ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 11 Juni 2023
Fitrah Manusia Memiliki Nafsu
Bagaimana Konsep Pengendalian Diri Robert Frager dalam Perspektif Psikologi Sufi (Tasawuf)?
Oleh:
Fajar Nurisa Khoirini & Syafa Alfina
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka
Nafsu atau biasa dikenal dengan fitrah hayawaniyah adalah suatu apek atau bagian pada pra atau bawah kesadaran manusia, dimana nafsu tersebut memiliki daya konasi atau daya karsa. Dalam KBBI V Nafsu diartikan sebagai gairah atau keinginan atau suatu dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik. Dalam buku Psikologi Kalbu karya Hafiz (2016) nafsu bisa diartikan sebagai suatu dorongan dalam diri yang menjadi sumber energi, namun arah dan besarnya dorongan terebut ditentukan oleh nilai dan kemampuan dari kalbu serta melalui kendali dari akal.
Hadirnya Nafsu Dalam Diri Tidak Bisa Disalahkan?
Ya memang benar hadirnya nafsu dalam diri tidak bisa disalahkan. Nafsu tidak bisa disalahkan sebagai aktor utama dalam menentukan timbulnya suatu perilaku, karena hadirnya nafsu disini hanya sebagai bentuk dorongan yang sifatnya perlu untuk dikendalikan. Berbicara mengenai nafsu tidaklah terlepas dari yang namanya kalbu dan akal, karena sejatinya ketiga hal tersebut merupakan bentuk kesatuan dalam konsep jiwa itu sendiri. Tanpa nafsu, klabu tidak akana bisa mengarahkan perilaku karena tidak aka nada perilaku yang timbul serta tidak ada suatu dorongan kebutuhan. Begitupula sebaliknya, tanpa adanya kalbu, nafsu hanya bisa mendorong akal untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memperihatkan suatu nilai dan moral Hafiz (2016).
Lalu bagaimanakah penngendalian diri kita agar tidak dikuasai nafsu?
Fajrin, Mud’is, & Yulianti (2022) Mengemukakan Konsep Pengendalian Diri Robert Frager:
a) Nafs Tirani (nafs al-ammârah)
Menurut Frager, nafs tirani bisa dimaknai sebagai nafs yang memerintah, mendominasi, atau nafs yang memerintah pada kejahatan. Karakteristik dari nafs ini adalah merasa senang ketika dipuji atau kecanduan pujian sehingga menyebar dalam jiwanya. Nafs tirani tidak boleh dihancurkan karean menghancurkan nafs tirani adalah sama dengan menghancurkan diri sendiri. Cara menaklukan nafs ini adalah dengan berzikir, peka pada diri serta memfokuskan pikiran ke hal-hal positif.
b) Nafs Penuh Penyesalan (nafs al-lawwâmah)
Nafs Penuh Penyesalan Robert Frager ini mirip dengan nafs allawwâmah yang terdapat dalam konsep Al-Ghazali. Manusia merasa waspada terhadap kekuatan ego yang membelenggunya. Namun, saat tumbuh cahaya iman dan pemahaman batin dalam diri, maka akan menyadari dan berpikir jernih karena sejatinya manusia menolak perbuatan buruk dan segera memohon ampunan kepada Tuhan. Namun bukan berarti pada nafs ini tidak bisa terulang kembali setelah adanya kesadaran diri unutk memohon ampunan, nafs in ibisa terjadi kembali bahkan ketika melalakukan hal buruk yang sama lalu kembali memohon ampunan kepada Tuhan.
c) Nafs yang Terilhami (nafs al-mulhimah)
Pada nafs ini, hati manusia memberi tempat untuk kepribadian dan kesadaran yang didalamnya terdapat opsi untuk mengatasi kekuatan ego yakni kearifan, intuisi, dan pembimbing batin. Meski demikian kekuatan ego disini masih tetap aktif. Keberadaan ego dan kemunafikan perlu diwaspadai, karena nafs ini bisa menjatuhkan seseorang ke nafs yang lebih rendah. Frager memberi contoh nafs ini saat seseorang merasakan pengetahuan dan pengalaman spiritual, namun pengetahuan dan pengalaman disaring oleh ego, ada kemungkinan bahwa terdapat perusak amal pada diri orang tersebut seperti ujub atau riya'. Oleh karena itu kita haruslah senantiasa bersikap tawadhu.
d) Nafs yang Tenteram (nafs al-muthmainnah)
Pada Nafs ini manusia akan aman dari kehancuran ego negatif. Seseorag oada itngkat ini akan merasa bahagia dan tenang kepada Tuhannya. Agar bisa mencapai tingkat nafs ini pondasi yang harus disiapkan adalah membuka hati, karena cahaya hati menetralkan sifat negatif dan delusi dari nafs pada tingkat yang lebih rendah.
e) Nafs yang Rida (nafs al-radhiah)
Seseorang pada tingkat nafs ini rohnya menjadi lembut, sehingga pertumbuhan spiritual menjadi lebih dalam. Seseorang merasa puas akan semua kesulitan, ujian hidup yang diberi Tuhan, karena menyadari bahwa kasih sayang Tuhan senantiasa mengelilinginya. Ketika sifat syukur dan kasih kepada Tuhan begitu besar, hal pahit terasa manis bagi mereka. Itulah tanda bahwa manusia sudah sampai pada nafs yang rida. Karakteristik lain seseorang pada nafs ini adalah terdapat kebebasan, ketulusan, kontemplasi dan ingatan tentang Tuhan.
f) Nafs yang Diridai Tuhan (nafs al-mardhiah)
Pada tahap ini manusia mulai menyadari bahwa sesuatu yang dilakukan manusia asalnya dari Tuhan, kita sebagai manusia tidak bisa bertindak dengan sendirinya. Pada nafs ini manusia mendapat kesatuan batin yang sesungguhnya yakni mampu melihat dunia sebagai entitas holistik. Seperti yang dikatakan Rumi, dunia itu multiplisitas seperti cermin yang pecah namun mencerminkan gambar sama. Ketika kita mengumpulkan potongam kaca yang pecah dan membuatnya utuh kembali, maka ia hanya mencerminkan satu bayangan saja.
g) Nafs yang Suci (nafs al-kamilah)
Pada tingkat nafs yang suci ini, berarti seseorang telah melewati dirinya dengan penuh. Tidak terdapat goisme dalam diri, apabila masih menyisakan ego negatif, maka belum bisa dilatakan mencapai pada nafs yang suci ini, jadi satu-satunya yang tersisa pada nafs ini adalah segalanya berkaitan dengan Tuhan
Referensi:
Fajrin, D. I., Mud’is, H., & Yulianti, Y. (2022). Konsepsi Pengendalian Diri dalam Perspektif Psikologi Sufi dan Filsafat Stoisisme: Studi Komparatif dalam Buku Karya Robert Frager dan Henry Manampiring. Jurnal Riset Agama, 2(1), 162-180.
Hafiz, S. E. (2016). Psikologi Kalbu: Kepribadian Manusia Dari Perspektif Islam Untuk Kajian Psikologi. Jakarta Selatan: Uhamka Press.