ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 11 Juni 2023

 

Sesungguhnya Pulang:

Menemukan Makna dari Peristiwa Kematian

 

Oleh:

Lenny Utama Afriyenti

Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

 

Kematian disangkakan sebagai sesuatu yang menyakitkan, yakni sebuah kata yang mungkin membuat orang yang mendengarnya kurang merasa nyaman. Padahal dalam hidup ini, setiap kehidupan akan mendapatkan kematian. Setiap yang bernyawa, akan mengalami mati, demikian yang disampaikan dari berbagai kitab suci. Namun anehnya, setiap orang berupaya pula menghindari kematian itu. Dalam ketidaksadaran, manusia mendambakan adanya keabadian. Sungguh sesuatu yang absurd. Disaat manusia menolak kematian dan mengharapkan keabadian, manusia mengalami kebingungan untuk mengisi kehidupannya. Ada semacam ketidaksiapan menjalani setiap fase kehidupan yang akhirnya berakhir pada ketidakbahagiaan dalam hidup.

 

Jika merujuk konteks keabadian menurut Prof. Komaruddin Hidayat dalam bukunya yang berjudul Psikologi Kematian, disebutkan bahwa ruang keabadian yang sesungguhnya adalah momentum “here and now”. Artinya adalah ketika seseorang mampu melakukan yang terbaik untuk hidupnya di hari ini, saat ini serta detik ini, tidak berpikir buruk pada apa yang belum terjadi pada masa depan, serta tidak selalu tenggelam mengenai keburukan masa lalu, berarti mereka adalah orang-orang yang tidak meninggalkan ruang keabadian (Hidayat, 2008). Dari kalimat tersebut dapat dipahami bahwa perlu adanya makna kekhusyukan dalam setiap aktifitas yang dijalani oleh setiap manusia agar mereka bisa menjadi “hidup”. Berbagai literatur psikologi timur juga menjelaskan makna khusyuk. Seperti halnya mindfulness pada psikologi barat. Jasad boleh habis, namun ketika seseorang mengalami mati ada kepuasan jiwa yang terpenuhi  apabila ada kekhusyukan. Usia yang digunakan menjadi berarti. Tidak bingung harus seperti apa menjalani hidup. Makna abadi yang mereka hayati adalah hadir didunia secara utuh, memaknai peristiwa dengan bijak, tidak ada penyesalan karena telah lahir ke dunia serta berterimakasih pada semua bumbu kehidupan.

 

Filosofi Kematian Menurut Stoisisme

Andai manusia mampu berpikir sedikit filosofis mengenai makna kematian yang sesungguhnya, maka kecemasan akan peristiwa kematian bisa terminimalisir.  Kaum Stoik pada masa dahulu menyadari bahwa kematian membuat manusia memahami adanya keterbatasan dalam hidup, sehingga apapun yang terjadi dalam kehidupan perlu dihargai, karena menurut pandangan stoisisme manusia perlu hadir setiap saat dalam hidupnya. Menatap dan menyadari akan kematian membuat manusia makin menyadari makna luar biasa dari “saat ini” yang dimiliki oleh manusia. Menurut pandangan kontemporer ini, manusia perlu menyiapkan diri pada berbagai kemalangan yang sangat mungkin terjadi dalam kehidupan seperti penderitaan, kesialan termasuk kematian. Bahkan kaum stoik memiliki latihan dalam menghadapi mati, mereka menyebut dengan istilah praemeditatio malorum (antipasi pada hal-hal buruk) (Wibowo, 2019). Ini seperti jangkar agar ketika derita itu datang, manusia baik-baik saja.

 

Pendapat stoik terhadap kesadaran pada “saat ini” serta mampu memaknai hidup, sejalan dengan temuan pada berbagai riset empiris, diantaranya disebutkan bahwa kehidupan yang bermakna berhubungan positif dengan penerimaan kematian yang menurunkan skor kecemasan kematian pada mahasiswa China (Tang, et.al, 2002). Selain itu Routledge & Juhl (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa individu dengan makna hidup yang lebih rendah dapat meningkatkan kecemasan kematian. Dapat disimpulkan bahwa ternyata manusia pada akhirnya perlu menemukan makna hidup untuk menurunkan derajat kecemasan akan peristiwa kematian.

 

Bagaimana Islam dan Buddha memandang kematian

Pandangan Islam tentang kematian adalah “kembali”, yakni kembali pulang. Saat kematian datang, jiwa yang telah lepas dari raganya kembali kepada pencipta. Pulang merupakan kata yang berkonotasi positif dan membahagiakan. Pulang ke rumah, pulang dari kantor, atau pulang kampung sehingga ketika seseorang meninggal artinya ia pulang kembali kepada yang menciptakannya. Untuk itu sebelum kematian datang, manusia perlu mempersiapkan kematian dengan menjalani kehidupan sesuai dengan tatanan Islam.

 

Demikian juga halnya dalam agama Buddha. Dalam konsep Buddha, kematian merupakan berakhirnya banyak penderitaan manusia selama menjalani hidup. Sepertinya halnya stoisisme; ketidakpuasan, ketidaksenangan, merupakan penderitaan dalam hidup. Maka dari itu kematian menjadi jalan yang dapat memutus penderitaan manusia. Untuk memadamkan penderitaan tersebut seorang manusia tidak perlu lagi memiliki keinginan-keinginan. Kematian sendiri tidak dapat terlepas dari hukum karma atau sebab akibat. Segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang nantinya akan mendapat akibatnya tersendiri. Maka dari itu, jika manusia ketakutan dalam menghadapi kematian yang bisa datang kapanpun, maka hendaknya setiap manusia selalu senantiasa berbuat kebajikan dan menghindari perbuatan yang buruk (Azisi, 2021).

 

Sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan. Perjalanan yang baik adalah yang memiliki tuntunan agar ketika kematian datang, jiwa yang telah pulang mendapatkan bahagianya. Cukuplah kematian menjadi peringatan bagi manusia yang berpikir agar tetap menjadi bajik.

 

Referensi:

 

Azisi, A. M. (2021). Konsep kematian dalam perspektif agama Buddha Theravada. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama16(1), 95-118.

Hidayat, K. (2008). Psikologi kematian. Hikmah.

Routledge, C., & Juhl, J. (2010). When death thoughts lead to death fears: Mortality salience increases death anxiety for individuals who lack meaning in life. Cognition and Emotion24(5), 848-854.

Tang, C. S. K., Wu, A. M., & W. Yan, E. C. (2002). Psychosocial correlates of death anxiety among Chinese college studentsDeath studies26(6), 491-499.

Wibowo, A. S. (2019). Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme. PT Kanisius.