ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 07 April 2023

 

Indonesia Maju Dimulai Dari Anak yang Mandiri

 

Oleh:

Airin Yustikarini Saleh & Eko A Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pendahuluan

Kegiatan belajar mengajar di semester genap sudah dimulai. Pada saat-saat seperti ini, terjadi suatu kegiatan rutin yang biasa dilakukan oleh orang tua setiap pagi, yakni menyiapkan anak untuk bersekolah. Mulai dari membangunkan anak, menyiapkan seragam, menyiapkan sarapan dan bekal, sampai mengantar anak sampai di sekolah. Ini terjadi hampir setiap hari, apalagi kondisi pembelajaran di sekolah sudah kembali seperti masa sebelum pandemi COVID 19. Hampir semua keperluan anak disiapkan oleh orang tua. Sementara itu, orang tua juga perlu menyiapkan keperluannya sendiri untuk menjalankan peran mereka di masyarakat. Ini membuat orang tua kerepotan dengan urusan yang semestinya bisa dikerjakan sebagian, atau seluruhnya oleh anak. Selain itu, anak juga jadi tergantung pada orang lain dan tidak bisa melakukan apa-apa yang semestinya bisa dilakukan. Berkaca dari pengalaman tersebut, sudah saatnya orang tua memikirkan bagaimana caranya agar anak bisa mandiri.

 

Menumbuhkan Kemandiran

Kemandirian adalah suatu sikap yang dibentuk oleh kebiasaan melakukan suatu kegiatan tanpa melibatkan bantuan orang lain, atau hanya sedikit membutuhkan bantuan orang lain. Ki Hajar Dewantara ([1944]2004) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan bentuk nyata dari kemerdekaan, dan kemerdekaan adalah salah satu sifat dari hidup manusia yang serba luhur dan indah. Manusia yang merdeka ditandai dengan adanya kemampuan berdiri sendiri dan bebas dari perintah atau paksaan pihak lain. Bebas saja tidak menjamin seseorang dapat menikmati kemerdekaannya jika tidak didasari oleh kekuatan untuk berdiri sendiri.

 

Mandiri artinya memiliki prakarsa atas pengembangan diri dan prestasinya dengan didasari pada pengenalan akan kekuatan maupun keterbatasan dirinya serta situasi yang dihadapi, dan bertanggung jawab atas proses dan hasilnya (Kemdikbud, 2020). Hal ini sejalan dengan pemikiran Dewantara ([1944]2004) bahwa kemandirian membutuhkan kemampuan untuk berpikir, yakni untuk menguasai suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Dengan demikian, menjadi mandiri membutuhkan usaha dari seseorang untuk melakukannya, bukan sekedar mengikuti apa kata orang lain.

 

Kemandirian merupakan hal yang penting untuk dikembangkan sejak usia dini karena dapat menumbuhkan kepercayaan diri bahwa dirinya memiliki kelebihan dalam suatu kemampuan atau ketrampilan tertentu. Sebagai contoh, seorang anak yang sudah mandiri dalam hal makan akan bebas memilih menggunakan alat makan sendiri, atau memilih makanan yang diinginkannya. Bagi seorang individu, kebebasan atau kemerdekaan dapat terlihat dari bentuknya melalui kemandirian individu untuk melakukan sesuatu. Bebas untuk memilih warna dan gaya pakaian yang akan digunakan karena sudah mandiri dalam menggunakan pakaian sendiri. Bebas untuk memilih apakah akan memasak atau membeli makanan, karena sudah mandiri dalam memasak dan pergi membeli makanan.

 

Salah Satu Kegunaan Kemandirian dalam Konteks Masyarakat

Kemandirian juga merupakan hal yang penting untuk menjaga seseorang agar tidak mudah terjebak pada pemikiran-pemikiran umum, atau mengikuti pendapat kelompok atau memiliki mentalitas kelompok. Misalnya, anak-anak remaja sering ikut-ikutan hal-hal yang berbahaya seperti tawuran atau merokok bersama.

 

Mentalitas kelompok, atau mentalitas gerombolan (herd mentality) adalah pola tingkah laku orang mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-teman kelompoknya (Takwin, 2014). Seseorang yang memiliki mentalitas kelompok menganggap bahwa apa yang dilakukan orang lain dalam kelompok sebagai normanya. Apa yang dianggap baik atau buruk oleh kelompok menjadi panduan moral dan sikap individu. Contohnya adalah memakai barang sama, mengunjungi suatu tempat yang sama, memiliki potongan rambut yang sama. Bukan hanya itu saja, tetapi juga cara pikir, pola pengolahan informasi dan pengambilan keputusan, dan arah tindakan juga sama dengan yang dimiliki orang lain dalam kelompok. Contoh lain yang menunjukkan mentalitas kelompok yang buruk, seperti impulsif, terlihat pada saat awal masa pandemi Covid 19 di bulan Februari 2020. Pada saat itu terjadi pembelian panik untuk bahan makanan pokok dan peralatan kebersihan, seperti tisu, sabun, desinfektan. Pembelian cenderung karena semua orang membeli, bukan karena pertimbangan kebutuhan diri.

 

Mentalitas kelompok perlu ditinggalkan karena mengurangi kemampuan anak mandiri. Kita lihat bagaimana remaja ikut-ikutan dalam kegiatan berisiko, seperti geng atau kelompok yang menganggap kekerasan sebagai norma kelompok, mengkonsumsi suatu produk secara tidak terkendali atau karena banyak orang yang membeli, bertemu dengan selebriti idola mereka hingga terinjak-injak sampai mati. Padahal sebelum anak ikut dalam kelompok justru perlu mengenali dirinya, apakah siap untuk mengikuti langkah kelompoknya atau tidak. Anak perlu tahu persis keterbatasan dirinya, karena tingkah laku ikut-ikutan mempunyai konsekuensi dan harus dapat dipertanggungjawabkan.

 

Kembali Menjadi Mandiri

Orang yang lebih sadar diri akan lebih menjaga dan bertanggung jawab atas tindakan mereka (Asendorpf, Warkentin, & Baudonniere, 1996). Seseorang yang melihat dirinya sendiri akan memikirkan tindakannya, meningkatkan kesadaran diri, serta mengurangi deinviduasi. Cara lain yang dilakukan adalah memperkuat identitas individu sejak kecil. Orang tua dapat membiasakan untuk memanggil anak dengan namanya bukan julukan, menghargai anak ketika menyatakan pendapatnya sendiri walaupun berbeda, memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan sendiri kegiatan-kegiatan hariannya.

 

Manusia harus berani menampilkan dirinya sambil tetap menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bagi remaja, kemandirian berguna agar remaja minimal tidak salah dalam memilih teman dan tidak cepat melakukan konformitas dengan keinginan kelompok. Dia akan memiliki pertimbangan mengenai baik-buruknya suatu hal bagi dirinya, keluarganya atau masa depannya. Dengan demikian, seseorang bisa menjalani hidup secara otentik, menampilkan kesejatian sebagai manusia tetapi dalam kebersamaan yang menghargai keunikan setiap orang (Takwin, 2014).

 

Penutup

Kemandirian dalam berpikir dan bertindak merupakan hal yang penting untuk dikembangkan pada diri seorang anak. Berawal dari pengembangan regulasi diri dan rutininas yang diterapkan di rumah, akan mengembangkan anak menjadi pribadi yang teratur, mampu mengatur dirinya sendiri dan paham akan batasannya. Untuk itu para orang tua diharapkan dapat memberikan dan menjalankan pengasuhan yang dapat mengembangkan keteraturan anak agar tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Watak itulah yang dibutuhkan Indonesia.

 

 

Referensi

 

Asendorpf, J.B., Warkentin, V., & Baudonniere, P.M. (1996) Self-Awareness and Other-Awareness II: Mirror Self-Recognition, Social Contingency Awareness, and Synchronic Imitation, Developmental Psychology, Vol.32, No, 2,313-321.

Dewantara, K.H. ([1944]2004). Karya K.H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Jogjakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Kemdikbud. (2020). Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila. https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/unduhan/Kajian_PPP.pdf

Takwin, B. (2014). Meninggalkan Mentalitas Gerombolan, Membangun Mentalitas Sosial. Pidato Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke-61 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.