ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 12 Juni 2023

 

Stop Lingkaran Kekerasan…!!!

 Mulai Dari Kita, Mulai Dari Sekarang

 

Oleh:

Netty, Stevan Brillian, & Setiawati Intan Savitri

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Kekerasan dalam hubungan atau yang dikenal dengan Intimate Partner Violence (IPV) telah menjadi issue global maupun nasional. Pada tahun 1970, IPV pernah menjadi masalah utama di Negara Eropa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menilai bahwa IPV merupakan masalah yang terjadi di berbagai macam negara. WHO mendefinisikan IPV sebagai setiap perilaku dalam hubungan intim yang menyebabkan kerugian fisik, psikologis, atau seksual termasuk agresi fisik, pelecehan psikologis, hubungan paksa, dan berbagai perilaku pengendalian (misalnya, mengisolasi seseorang, membatasi akses ke informasi dan bantuan (Dziewa & Glowacz, 2022). Di Indonesia sendiri, berdasarkan data SIMFONI-PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang dikeluarkan oleh situs www.kemenpppa.go.id, selama tahun 2022 terdapat 27.589 kasus kekerasan, dimana korbannya terdiri dari 4.634 laki-laki dan 25.050 perempuan dengan lingkup kekerasan  didominasi pada lingkungan rumah tangga. Dari data tersebut menunjukkan bahwa korban kekerasan dalam hubungan didominasi oleh perempuan. Walaupun korban IPV didominasi oleh perempuan, namun laki-lakipun dapat menjadi korban IPV. Dalam hal laki-laki sebagai korban IPV, seringkali hal ini tidak terdokumentasi dengan baik. Pada abad ke-17, laki-laki yang menjadi korban kekerasan dari pasangannya dianggap sebagai "orang yang dipukuli" dan dapat dihukum karena tidak mampu menegakkan kondisinya yang maskulin. Namun saat ini, laki-laki juga telah diakui sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga sepenuhnya.

 

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan sesorang menjadi pelaku IPV. Beberapa penelitian menunjukkan salah satu faktor penyebabnya adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami oleh para pelaku kekerasan pada masa kanak-kanak. Dalam teori pembelajaran sosial diketahui bahwa anak-anak belajar dengan cara membentuk kesimpulan dan mengembangkan strategi berdasarkan pengalaman mereka, kemudian mereka menirukan, menghidupkan kembali, atau menoleransi pengalaman serupa di masa dewasa. Menurut Smith-Marek et al. (2015), hal inilah yang menyebabkan anak-anak yang terpapar kekerasan pada masa kanak-kanaknya lebih mungkin untuk menjadi pelaku atau korban pada saat dewasa. Anak laki-laki yang menyaksikan kekerasan yang dilakukan terhadap ibunya lebih mungkin untuk menjadi pelaku kekerasan sedangkan anak perempuan lebih mungkin untuk menjadi korban kekerasan pada masa dewasa (Hoskins & Kunkel 2020).

 

Hoskins & Kunkel (2020)  melakukan penelitian terhadap pria pelaku IPV, hasilnya menunjukkan bahwa para pelaku IPV mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan para pelaku IPV tersebut dikelompokkan oleh peneliti berdasarkan 10 kategori pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami pada masa kanak-kanak. Kategori tersebut dibagi menjadi 2 jenis yaitu : pengalaman yang tidak menyenangkan akibat pelecehan dan pengalaman tidak menyenangkan akibat kegagalan dalam fungsi keluarga. Pada jenis pelecehan, pelaku IPV mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan berupa: (1) pelecehan psikologis, (2) pelecehan fisik dan (3) pelecehan seksual. Pelecehan tersebut dapat berasal dari orangtua, saudara kandung, teman sebaya maupun pihak sekolah. Pada pelecehan fisik biasanya didahului oleh pelecehan psikologis. Selain pelecehan, pelaku IPV juga mengalami pengalaman tidak menyenangkan pada masa kanak-kanaknya berupa pengabaian, baik (4) pengabaian secara fisik maupun (5) pengabaian secara emosional. Jenis kegagalan dalam fungsi keluarga yang dialami oleh pelaku IPV yang memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah berupa (6) kehilangan salah satu atau kedua orang tua melalui perpisahan, perceraian, pengabaian (orang tua masih hidup tetapi tidak terlibat dalam kehidupan anak), atau kematian. (7) menyaksikan kekerasan terhadap ibu atau ibu tirinya, (8) hidup dengan orang tua yang memiliki kecanduan zat terlarang , (9) tinggal dengan orang tua yang memiliki gangguan mental maupun (10) memiliki orang tua yang pernah mendekam dipenjara.

 

IPV dapat terjadi pada semua golongan, tanpa melihat latar belakang, kelas sosial dan kelompok umur.  Beberapa hasil penelitian yang ditulis dalam Dziewa & Glowacz (2022) menyebutkan bahwa IPV dapat menyebabkan gangguan mental. Akibat yang ditimbulkan oleh  IPV bervariasi sesuai dengan bentuk, frekuensi dan intensitasnya, tetapi selalu melibatkan penderitaan fisik dan psikologis. Gejala yang ditimbulkan akibat IPV mirip dengan gejala gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Umumnya Gejala ini diidentifikasi pada korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menyebabkan terganggunya konsepsi fundamental , persepsi tentang lingkungan, persepsi tentang diri sendiri serta hubungan terhadap lingkungan. Selain itu , perempuan yang menjadi korban IPV juga berisiko mengalami tingkat stres yang sangat tinggi yang dapat memicu pemikiran atau bahkan tindakan bunuh diri, mereka percaya bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri rasa sakit adalah dengan mengakhiri hidup (Taylor, 2020).

 

Untuk dapat keluar dari IPV bukanlah hal mudah, perempuan yang mengalami kekerasan cenderung melebih-lebihkan aspek positif dari hubungan dan mempertahankan harapan adanya perubahan, selain itu juga faktor finansial, dukungan eksternal dan profesional sangat berpengaruh pada proses keluarnya perempuan dari tindakan kekerasan. Penelitian yang dilakukan oleh Helfferich et al. (2005) yang ditulis dalam penelitian Dziewa & Glowacz (2022), menggolongkan keluarnya korban IPV menjadi empat kategori berdasarkan tingkat hubungan korban IPV, Kategori pertama, "Perpisahan Cepat", mengacu pada wanita yang menjalin hubungan untuk waktu yang masih belum lama dan masih memiliki harga diri yang baik. Perpisahan terjadi ketika kekerasan merusak konsepsi mereka tentang pasangan. Kategori kedua, “Pemisahan Tingkat Lanjut”, mengacu pada korban yang memiliki hubungan yang lebih lama dengan kekerasan yang kronis dan bertahap. Perjuangan untuk mempertahankan pasangan berakhir ketika intensitas kekerasan melebihi apa yang dapat mereka tanggung. Setelah berpisah, para korban ini menyimpan rasa takut terhadap mantan pasangannya. Tipe ketiga, “Kesempatan Baru”, menganggap korban yang menantang pasangannya yang kasar melalui perilaku yang berbeda. Mereka berharap dapat memprovokasi perubahan dan memutus siklus kekerasan sambil mempertahankan hubungan. Terakhir, kategori keempat, “Keterikatan Ambivalen” dicirikan oleh posisi ambivalen korban perempuan yang terombang-ambing antara ketergantungan emosional dan ketakutan.

 

Penelitian yang dilakukan oleh Crann & Barata (2016) mengidentifikasi proses keluarnya dari hubungan dengan kekerasan. Proses keluarnya dari hubungan dengan kekerasan melibatkan serangkaian tindakan, mulai dari mengubah persepsi tentang hubungan, mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan, hingga mengambil keputusan untuk memisahkan diri dan belajar hidup mandiri. Ketahanan perempuan yang mampu keluar dari IPV tidak terlepas dari pergeseran yang mengakibatkan perubahan kognitif, emosional, dan perilaku yang terjadi selama hubungan yang penuh kekerasan, selama proses terlepas dari hubungan penuh kekerasan , dan setelah hubungan penuh kekerasan berakhir. Pergeseran yang terjadi selama proses tersebut meliputi pergeseran dalam bentuk perlawanan, kontrol dan kepositifan. Pergeseran terkadang terjadi secara tiba-tiba, tetapi lebih sering berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu. Pada pergeseran dalam bentuk perlawanan, korban biasanya mulai dengan secara sengaja berperilaku dengan cara tertentu dengan maksud untuk mengurangi, dan akhirnya menolak perlakukan kekerasan berikutnya dengan cara berpindah rumah, berpindah tempat kerja, berpindah ke tempat penampungan, melaporkan ke polisi atau bahkan bercerai. Pada pergeseran dalam bentuk kontrol, biasanya terjadi peningkatan kesadaran bahwa pasangan dapat atau akan berubah dan tidak lagi melakukan kekerasan bukanlah berada dalam kontrol mereka. Mereka tidak akan bisa merubah merubah perilaku kekerasan pasangan mereka tersebut. Pergeseran berikutnya adalah pergeseran menuju kepositifan. Kondisi ini biasanya terjadi biasanya setelah hubungan berakhir, dimana pada saat ini perempuan mulai menata mulai membangun kembali kehidupan mereka, membingkai ulang hubungan yang melecehkan mereka sebagai pengalaman belajar. Mereka melihat pengalaman belajar ini sebagai perubahan yang sangat positif terhadap cara mereka memandang diri mereka sendiri dan dunia sekitar mereka.

 

Dari penjelasan diatas, akhirnya kita memahami bahwa kekerasan dalam hubungan merupakan masalah serius yang terjadi di seluruh dunia. Kekerasan dalam hubungan seperti lingkaran setan yang tidak terhentikan. Pada saat seorang suami melakukan kekerasan terhadap istrinya dan disaksikan oleh anaknya, maka tentunya hal tersebut menimbulkan korban dan juga secara tidak langsung menciptakan pelaku kekerasan selanjutnya. Anak yang tumbuh dengan menyaksikan dan menjadi korban kekerasan besar kemungkinan akan menjadi pelaku atau menjadi korban kekerasan pada saat dewasa. Sehingga akhirnya menciptakan lingkaran kekerasan yang tidak ada hentinya. Kita mengetahui bahwa efek dari kekerasan sangatlah besar menyebabkan kerusakan fisik, psikologis, atau seksual pada korban dan sangatlah sulit untuk dapat keluar sebagai korban kekerasan tersebut. Memperhatikan dan mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan serta menanyakan diri sendiri dan pasangan tentang tanggung jawab masing-masing juga merupakan langkah yang kritis dalam proses agar dapat keluar dari kekerasan, kemudian memutuskan bahwa segala sesuatunya perlu diubah dan menerapkan perubahan serta mencari dukungan pihak ketiga adalah langkah-langkah penting untuk bisa lepas dari IPV. Untuk dapat menghentikan lingkaran kekerasan ini marilah kita mulai dari diri kita dan mulailah dari sekarang. Seandainya pada masa kanak-kanak kita pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan, walaupun ada potensi kita untuk menjadi pelaku kekerasan juga, tetapi marilah kita berusaha untuk menghentikannya dari sekarang, dengan berusaha untuk tidak melakukan kekerasan dengan pasangan kita terlebih lagi dihadapan anak-anak.

 

Referensi:

 

Crann, S. E., & Barata, P. C. (2016). The Experience of Resilience for Adult Female Survivors of Intimate Partner Violence: A Phenomenological Inquiry. Violence Against Women, 22(7), 853–875. https://doi.org/10.1177/1077801215612598

Dziewa, A., & Glowacz, F. (2022). “Getting out from Intimate Partner Violence: Dynamics and Processes. A Qualitative Analysis of Female and Male Victims’ Narratives”. Journal of Family Violence, 37(4), 643–656. https://doi.org/10.1007/s10896-020-00245-2

Hoskins, N., & Kunkel, A. (2020). “I don’t even deserve a chance”: An ethnographic study of adverse childhood experiences among Male perpetrators of intimate partner violence. Qualitative Report, 25(4), 1009–1037. https://doi.org/10.46743/2160-3715/2020.3938

Taylor, P. (2020). Hunting to Feel Human, the Process of Women’s Help-Seeking for Suicidality After Intimate Partner Violence: A Feminist Grounded Theory and Photovoice Study. Global Qualitative Nursing Research, 7. https://doi.org/10.1177/2333393619900893