai hal yang diinginkan tadi (Patzak, Kollmayer, & Schober, 2017).

 

Kekuatan eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu, meliputi orang tua, teman, guru, dan orang sekitar lainnya. Pengaruh kekuatan eksternal menyebabkan individu memiliki persepsi bahwa pencapaiannya adalah karena keberuntungan. Misalnya, ketika individu yang berprestasi ini menerima pujian bahwa ia cerdas dari teman-temannya, ia hanya merasa bangga dan senang untuk sementara. Setelah itu individu kembali meragukan pencapaiannya yang menyebabkan pujian dari teman-temannya tadi tidak meningkatkan kepercayaan dirinya. Ketika orang tua menganggap bahwa individu adalah anak yang dapat diandalkan, siklus yang sama kembali terjadi dan justru menimbulkan beban terhadap individu karena takut mengecewakan ekspektasi dari orang sekitarnya.

 

Impostor Syndrome di Lingkungan Akademik

Fenomena ini tentu saja dapat menjadi hambatan individu dalam berproses. Kekeliruan dalam locus of control dapat menyebabkan pelajar gagal belajar dari keberhasilan dan kegagalan yang mereka dapatkan. Fenomena impostor syndrome juga menyebabkan individu yang berhasil mencapai prestasi akademik merasa terbebani dengan pencapaiannya. Bahkan, impostor dapat menjadi ragu-ragu dalam tindakannya karena takut salah dan merasa tidak mampu. Dengan kata lain, individu menjadi sulit menghadapi tantangan baru karena takut akan kegagalan dan rasa malu yang dihasilkan. Impostor syndrome juga merupakan salah satu penyebab munculnya kecemasan akademis (Ati, Kurniawati, & Nurwanti, 2015).

 

Oleh sebab itu, fenomena impostor syndrome pada individu perlu disadari dan diatasi. Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi impostor syndrome salah satunya adalah meningkatkan self-esteem. Nurhikma & Nuqul (2020) menemukan bahwa self-esteem berkorelasi negatif dengan impostor syndrome. Sehingga dengan meningkatkan self-esteem diharapkan individu yang mengalami atau merasakan impostor syndrome kemudian mampu menginternalisasikan apa yang mereka capai pada kemampuannya sendiri, serta menerima apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dirinya. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah mengenal kemampuan diri dan menghargainya, menulis hal yang sudah dicapai dan memberi apresiasi pada diri sendiri sekecil apapun pencapaian itu, mengungkapkan keraguan, kecemasan, dan kekhawatiran kepada individu yang dapat dipercaya atau psikolog dan profesional kesehatan mental lainnya jika perasaan tersebut sudah mengganggu kehidupan sehari-hari (Nabila dkk., 2022).

 

Referensi:

 

Ati, E. S., Kurniawati, Y., & Nurwanti, R. (2015). Peran impostor syndrome dalam menjelaskan kecemasan akademis pada mahasiswa baru. Jurnal Mediapsi, 1(1), 1-9. https://doi.org/10.21776/ub.mps.2015.001.01.1

Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241–247. https://doi.org/10.1037/h0086006

Nabila, Dewi, E. M. P., & Nur, H. (2022). Impostor phenomenon pada individu yang berprestasi. Jurnal Psikologi Talenta Mahasiswa, 1(4), 15-31.

Nurhikma, A., & Nuqul, F. L. (2020). Saat prestasi menipu diri: peran harga diri dan ketangguhan akademik terhadap impostor phenomenon. Intuisi: Jurnal Psikologi Ilmiah, 12(2), 145-154. https://doi.org/10.15294/intuisi.v12i2.20614

Patzak, A., Kollmayer, M., & Schober, B. (2017). Buffering impostor feelings with kindness: The mediating role of self-compassion between gender-role orientation and the impostor phenomenon. Frontiers in Psychology, 8(1289), 1-12. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01289