ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 12 Juni 2023
Kesehatan Mental di Sekolah, Tanggung Jawab Siapakah?
The Whole School Approach & Kesehatan Mental di Sekolah
Oleh:
Desy Chrisnatalia
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Kesehatan mental adalah suatu kondisi sejahtera dimana individu menyadari potensinya, mampu mengatasi tekanan hidup yang normal, bekerja secara produktif dan memberikan manfaat, dan mampu berkontribusi untuk komunitasnya (World Health Organization [WHO], 2013). Data yang ada menunjukkkan bahwa diagnosis gangguan mental, emosional, atau perilaku dialami oleh 10% sampai dengan 20% anak sekolah (Erskine, dalam Cavioni et al., 2020). Mayoritas dari anak dan remaja bersekolah, karenanya tidak dapat dipungkiri, sekolah memiliki peran penting dalam meningkatkan kesehatan mental anak dan remaja. Sekolah memiliki peran penting dalam mengidentifikasi anak dan remaja yang membutuhkan intervensi psikologi lebih lanjut (WHO, 2003). Ketika sekolah berinvestasi dalam kesehatan mental siswa, maka sekolah cenderung memiliki peningkatan prestasi akademis siswa-siswinya dan mengurangi tingkat putus sekolah (WHO, 2021).
Hasil survey dari I-NAMHS (Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey) pada remaja Indonesia di tahun 2021 menyimpulkan bahwa satu dari tiga remaja memiliki masalah kesehatan mental dan satu dari dua puluh remaja memiliki kriteria gangguan mental (Center for Reproductive Health, University of Queensland, & Johns Bloomberg Hopkins School of Public Health, 2022). Hasil survey I-NAMHS tersebut juga menemukan bahwa staf sekolah adalah penyedia layanan yang paling sering digunakan oleh remaja dengan masalah kesehatan mental. Oleh sebab itu, isu kesehatan mental selayaknya mendapatkan perhatian yang besar dari dunia pendidikan di Indonesia.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, program kesehatan mental sekolah biasanya difasilitasi oleh layanan bimbingan dan konseling yang dapat mencakup layanan preventif, kuratif, dan preservatif. Layanan bimbingan dan konseling (BK) dilakukan oleh guru BK untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling dan mereka dapat memiliki tugas rangkap yaitu mengajar pada mata pelajaran tertentu (Tohirin, dalam Solkhanuddin et al., 2020). Namun beberapa hambatan dapat dihadapi oleh guru BK dalam memberikan pelayanan kesehatan mental di sekolah. Hambatan dapat disebabkan oleh adanya keterbatasan waktu pelayanan BK di kelas dan tidak tersedianya waktu yang terjadwal bagi guru BK untuk melayani di kelas (Suryani et al., 2019), rasio jumlah guru BK dan jumlah siswa yang melebih batas minimal 1:150 (Wahyuni & Desinta, 2021.), rangkap jabatan yang menyebabkan kejenuhan (Susanti et al., 2018) , dan lain-lain.
Peningkatan masalah kesehatan mental pada anak dan remaja, serta beberapa hambatan yang dialami oleh guru BK di sekolah, harusnya mendorong sekolah untuk tidak hanya membebankan layanan kesehatan mental pada guru BK. Isu kesehatan mental seharusnya menjadi tanggung jawab bersama dalam sekolah. Pendekatan Whole School Approach (Pendekatan Sekolah secara Menyeluruh) dapat menjadi salah satu alternatif bagi sekolah dalam mempromosikan kesehatan mental secara menyeluruh dengan melibatkan seluruh elemen yang ada di sekolah. Whole school approach adalah suatu pendekatan yang membentuk seluruh konteks yang ada di sekolah, termasuk organisasi sekolah, struktur manajemen, hubungan, lingkungan fisik, serta kurikulum dan praktik pedagogis (Weare dan Markham, 2005). Tujuannya adalah agar sekolah menjadi lingkungan yang kondusif bagi kesehatan seluruh warga sekolah baik para siswa maupun para staf sekolah.
Dalam Whole School Approach semua aspek komunitas sekolah memiliki pengaruh terhadap kesehatan mental siswa sehingga sekolah perlu melibatkan kolaborasi siswa, keluarga, staf sekolah, masyarakat, dan pemangku kepentingan (Graetz et al., 2008). Idealnya sekolah yang menerapkan Whole School Approach dalam mempromosikan kesehatan mental perlu bekerja sama dengan semua pihak yang relevan dari semua tingkatan, misalnya pemerintah, otoritas pendidikan, dan sekolah, serta dengan semua orang di sekolah atau komunitas, bukan hanya mereka dengan kebutuhan khusus atau keluarga yang diidentifikasi memiliki masalah. Selain itu, sekolah harus menfasilitasi siswa dalam memperoleh berbagai jenis keterampilan, yang tidak terbatas pada keterampilan akademis, tetapi juga meliputi keterampilan hidup seperti keterampilan refleksi diri, keterampilan pemecahan masalah, dan keterampilan menjalin relasi (Weare & Markhan, 2005).
Hasil penelitian tentang Whole School Approach dalam kesehatan mental menunjukkan adanya efek positif yang konsisten pada kesejahteraan sosial dan emosi siswa dan berkurangnya perilaku bermasalah dan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi (Barry et al., 2017). Oleh karenanya penerapan Whole School Approach dapat menjadi salah satu solusi yang dapat dipilih untuk meningkatkan kesehatan mental di sekolah yang ada di Indonesia. Keberhasilan Whole School Approach tentu saja membutuhkan inisiatif dari seluruh warga sekolah (bukan hanya guru BK), kerjasama antar dan intra unit dalam sekolah, dan konsistensi sekolah dalam menerapkan pendekatan tersebut.
Referensi:
Barry, M. M., Clarke, A. M. & Dowling, K. (2017). Promoting social and emotional well-being in schools. In Health Education (Vol. 117, Issue 5, pp. 434–451). Emerald Group Publishing Ltd. https://doi.org/10.1108/HE-11-2016-0057
Cavioni, V., Grazzani, I. & Ornaghi, V. (2020). Mental health promotion in schools: A comprehensive theoretical framework. International Journal of Emotional Education. 12. 65-82.
Center for Reproductive Health, University of Queensland, & Johns Bloomberg Hopkins School of Public Health. (2022). Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS): Laporan Penelitian. Pusat Kesehatan Reproduksi.
Graetz, B., Littlefield, L., Trinder, M., Dobia, B., Souter, M., Champion, C., Boucher, S., Killick-Moran, C. & Cummins, R. (2008). KidsMatter: A Population Health Model to Support Student Mental Health and Well-being in Primary Schools. International Journal of Mental Health Promotion, 10(4), 13–20. https://doi.org/10.1080/14623730.2008.9721772
Solkhanuddin, S., Deswalantri, D. & Santosa, B. (2020). Upaya Guru Bimbingan dan Konseling Dalam Membentuk Karakter Siswa di MAN 3 Agam Kubang Putih. Educational Guidance and Counseling Development Jounal, 3(1), 23–29. http://dx.doi.org/10.24014/egcdj.v3i1.9270
Suryani, R., Said, A. & Sukmawati, I. (2019). Hambatan Yang Dialami Guru BK Untuk Melaksanakan Instrumen Non-Tes Dalam Pelayanan BK Dan Usaha Mengatasinya. Biblio Couns : Jurnal Kajian Konseling Dan Pendidikan, 2(1), 33–40. https://doi.org/10.30596/bibliocouns.v2i1.3035
Susanti, R., Riswani, R. & Bakhtiar, N. (2018). Kejenuhan di Kalangan Guru Bimbingan dan Konseling di SMAN Provinsi Riau. Educational Guidance and Counseling Development Jounal, 1(2), 92–104. http://dx.doi.org/10.24014/egcdj.v1i2.6142
Wahyuni, E. & Desinta, R. (2021). Gambaran Self-Care Guru Bimbingan dan Konseling di SMA Negeri Se-DKI Jakarta. INSIGHT: Jurnal Bimbingan Konseling, 10(1), 67-78. https://doi.org/10.21009/INSIGHT.101.09.
Weare, K. & Markham, W. (2005). What do we know about promoting mental health through schools?. Promotion & Education, 12(3-4):118-122. https://doi:10.1177/10253823050120030104
World Health Organization & World Health Organization. (2003). Caring for children and adolescents with mental disorders. https://apps.who.int/iris/handle/10665/42679
World Health Organization. (2013). Mental health action plan 2013-2020. https://apps.who.int/iris/handle/10665/89966
World Health Organization. (2021). Mental health in schools : A manual. https://apps.who.int/iris/handle/10665/347512