ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 06 Maret 2023

 

“Saya Salah ya?”

Kebutuhan Persetujuan yang Tak Terbendung

 

Oleh:

Sandra Handayani Sutanto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Dalam sebuah kumpul sore, salah seorang dosen mengeluhkan mengenai mahasiswa bimbingan yang seolah-olah takut membuat pernyataan atau argumen dalam pembuatan tugas tertentu. Kalimat yang kerap kali muncul adalah “Saya salah ya, Bu/Pak? Jadi yang benar apa?” Keluhan salah satu rekan tersebut diamini oleh rekan lain yang juga mengalami hal serupa. Mereka menarik kesimpulan bahwa mahasiswa terlihat ragu dan semakin takut untuk menyampaikan pendapat dan opini, walaupun dosen memberikan ruang untuk melatih mahasiswa mengeluarkan opini terkait hal tertentu. Pendek kata, ketergantungan kepada dosen menjadi semakin besar, sehingga muncul pertanyaan berikutnya : Apakah kebutuhan akan persetujuan menjadi hal yang mendesak untuk dipenuhi? Dan apakah kebutuhan yang terlalu besar ini mengindikasikan masalah? Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal tersebut?

 

Kebutuhan persetujuan

Persetujuan berarti mempercayai bahwa sesuatu baik atau diterima (Ferguson, 2022). Kebutuhan persetujuan merupakan salah satu hal yang mendasar, dimulai saat kanak-kanak, ketika orang tua memberikan panduan hal baik yang perlu dilakukan oleh anak, dan kebutuhan tersebut dibawa hingga dewasa. Saat individu meminta persetujuan, secara tidak langsung hal tersebut menunjukan bahwa ia memerlukan penerimaan diri atas hal yang telah dilakukannya. Singkatnya, hal ini mengindikasikan bahwa ia belum memiliki hal tersebut dan mencarinya dari pihak lain.

 

Lalu mengapa seseorang terus mencari persetujuan dari orang lain? Ferguson (2022) memaparkan bahwa kebutuhan persetujuan dipengaruhi oleh dua hal, yang pertama adalah rendahnya keberhargaan diri dan pengalaman masa kanak-kanak.

 

Penyebab Kebutuhan Persetujuan

Persetujuan dari orang lain bisa meningkatkan keberhargaan diri karena di dalamnya terdapat validasi. Saat kita merasa tidak yakin dengan apa yang dilakukan, merasa gagal atau meragukan diri kita, maka persetujuan dari orang lain menjadi diperlukan. Pada kasus bimbingan mahasiswa, perasaan belum melakukan sesuatu yang benar sesuai dengan harapan dosen menjadi pencetus perilaku meminta persetujuan dari dosen secara berulang. Penyebab kedua adalah pengalaman masa kanak-kanak. Idealnya anak mendapatkan persetujuan dari orang tua. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang tua memberikan persetujuan yang konstruktif kepada anak, dikarenakan berbagai hal. Ditambah dengan pengalaman sulit hingga pengalaman sebagai korban perundungan, maka hal tersebut mendorong seseorang untuk terus mencari persetujuan hingga dewasa, bahkan untuk beberapa orang tertentu menjadi people pleaser.

 

 

Efek Kebutuhan Persetujuan

Pada dasarnya kebutuhan ini menjadi kebutuhan yang mendasar bagi setiap orang. Persetujuan yang diberikan orang lain mengindikasikan bahwa dirinya berharga dan disukai (Sciara,et. al, 2021). Tapi apa dampaknya jika kebutuhan ini menjadi begitu besar dan menguasai orang tertentu? Pertama, keberanian untuk menjadi diri sendiri dan mencapai potensi terbaik menjadi terhambat (Cohen, 2021). Kebutuhan akan persetujuan orang lain juga akan menghambat pemrosesan informasi yang sebenarnya karena terlanjur meyakini ketidakmampuan yang dimiliki (Adil et al., 2021). Dari kasus mahasiswa yang terus menanyakan apakah sudah melakukan hal yang benar, tercermin keraguan diri yang besar, dan jika hal ini tidak diatasi, maka mahasiswa akan sulit untuk mengembangkan pola pikir karena terus menerus dikuasai dengan pemikiran bahwa argumen atau tugas yang dilakukan adalah salah.

 

Apa yang Perlu Dilakukan

Cohen (2022) memberikan beberapa tips untuk kebutuhan persetujuan yang terlalu besar :

1.    Tumbuhkan kesadaran mengenai kebutuhan persetujuan amat besar yang dimiliki. Dengan mengenali kebutuhan tersebut, kita juga terdorong untuk lebih memahami alasan yang mendasarinya.

2.    Merayakan keberhasilan yang dicapai. Kita perlu untuk mengapresiasi diri sendiri untuk semua jerih lelah, lepas dari persetujuan yang diberikan orang lain

3.    Nikmati kesendirian. Perasaan terkoneksi dengan diri sendiri dalam kesendirian membuat kita menjadi nyaman dan lebih memahami diri.

4.    Memberikan afirmasi positif pada diri sendiri, untuk meminimalisir pikiran negatif terhadap diri, seperti ‘Saya mampu untuk mengerjakan tugas ini’.

5.    Jika kebutuhan persetujuan ini semakin besar, waktunya untuk mencari pertolongan dari profesional kesehatan mental.

 

Jadi, kebutuhan persetujuan memang seseuatu yang mendasar dan penting dalam porsi tertentu, namun jika berlebihan maka hal tersebut perlu diatasi.

 

A truly strong person does not need the approval of others any more than a lion needs the approval of sheep.

-Vernon Howard.

 

Referensi:

 

Adil, A., Shahbaz, R., Ameer, S., Ghayas, S., & Niazi, S. (2021). Effect of perceived husband’s support on postpartum depression: Mediating role of need for approval. JPMA. The Journal of the Pakistan Medical Association, 71(9), 2203–2207.

Cohen, I.S. (2018, Jul 13). How to let go of the need for approval. Psychology Today. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/your-emotional-meter/201807/how-let-go-the-need-approval

Ferguson, S. (2022, Oct 27). Approval-seeking behavior : Signs, Causes and how to heal. PsychCentral. Retrieved from https://psychcentral.com/blog/what-drives-our-need-for-approval#examples-of-approval-seeking-behavior

Sciara, S., Contu, F., Bianchini, M., Chiocchi, M., & Sonnewald, G. G. (2021). Going public on social media: The effects of thousands of Instagram followers on users with a high need for social approval. Current Psychology. doi:10.1007/s12144-021-02172-x