ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 05 Maret 2023

 

Menyikapi Childfree Dengan Menelaah Keberfungsian Diri

 

Oleh:

Arie Rihardini Sundari

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta

 

 

Memiliki peran sebagai ibu dan ayah merupakan salah satu identitas yang diinginkan oleh pribadi dewasa yang telah menikah. Mengasuh, membimbing, merawat buah hati hingga mengantarkan putra-putri ke masyarakat luas adalah diantara tugas-tugas yang diemban oleh orang tua. Merelakannya dengan alasan untuk mendapatkan keutuhan pribadi berupa pengalaman positif untuk menikmati berbagai petualangan dalam hidup, (Patnani, Takwin & Mansoer, 2020) menjadi satu pilihan keberfungsian diri dibalik keputusan childfree yang mengemuka dewasa ini. Sementara dibalik alasan tersebut tersembunyi pula perjuangan melawan masyarakat pronatalis yang beranggapan bahwa anak adalah sumber rezeki, sehingga pengalaman negatif sempat mewarnai perjalanan penerimaan diri mereka. Sebuah proses yang memberi tantangan tersendiri bagi hubungan berpasangan (Blackstone & Stewart, 2016) dan secara pribadi, sebab melawan stigma keibuan tradisional, (Mollen, 2006).

 

Sebagai pasangan yang menganut voluntarily childless family, yang berkebalikan dengan family of procreation yang menjadi prinsip masyarakat pronatalis, dianggap berbeda-stereotyped negatively (Rizka dkk, 2021) dan memiliki keluarga yang tidak utuh melengkapi status mereka. Secara umum, sebuah keluarga berencana memiliki keturunan yang terlahir dari pernikahan dan mengupayakan pengasuhan, berkebalikan dengan prinsip mereka yang berketetapan untuk tidak memiliki anak secara sukarela dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Diantaranya berupa kepuasan hidup yang liberal (Watling Neal & Neal, 2021) hubungan berpasangan dan spiritual yang berkualitas, dan rendahnya konflik perkawinan (Patnani, Takwin & Mansoer, 2020), hingga hak sebagai seorang individu yang menginginkan kebebasan dalam mengatur hidup dan terbebas dari kegiatan pengasuhan (Strong, DeVault & Cohen, 2011). Alasan terakhir, belakangan diadopsi oleh pasangan muda yang menginginkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Bahkan prinsip childfree dimiliki oleh sejumlah wanita dewasa yang berketetapan dalam hidupnya untuk tidak memiliki anak dengan mensterilkan kandungan, sementara latarbelakang pendidikan dan penghasilan mereka tinggi, mengutamakan pekerjaan, dengan religiusitas yang rendah (Abma & Martinez, 2006) menerima kondisi childfree sebagai kehidupan yang aktif dan memuaskan, secara definitif menghilangkan konstruk bahwa keibuan berasosiasi dengan menjadi wanita yang utuh (Corbett, 2016), dan melahirkan merupakan keputusan atas tubuh perempuan sepenuhnya (Parlak & Tekin, 2020). Dimana keputusan untuk childfree bahkan dimulai di masa yang sangat muda yaitu saat remaja (Neal & Watling Neal, 2022).

 

Adakah kondisi mengedepankan kesehatan mental mendasari keputusan individu dewasa untuk childfree? Tentunya hal ini membutuhkan pengamatan yang menyeluruh. Jika keputusan tersebut diambil dengan emosi yang matang tanpa adanya kekhawatiran akan masa depan dan penyesalan di kemudian hari, maka pilihan untuk hidup tanpa anak dapat dilanjutkan. Sadar akan konsekuensi yang harus diterima di tengah masyarakat yang besar kemungkinan akan dinilai egois, hedonis atau terlalu mencintai diri sendiri. Dimana stigma tersebut wajib dipertanyakan ulang, karena alasan untuk childfree yang sangat pribadi bagi tiap individu dengan kondisi yang beragam.

 

Namun, akan bersifat temporer, apabila menyadari bahwa sehat mental, salah satunya adalah untuk meraih keutuhan pribadi-berfungsi sepenuhnya sebagai diri. Berdasar pada keberfungsian diri sepenuhnya, sebagaimana teori Carl Rogers, bahwa individu yang sehat adalah pribadi yang sadar dan rasional, terbuka pada pengalaman emosi tanpa adanya paksaan, serta bebas memilih dan bertindak. Sebelum berketetapan untuk melanjutkan keputusan untuk childfree, seyogyanya perlu memeriksa adakah beberapa kondisi berikut pada diri sendiri. Bebas dari rasa takut akan stigma dengan dasar pemikiran yang kuat bahwa pilihan untuk childfree dapat disikapi dengan tenang, fleksibel dan bersandar pada keyakinan bahwa pilihan hidup itu juga sudah disepakati dengan pasangan. Bebas dari trauma masa lalu akan pengasuhan yang menyakitkan, sehingga keputusan untuk tidak memiliki anak bukan didasari oleh perasaan inferior, tidak terampil dan tidak percaya diri untuk mengasuh anak. Tetap mengoptimalkan potensi diri dan mengedepankan pertumbuhan pribadi serta terbuka dengan berbagai pengalaman untuk mencapai keutuhan pribadi dan aktualisasi diri. Terakhir, adalah bijaksana jika pemenuhan kesadaran dalam hidup telah melalui perenungan yang mendalam dan observasi diri yang menyeluruh, dan jika diperlukan dibantu oleh ahli yang berpengalaman. Let’s be Mindful.

 

Referensi:

 

Abma, J. C. and Martinez, G. M. 2006. Childlessness Among Older Women in the           United States: Trends and Profiles. Journal of Marriage and Family, 68,    4(2006),1045-1056. https://www.jstor.org/stable/4122892.

Blackstone, A., & Stewart, M. D. (2016). “There’s More Thinking to Decide”: How the      Childfree Decide Not to Parent. The Family Journal, 24(3), 296–303.    https://doi.org/10.1177/1066480716648676

Corbett, L. 2016. Other than Mother: The Impact of Voluntary Childlessness on    Meaning in Life, and the Potential for Positive Childfree Living. International        Journal of Existential Psychology & Psychotherapy. Proceedings of the 2016        Meaning Conference. https://www.meaning.ca/web/wp-  content/uploads/2019/10/238-13-578-1-10-20181224.pdf

Mollen, D. 2006. Voluntarily Childfree Women: Experiences and Counseling          Considerations. Journal of Mental Health Counseling (2006) 28 (3): 269–282.         eISSN 2163-5749 https://doi.org/10.17744/mehc.28.3.39w5h93mreb0mk4f.

Parlak, S. & Tekin, I. (2020). A phenomenological study on voluntarily childless    women. Psikoloji Çalışmaları - Studies in Psychology. Advance online          publication. https://doi.org/10.26650/SP2019-0034.

Patnani, M., Takwin, B., & Mansoer, W. W. D. 2020. The Lived Experience of       Involuntary Childless in Indonesia: Phenomenological Analysis. Journal of   Educational, Health and Community Psychology. Vol 9, No 2, 2020 E-ISSN           2460-8467. http://journal.uad.ac.id/index.php/Psychology/article/view/15797.

Rizka, S. M., Yeniningsih, T. K., Mutmainnah., & Yusrariati. 2021. Childfree           Phenomenon in Indonesia. Proceedings of The 11th Annual International            Conference (AIC) on Social Sciences, Universitas Syiah Kuala, September 29-     30, 2021, Banda Aceh, Indonesia. https://jurnal.usk.ac.id/AICS-  Social/article/view/24370.

Strong, Bryan., DeVault, Christine & Cohen, Theodore F. (2011). The Marriage And        Family Experience. 11 th ed. California: Wadsworth Cencage Learning.

Waitling Neal, J., & Neal. Z. P. 2021. Prevalence and characteristics of childfree adults   in Michigan (USA). PLoS ONE. 16(6): e0252528.     https://doi.org/10.1371/journal.pone.0252528